RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 9
PART 9 - DISEMBUNYIKAN
Keris itu. Benda itu berpindah. Saat saya menemukannya, saya bahkan tidak berani menoleh ke arah mbak Asti. Saat itu suara dengkurannya tidak lagi terdengar. Saya tersadar saat itu ia tidak lagi tertidur. Hanya cahaya lampu dari ventilasi yang menyinari ruangan itu. Tapi, suasana kamar tetap gelap, bahkan saat itu terasa lebih gelap dari yang sebenarnya. Saya memberanikan diri menoleh ke arah mbak Asti. Astaga. Dia tidak tidur. Posisinya masih terlentang. Dia sedang melihat saya dengan mata yang melotot. Dia mengeluarkan suara mengerang seperti harimau yang sedang marah. Saat itu pula saya mendengar ada suara pagar sedang dibuka.
(Saat ini saya sedang sendirian di rumah, mengetik di ruang makan, dan barusan ada suara kelereng jatuh dari arah kamar pembantu yang sudah kosong sejak lama.)
Akhirnya, ayah pulang, pikir saya. Meskipun tubuh saya terasa kaku, saya bergegas berlari menuju teras, memaksakan kondisi tubuh yang sedang lemas selemas-lemasnya. Benar, ayah sedang memasukkan mobil, dan ibu yang baru membuka pagar, langsung berjalan menuju ke dalam rumah, sembari menghampiri saya sebentar untuk meminta maaf karena pulang terlalu lama. Saat itu saya menahan rasa takut saya, karena tidak mungkin saya meluapkannya ke ibu. Dia tak akan mengerti, dan dia juga pasti akan takut dan ujung-ujungnya menyalahkan saya yang terlalu banyak berimajinasi. Saya hanya terdiam di pintu, menunggu ayah keluar dari mobil. Ketika ia menapakkan kakinya keluar mobil, saya langsung menghampirinya dan memeluknya, bahkan ia hampir terjatuh karena ia belum benar-benar berdiri dengan sempurna. Belum lagi saya sempat menjelaskan apa yang terjadi, mbak Asti, astaga, dia datang naik sepeda. Dia baru saja jalan-jalan sepedaan bersama pembantu tetangga. Sekujur tubuh saya terasa lemas. Berarti sejak tadi mbak Asti tidak di rumah. Jadi siapa yang saya lihat di kamarnya tadi?
Saya menjelaskan semuanya, dengan panik, sampai saya lupa bahwa ibu masih bisa mendengar saya, wajah mbak Asti terlihat sangat ketakutan, sedangkan ayah, ada ekspresi kesal di wajahnya. Saya tidak tahu kenapa. Ayah tidak menjawab apa-apa, dia hanya pergi ke kamar pembantu dan mengambil keris itu. Ya, keris itu memang berpindah dan masih berada di kamar itu. Sedangkan mbak Asti, dengan ragu, dia memasuki kamar. Dia tidak mematikan lampu, biasanya ia selalu melakukannya.
Malam itu badan saya terasa lemas, dan saya tertidur dalam keadaan takut yang masih mendera.
Keesokan harinya, saya bangun pagi lebih awal, karena saya masih senang menunggu acara film kartun di TV. Mbak Asti pun sudah bangun, dia menyuguhkan teh hangat dan roti bakar di hadapan saya. Saya memperhatikan tampilannya. Tumben, pagi-pagi begitu ia sudah terlihat bersih dan berpakaian rapi, seperti hendak bepergian. Tidak lama kemudian, ibu pun turun dan mendampingi saya di ruang TV. Saya pun menyenderkan kepala di pahanya, rasanya tenang sekali, berada sedekat itu dengan ibu dan merasakan kehangatan tubuhnya. Ibu membelai kepala saya, sepertinya ia mendengar cerita saya tadi malam, dan ia berusaha menenangkan saya pagi itu.
Saat mbak Asti kembali dan membawa secangkir teh ke ibu, wajahnya terlihat pucat.
“Kenapa kamu Asti? Kok pucat? Kurang tidur atau gimana.” Tanya ibu.
“Gak enak badan, bu. Badan saya panas.”
“Owalah Asti, yaudah kalau masih mau tidur gak apa apa tidur aja dulu.”
“Iya, bu makasih ya bu, tapi nggak apa-apa kok Asti bu.. tapi..”
“Tapi apa?”
“Maaf bu, saya sudah telepon adik saya.”
“Loh kamu mau ngapain?”
“Saya mau pulang aja bu ke rumah orang tua.”
“Loh? Kamu gimana sih? Kan masih lama berangkat ke Malaysia.”
“Iya, bu, tapi kayaknya Asti lebih baik nunggu di rumah orang tua aja, rasanya nggak enak terlalu lama ninggalin orang tua, apalagi sebelum Asti berangkat ke Malaysia nanti.”
Alasannya sangat masuk akal untuk diterima ibu, dan ibu menyetujuinya. Patut saja ia sudah rapi dan bersih di pagi itu, ternyata ia sudah bersiap-siap untuk pergi. Pergi dari rumah kami. Saya kecewa. Kenapa dia tiba-tiba ingin pergi. Saya ingin bertanya, tapi tidak mungkin karena ada ibu.
Siangnya, kami mengantar mbak Asti ke stasiun, karena sepertinya ia tidak ingin menunggu terlalu lama sampai dijemput oleh adiknya. Dia memilih langsung dengan segera pergi. Kami tidak mengantarnya sampai masuk stasiun. Hanya sampai di tempat parkir depan. Selama perjalanan, saya duduk di sampingnya. Dia hanya diam, diam seribu bahasa. Tidak seperti mbak Asti yang biasanya selalu ada saja bahan pembicaraannya. Sebelum ia turun dari mobil, dia menyempatkan diri untuk memeluk saya, sembari membisikkan sesuatu.
“Maaf ya dek, mbak pulang lebih cepat. Adek jangan takut-takut lagi ya di rumah. Mbak janji gak bakal cerita ke siapa-siapa.”
Saya belum sempat menanyakan kenapa ia memutuskan untuk pergi. Saya yakin, mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya tadi malam. Tapi, saya tidak tahu. Mobil sudah bergerak pergi. Mbak Asti melambaikan tangannya. Saya tahu dia masih merasa berat untuk pergi. Ekspresi itu terlihat di wajahnya. Saat itu saya sedih. Tidak ada lagi teman yang selalu ada mendengarkan cerita saya, secara langsung, bukan khayalan.
Saat tiba di rumah, saya mencoba mengecek keris itu di lemari. Belum sempat saya membuka pintu, ayah saya datang.
“Udah! Nggak usah dicari-cari. Udah papa simpan!”
Nada bicaranya agak tinggi. Saya tidak ingin memperpanjang masalah, ya sudah, keris itu sudah disembunyikan dan saya tidak perlu mencari-carinya. Itulah inti yang saya simpulkan dari perkataan ayah tadi.
Sejak saat itu pula, ibu saya seakan memahami saya. Sorot matanya berubah. Sejak saat itu pula, sedikit demi sedikit, saya mulai menceritakan mengenai ‘teman’ saya dan gangguan-gangguan yang saya alami. Sepertinya ibu mulai menerima cerita tentang yang saya alami. Meskipun, saya yakin sebenarnya ia tak percaya dengan semua cerita saya, tapi ia hanya menjadi pendengar yang baik dan mencoba menjawab setiap perkataan saya dan terkadang mencoba meluruskan pandangan saya terhadap hal-hal ghaib. Sebenarnya saya merasa cukup senang, paling tidak, meskipun ia tidak percaya, ia masih bisa mendengar dengan tenang, tidak lagi langsung menepis semua perkataan saya dengan kasar dan menuduh saya suka dengan yang aneh-aneh. Ya, saya tidak bisa memaksakannya. Karena saya yang mengalaminya. Padahal, dulu kami pernah mengalami ‘gangguan’ bersama. Ya, saat kami baru pindah dan pintu kamarnya tidak bisa tertutup, tertahan oleh ‘sesuatu’.
Sejak saat itu pula, saya menyadari, ibu saya setiap pagi membaca satu buku. Dia memang rajin membaca, tapi kali ini, dilihat dari sampulnya, saya melihat buku yang dibacanya berbeda. Biasanya, ia selalu menceritakan apa yang dibacanya kepada saya. Namun, kali ini tidak. Setiap kali saya berada di dekatnya, ia pasti menutup buku itu dan menyimpannya. Tapi, gelagatnya sangat sempurna, seolah-olah ia tidak menutup-nutupinya. Tapi, saya tetap tahu ada yang aneh, ia tidak menceritakan apa yang ia baca. Awalnya, saya tidak merasa ingin tahu apa yang ia baca, mungkin memang dia saja yang tidak tertarik untuk membagikan apa yang ia baca kepada saya. Tapi, lama kelamaan, rasa curiga itu muncul.
Akhirnya, saat ada kesempatan, saya mengambil buku itu. Astaga, di sampul bukunya, tertulis ‘Dialog Dengan Jin’. Ya, buku ini adalah buku yang saya beli sendiri sejak lama (part 7), namun tidak sempat saya baca karena buku itu menghilang, dan saya benar-benar belum pernah membacanya karena lupa. Ternyata buku ini ditemukan oleh ibu, atau mungkin sudah sejak lama ia menyembunyikan buku itu. Saya membaca kata pengantar buku itu, akhirnya, setelah sekian lama saya melupakannya. Buku itu bukan berisi tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan jin. Buku itu berisi tentang percakapan dengan seorang manusia dengan jin. Jin baik yang bisa ramah untuk diajak berkomunikasi, dengan cara khusus, yang tidak diberitahu si penulis. Saya membolak-balik halaman di buku itu, dan, hampir di halaman terakhir, ujungnya terlipat. Berarti ibu sudah hampir selesai membaca buku yang tergolong tipis itu.
Saat itu ibu sedang di rumah, jadi saya tidak punya waktu banyak untuk membacanya dari awal hingga selesai. Saya mengembalikan posisi itu ke tempat semula. Sebenarnya saya sangat ingin untuk membaca buku itu, tapi rasanya belum siap. Saya belum siap mengetahui apa isinya. Mungkin ibu juga tidak ingin saya mengetahuinya.
---
Sudah beberapa bulan sejak saya menemukan kembali buku itu. Saat itu ibu sedang mempersiapkan barang-barang untuk berangkat ke Beijing untuk urusan organisasi. Beberapa hari setelah ia berangkat, saya kembali merasa sepi. Ayah sedang sibuk-sibuknya, dan abang saya juga bukan tipikal orang yang sering saya ajak berbicara, bahkan bermain bersama. Aktifitas kami berbeda, kesukaan kami berbeda, dan seringkali ia tak ingin saya ikut bergabung dengan teman-temannya, padahal teman-temannya di kompleks juga teman-teman saya.
Karena rasa bosan yang melanda, saya selalu mencari-cari apa yang bisa saya lakukan di rumah. Akhirnya, saya teringat buku itu. Ya, saya harus membacanya, karena ibu sedang di luar negeri. Saya sempat merasa heran, kenapa saya selalu lupa akan buku ini. Padahal saya yang membeli sendiri buku ini. Saya bahkan berpikir, mungkin ini ulah ‘teman’ itu, mungkin ia tak ingin saya membaca buku itu. Butuh waktu lama hingga saya akhirnya menemukan buku itu. Saat saya menemukannya di tumpukan buku-buku di rak, kondisinya sudah berbeda, sampul bukunya sudah dilepas dan buku itu ditutup dengan sampul dari buku lain yang judulnya berbeda. Ternyata buku itu benar-benar disembunyikan. Tapi, untunglah, saya menemukannya.
Halaman demi halaman saya baca. Dalam kondisi sendiri di rumah. Berkali-kali saya dibuat terdiam oleh buku itu. Banyak sekali hal-hal yang terjadi dengan saya, diceritakan di buku itu. Bahkan di buku itu, juga menjelaskan bagaimana ciri-ciri orang yang sedang diganggu makhluk halus, bagaimana ciri-ciri kehadiran makhluk halus, dan lain-lain. Hampir semuanya terjadi persis dengan yang saya alami. Di buku itu, dijelaskan bahwa jin sangat menyukai ruangan yang dibiarkan kosong dalam waktu lama, apalagi jika ruangan itu dilengkapi dengan tempat untuk beristirahat seperti tempat tidur atau kursi. Dijelaskan juga ada beberapa jenis jin yang sangat menyukai tempat-tempat kotor seperti kamar mandi, atau dapur, karena mereka menyukai sisa-sisa makanan manusia. Jin juga sangat senang bersembunyi di balik foto, atau benda-benda yang menyerupai makhluk hidup, apalagi jika bentuk atau gambarnya utuh, dari kepala sampai kaki. Sejak saat itu pula, saya tahu mengapa seringkali patung-patung atau lukisan dan foto menjadi benda yang menyeramkan. Jin menyukai orang yang sering menyendiri, apalagi dengan pikiran yang kosong. Jin tidak selalu jahat dan usil. Layaknya manusia, jin juga ada yang baik dan taat kepada Tuhan, sang pencipta. Kehadiran jin memang benar adanya, dan dia memang tak kasat mata. Mereka berada di sekitar kita, tapi berada di dimensi yang lain. Mereka dapat melihat kita, tapi kita tidak dapat melihat mereka. Mereka tidak bisa begitu saja menampakkan wujudnya. Biasanya mereka menunjukkan kehadirannya melalui cara lain, seperti suhu udara yang berubah dan suara-suara. Ada beberapa kalangan jin yang bisa menjelma menjadi hewan, biasanya kuda, kelinci, anjing, kucing, harimau, ular, dan lain lain. Biasanya berwarna hitam atau putih. Jin menyukai tempat-tempat yang sering dijadikan tempat untuk berbuat maksiat dan kejahatan, karena meninggalkan aura negatif yang kuat. Maka itu, tempat-tempat bekas pembunuhan, atau bekas bunuh diri dan lain lain, sering dijadikan tempat bagi para jin untuk bersemayam. Jin tidak akan menampakkan wujudnya atau menunjukkan kehadirannya jika tidak ada aura negatif, rasa takut yang dikeluarkan dari manusia. Jin yang kuat, bisa menampakkan wujudnya, sesuai representasi rasa takut manusia. Jika seorang manusia takut melihat sosok tuyul, maka ia menampakkan wujudnya sebagai tuyul (jadi, jika saat ini anda sedang merasa takut, besar kemungkinannya jin jahat akan menampakkan kehadirannya di dekat anda saat ini). Jin yang kuat bahkan dapat menggerakkan benda-benda. Jin jahat lah yang sering usil mengganggu manusia, terlebih jika manusia itu penakut. Jin yang usil sering bertengger di sudut-sudut ruangan, menunggu saat yang tepat mereka dapat mengusili manusia. Jika anda melihat sosok orang yang sudah meninggal, itu bukan arwahnya, melainkan jin. Jin yang selama hidup seseorang, telah mendampinginya, sehingga ia bisa menyerupai wujud manusia itu sendiri. Umur jin sangat panjang, bisa ratusan bahkan ribuan tahun, tapi bukan berarti mereka tidak dapat mati. Ada jenis jin yang bisa diajak bekerjasama dengan manusia. Biasanya jenis jin ini digunakan oleh ahli-ahli sihir dan orang-orang yang ingin mendapat penghargaan lebih di kalangan manusia. Tapi hal itu tidak mudah dilakukan.
Di saat sedang membaca semua tulisan itu, saya sampai pada bagian yang telah dirobek. Ada beberapa halaman yang dirobek dari buku itu. Saya tidak tahu kenapa. Bagian terakhir sebelum halaman yang dirobek itu, adalah bagian yang menjelaskan bahwa ada jin yang dapat diajak bekerjasama dengan manusia.
Saat itu pula, saya memutuskan untuk menyudahinya. Saya merasa takut dan pusing. Saya sadar, memang tidak seharusnya saya mengetahui isi buku itu. Tapi, saya masih penasaran.
Saya memutuskan untuk pergi ke warnet terdekat untuk mencari referensi lebih banyak, meskipun sebenarnya saya takut. Benar saja, ternyata informasi itu banyak ditemukan di internet, buku-buku bahkan kitab-kitab terdahulu, dari berbagai sudut pandang. Ada yang penjelasannya agak berbeda, namun pada dasarnya, intinya tetap sama dengan apa yang saya baca di buku itu.
Sejak saya mengetahui hal-hal itu, saya justru menjadi seorang yang lebih penakut dari sebelumnya. Karena saya sudah mengetahui ‘sedikit’ tentang jin dan alam ghaib. Benar kata ayah, memang sebaiknya saya tidak mencari-cari tahu hal-hal ghaib, jika saya tidak siap dengan konsekuensinya. Sejak saat itu pula, setiap gangguan yang saya alami terasa sangat berbeda. Hingga akhirnya, saya merasa menyerah dengan semua yang saya alami selama bertahun-tahun lamanya.
(to be continued…)
Keris itu. Benda itu berpindah. Saat saya menemukannya, saya bahkan tidak berani menoleh ke arah mbak Asti. Saat itu suara dengkurannya tidak lagi terdengar. Saya tersadar saat itu ia tidak lagi tertidur. Hanya cahaya lampu dari ventilasi yang menyinari ruangan itu. Tapi, suasana kamar tetap gelap, bahkan saat itu terasa lebih gelap dari yang sebenarnya. Saya memberanikan diri menoleh ke arah mbak Asti. Astaga. Dia tidak tidur. Posisinya masih terlentang. Dia sedang melihat saya dengan mata yang melotot. Dia mengeluarkan suara mengerang seperti harimau yang sedang marah. Saat itu pula saya mendengar ada suara pagar sedang dibuka.
(Saat ini saya sedang sendirian di rumah, mengetik di ruang makan, dan barusan ada suara kelereng jatuh dari arah kamar pembantu yang sudah kosong sejak lama.)
Akhirnya, ayah pulang, pikir saya. Meskipun tubuh saya terasa kaku, saya bergegas berlari menuju teras, memaksakan kondisi tubuh yang sedang lemas selemas-lemasnya. Benar, ayah sedang memasukkan mobil, dan ibu yang baru membuka pagar, langsung berjalan menuju ke dalam rumah, sembari menghampiri saya sebentar untuk meminta maaf karena pulang terlalu lama. Saat itu saya menahan rasa takut saya, karena tidak mungkin saya meluapkannya ke ibu. Dia tak akan mengerti, dan dia juga pasti akan takut dan ujung-ujungnya menyalahkan saya yang terlalu banyak berimajinasi. Saya hanya terdiam di pintu, menunggu ayah keluar dari mobil. Ketika ia menapakkan kakinya keluar mobil, saya langsung menghampirinya dan memeluknya, bahkan ia hampir terjatuh karena ia belum benar-benar berdiri dengan sempurna. Belum lagi saya sempat menjelaskan apa yang terjadi, mbak Asti, astaga, dia datang naik sepeda. Dia baru saja jalan-jalan sepedaan bersama pembantu tetangga. Sekujur tubuh saya terasa lemas. Berarti sejak tadi mbak Asti tidak di rumah. Jadi siapa yang saya lihat di kamarnya tadi?
Saya menjelaskan semuanya, dengan panik, sampai saya lupa bahwa ibu masih bisa mendengar saya, wajah mbak Asti terlihat sangat ketakutan, sedangkan ayah, ada ekspresi kesal di wajahnya. Saya tidak tahu kenapa. Ayah tidak menjawab apa-apa, dia hanya pergi ke kamar pembantu dan mengambil keris itu. Ya, keris itu memang berpindah dan masih berada di kamar itu. Sedangkan mbak Asti, dengan ragu, dia memasuki kamar. Dia tidak mematikan lampu, biasanya ia selalu melakukannya.
Malam itu badan saya terasa lemas, dan saya tertidur dalam keadaan takut yang masih mendera.
Keesokan harinya, saya bangun pagi lebih awal, karena saya masih senang menunggu acara film kartun di TV. Mbak Asti pun sudah bangun, dia menyuguhkan teh hangat dan roti bakar di hadapan saya. Saya memperhatikan tampilannya. Tumben, pagi-pagi begitu ia sudah terlihat bersih dan berpakaian rapi, seperti hendak bepergian. Tidak lama kemudian, ibu pun turun dan mendampingi saya di ruang TV. Saya pun menyenderkan kepala di pahanya, rasanya tenang sekali, berada sedekat itu dengan ibu dan merasakan kehangatan tubuhnya. Ibu membelai kepala saya, sepertinya ia mendengar cerita saya tadi malam, dan ia berusaha menenangkan saya pagi itu.
Saat mbak Asti kembali dan membawa secangkir teh ke ibu, wajahnya terlihat pucat.
“Kenapa kamu Asti? Kok pucat? Kurang tidur atau gimana.” Tanya ibu.
“Gak enak badan, bu. Badan saya panas.”
“Owalah Asti, yaudah kalau masih mau tidur gak apa apa tidur aja dulu.”
“Iya, bu makasih ya bu, tapi nggak apa-apa kok Asti bu.. tapi..”
“Tapi apa?”
“Maaf bu, saya sudah telepon adik saya.”
“Loh kamu mau ngapain?”
“Saya mau pulang aja bu ke rumah orang tua.”
“Loh? Kamu gimana sih? Kan masih lama berangkat ke Malaysia.”
“Iya, bu, tapi kayaknya Asti lebih baik nunggu di rumah orang tua aja, rasanya nggak enak terlalu lama ninggalin orang tua, apalagi sebelum Asti berangkat ke Malaysia nanti.”
Alasannya sangat masuk akal untuk diterima ibu, dan ibu menyetujuinya. Patut saja ia sudah rapi dan bersih di pagi itu, ternyata ia sudah bersiap-siap untuk pergi. Pergi dari rumah kami. Saya kecewa. Kenapa dia tiba-tiba ingin pergi. Saya ingin bertanya, tapi tidak mungkin karena ada ibu.
Siangnya, kami mengantar mbak Asti ke stasiun, karena sepertinya ia tidak ingin menunggu terlalu lama sampai dijemput oleh adiknya. Dia memilih langsung dengan segera pergi. Kami tidak mengantarnya sampai masuk stasiun. Hanya sampai di tempat parkir depan. Selama perjalanan, saya duduk di sampingnya. Dia hanya diam, diam seribu bahasa. Tidak seperti mbak Asti yang biasanya selalu ada saja bahan pembicaraannya. Sebelum ia turun dari mobil, dia menyempatkan diri untuk memeluk saya, sembari membisikkan sesuatu.
“Maaf ya dek, mbak pulang lebih cepat. Adek jangan takut-takut lagi ya di rumah. Mbak janji gak bakal cerita ke siapa-siapa.”
Saya belum sempat menanyakan kenapa ia memutuskan untuk pergi. Saya yakin, mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya tadi malam. Tapi, saya tidak tahu. Mobil sudah bergerak pergi. Mbak Asti melambaikan tangannya. Saya tahu dia masih merasa berat untuk pergi. Ekspresi itu terlihat di wajahnya. Saat itu saya sedih. Tidak ada lagi teman yang selalu ada mendengarkan cerita saya, secara langsung, bukan khayalan.
Saat tiba di rumah, saya mencoba mengecek keris itu di lemari. Belum sempat saya membuka pintu, ayah saya datang.
“Udah! Nggak usah dicari-cari. Udah papa simpan!”
Nada bicaranya agak tinggi. Saya tidak ingin memperpanjang masalah, ya sudah, keris itu sudah disembunyikan dan saya tidak perlu mencari-carinya. Itulah inti yang saya simpulkan dari perkataan ayah tadi.
Sejak saat itu pula, ibu saya seakan memahami saya. Sorot matanya berubah. Sejak saat itu pula, sedikit demi sedikit, saya mulai menceritakan mengenai ‘teman’ saya dan gangguan-gangguan yang saya alami. Sepertinya ibu mulai menerima cerita tentang yang saya alami. Meskipun, saya yakin sebenarnya ia tak percaya dengan semua cerita saya, tapi ia hanya menjadi pendengar yang baik dan mencoba menjawab setiap perkataan saya dan terkadang mencoba meluruskan pandangan saya terhadap hal-hal ghaib. Sebenarnya saya merasa cukup senang, paling tidak, meskipun ia tidak percaya, ia masih bisa mendengar dengan tenang, tidak lagi langsung menepis semua perkataan saya dengan kasar dan menuduh saya suka dengan yang aneh-aneh. Ya, saya tidak bisa memaksakannya. Karena saya yang mengalaminya. Padahal, dulu kami pernah mengalami ‘gangguan’ bersama. Ya, saat kami baru pindah dan pintu kamarnya tidak bisa tertutup, tertahan oleh ‘sesuatu’.
Sejak saat itu pula, saya menyadari, ibu saya setiap pagi membaca satu buku. Dia memang rajin membaca, tapi kali ini, dilihat dari sampulnya, saya melihat buku yang dibacanya berbeda. Biasanya, ia selalu menceritakan apa yang dibacanya kepada saya. Namun, kali ini tidak. Setiap kali saya berada di dekatnya, ia pasti menutup buku itu dan menyimpannya. Tapi, gelagatnya sangat sempurna, seolah-olah ia tidak menutup-nutupinya. Tapi, saya tetap tahu ada yang aneh, ia tidak menceritakan apa yang ia baca. Awalnya, saya tidak merasa ingin tahu apa yang ia baca, mungkin memang dia saja yang tidak tertarik untuk membagikan apa yang ia baca kepada saya. Tapi, lama kelamaan, rasa curiga itu muncul.
Akhirnya, saat ada kesempatan, saya mengambil buku itu. Astaga, di sampul bukunya, tertulis ‘Dialog Dengan Jin’. Ya, buku ini adalah buku yang saya beli sendiri sejak lama (part 7), namun tidak sempat saya baca karena buku itu menghilang, dan saya benar-benar belum pernah membacanya karena lupa. Ternyata buku ini ditemukan oleh ibu, atau mungkin sudah sejak lama ia menyembunyikan buku itu. Saya membaca kata pengantar buku itu, akhirnya, setelah sekian lama saya melupakannya. Buku itu bukan berisi tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan jin. Buku itu berisi tentang percakapan dengan seorang manusia dengan jin. Jin baik yang bisa ramah untuk diajak berkomunikasi, dengan cara khusus, yang tidak diberitahu si penulis. Saya membolak-balik halaman di buku itu, dan, hampir di halaman terakhir, ujungnya terlipat. Berarti ibu sudah hampir selesai membaca buku yang tergolong tipis itu.
Saat itu ibu sedang di rumah, jadi saya tidak punya waktu banyak untuk membacanya dari awal hingga selesai. Saya mengembalikan posisi itu ke tempat semula. Sebenarnya saya sangat ingin untuk membaca buku itu, tapi rasanya belum siap. Saya belum siap mengetahui apa isinya. Mungkin ibu juga tidak ingin saya mengetahuinya.
---
Sudah beberapa bulan sejak saya menemukan kembali buku itu. Saat itu ibu sedang mempersiapkan barang-barang untuk berangkat ke Beijing untuk urusan organisasi. Beberapa hari setelah ia berangkat, saya kembali merasa sepi. Ayah sedang sibuk-sibuknya, dan abang saya juga bukan tipikal orang yang sering saya ajak berbicara, bahkan bermain bersama. Aktifitas kami berbeda, kesukaan kami berbeda, dan seringkali ia tak ingin saya ikut bergabung dengan teman-temannya, padahal teman-temannya di kompleks juga teman-teman saya.
Karena rasa bosan yang melanda, saya selalu mencari-cari apa yang bisa saya lakukan di rumah. Akhirnya, saya teringat buku itu. Ya, saya harus membacanya, karena ibu sedang di luar negeri. Saya sempat merasa heran, kenapa saya selalu lupa akan buku ini. Padahal saya yang membeli sendiri buku ini. Saya bahkan berpikir, mungkin ini ulah ‘teman’ itu, mungkin ia tak ingin saya membaca buku itu. Butuh waktu lama hingga saya akhirnya menemukan buku itu. Saat saya menemukannya di tumpukan buku-buku di rak, kondisinya sudah berbeda, sampul bukunya sudah dilepas dan buku itu ditutup dengan sampul dari buku lain yang judulnya berbeda. Ternyata buku itu benar-benar disembunyikan. Tapi, untunglah, saya menemukannya.
Halaman demi halaman saya baca. Dalam kondisi sendiri di rumah. Berkali-kali saya dibuat terdiam oleh buku itu. Banyak sekali hal-hal yang terjadi dengan saya, diceritakan di buku itu. Bahkan di buku itu, juga menjelaskan bagaimana ciri-ciri orang yang sedang diganggu makhluk halus, bagaimana ciri-ciri kehadiran makhluk halus, dan lain-lain. Hampir semuanya terjadi persis dengan yang saya alami. Di buku itu, dijelaskan bahwa jin sangat menyukai ruangan yang dibiarkan kosong dalam waktu lama, apalagi jika ruangan itu dilengkapi dengan tempat untuk beristirahat seperti tempat tidur atau kursi. Dijelaskan juga ada beberapa jenis jin yang sangat menyukai tempat-tempat kotor seperti kamar mandi, atau dapur, karena mereka menyukai sisa-sisa makanan manusia. Jin juga sangat senang bersembunyi di balik foto, atau benda-benda yang menyerupai makhluk hidup, apalagi jika bentuk atau gambarnya utuh, dari kepala sampai kaki. Sejak saat itu pula, saya tahu mengapa seringkali patung-patung atau lukisan dan foto menjadi benda yang menyeramkan. Jin menyukai orang yang sering menyendiri, apalagi dengan pikiran yang kosong. Jin tidak selalu jahat dan usil. Layaknya manusia, jin juga ada yang baik dan taat kepada Tuhan, sang pencipta. Kehadiran jin memang benar adanya, dan dia memang tak kasat mata. Mereka berada di sekitar kita, tapi berada di dimensi yang lain. Mereka dapat melihat kita, tapi kita tidak dapat melihat mereka. Mereka tidak bisa begitu saja menampakkan wujudnya. Biasanya mereka menunjukkan kehadirannya melalui cara lain, seperti suhu udara yang berubah dan suara-suara. Ada beberapa kalangan jin yang bisa menjelma menjadi hewan, biasanya kuda, kelinci, anjing, kucing, harimau, ular, dan lain lain. Biasanya berwarna hitam atau putih. Jin menyukai tempat-tempat yang sering dijadikan tempat untuk berbuat maksiat dan kejahatan, karena meninggalkan aura negatif yang kuat. Maka itu, tempat-tempat bekas pembunuhan, atau bekas bunuh diri dan lain lain, sering dijadikan tempat bagi para jin untuk bersemayam. Jin tidak akan menampakkan wujudnya atau menunjukkan kehadirannya jika tidak ada aura negatif, rasa takut yang dikeluarkan dari manusia. Jin yang kuat, bisa menampakkan wujudnya, sesuai representasi rasa takut manusia. Jika seorang manusia takut melihat sosok tuyul, maka ia menampakkan wujudnya sebagai tuyul (jadi, jika saat ini anda sedang merasa takut, besar kemungkinannya jin jahat akan menampakkan kehadirannya di dekat anda saat ini). Jin yang kuat bahkan dapat menggerakkan benda-benda. Jin jahat lah yang sering usil mengganggu manusia, terlebih jika manusia itu penakut. Jin yang usil sering bertengger di sudut-sudut ruangan, menunggu saat yang tepat mereka dapat mengusili manusia. Jika anda melihat sosok orang yang sudah meninggal, itu bukan arwahnya, melainkan jin. Jin yang selama hidup seseorang, telah mendampinginya, sehingga ia bisa menyerupai wujud manusia itu sendiri. Umur jin sangat panjang, bisa ratusan bahkan ribuan tahun, tapi bukan berarti mereka tidak dapat mati. Ada jenis jin yang bisa diajak bekerjasama dengan manusia. Biasanya jenis jin ini digunakan oleh ahli-ahli sihir dan orang-orang yang ingin mendapat penghargaan lebih di kalangan manusia. Tapi hal itu tidak mudah dilakukan.
Di saat sedang membaca semua tulisan itu, saya sampai pada bagian yang telah dirobek. Ada beberapa halaman yang dirobek dari buku itu. Saya tidak tahu kenapa. Bagian terakhir sebelum halaman yang dirobek itu, adalah bagian yang menjelaskan bahwa ada jin yang dapat diajak bekerjasama dengan manusia.
Saat itu pula, saya memutuskan untuk menyudahinya. Saya merasa takut dan pusing. Saya sadar, memang tidak seharusnya saya mengetahui isi buku itu. Tapi, saya masih penasaran.
Saya memutuskan untuk pergi ke warnet terdekat untuk mencari referensi lebih banyak, meskipun sebenarnya saya takut. Benar saja, ternyata informasi itu banyak ditemukan di internet, buku-buku bahkan kitab-kitab terdahulu, dari berbagai sudut pandang. Ada yang penjelasannya agak berbeda, namun pada dasarnya, intinya tetap sama dengan apa yang saya baca di buku itu.
Sejak saya mengetahui hal-hal itu, saya justru menjadi seorang yang lebih penakut dari sebelumnya. Karena saya sudah mengetahui ‘sedikit’ tentang jin dan alam ghaib. Benar kata ayah, memang sebaiknya saya tidak mencari-cari tahu hal-hal ghaib, jika saya tidak siap dengan konsekuensinya. Sejak saat itu pula, setiap gangguan yang saya alami terasa sangat berbeda. Hingga akhirnya, saya merasa menyerah dengan semua yang saya alami selama bertahun-tahun lamanya.
(to be continued…)
No comments: