Ads Top

RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 10

PART 10 - PENYESALAN

Menyesal. Sesungguhnya, sampai hari ini, detik ini, saya menyesal telah membaca buku itu, mencari-cari tahu urusan dunia alam ghaib. Tidak seharusnya seorang manusia mengusik-usik apa-apa yang ada di dimensi lain. Tapi apa daya, saya duluan yang terpancing, ketika dulu sekali, saya diusik oleh makhluk halus untuk pertama kalinya.

Sudah cukup banyak yang saya ketahui. Saya mencoba mencocok-cocokkan apa yang saya ketahui dengan apa yang saya alami.
Jika dulu guci dapat bergerak dengan sendirinya, berarti apa benar ada jin yang menggerakkannya?
Dari mana asal gigi itu? 
Kenapa keris itu dulu bisa berpindah tempat? 
Jika memang jin bisa menggerakkan dan memindahkan benda benda, lantas ada alasan apa dibalik mereka melakukan itu?
Apakah selama ini saya telah berteman dengan jin?
Jika memang ada jin yang sekuat itu sampai bisa menggerakkan benda-benda, kenapa mereka harus ada di rumah kami?
Kenapa harus saya, yang mengalami ini semua sejak awal?

Semakin lama waktu berjalan, ternyata justru semakin banyak pertanyaan-pertanyaan itu muncul.

Tanpa saya sadari, saya telah mendalami kehidupan alam ghaib terlalu dalam. Sesungguhnya saya tidak siap untuk menerima konsekuensinya. Saya menjadi lebih peka terhadap hal-hal aneh, saya semakin sering mengalami gangguan. Rasanya menjadi semakin sulit untuk diterima oleh orang-orang, bahkan kerabat terdekat sendiri. Saya tidak bisa menceritakannya, karena mereka tak akan percaya.

Buku itu, buku yang ternyata banyak menuai pro dan kontra diluar sana. Saya benci buku itu. Saya tidak peduli apakah isinya benar atau tidak. Tapi, apa yang terjadi sangat mirip dengan apa yang saya alami.

Sejak saat itu pula, rasanya ‘teman’ saya menjadi semakin kuat dan menjadi-jadi. Saya seakan tahu jika ada orang yang tidak baik di sekitar saya, cukup sekedar melihat wajahnya dan cara dia berbicara. Saya menjadi orang yang emosian. Rasanya sulit untuk mengontrol emosi.

Masa SMP merupakan masa puncaknya saya menjadi pribadi yang berbeda. Bisa dibilang, saat itu saya menjadi orang yang temperamental. Di sisi lain, saya menjadi pribadi yang suka dengan hal-hal ghaib. Saya tidak pernah membayangkan akan jadi seperti itu.

Di sekolah dulu, ada seorang guru yang (maaf) kurang saya sukai. Saya tidak suka cara becandanya yang selalu mengorbankan seseorang. Guru yang lucu memang menyenangkan, tapi tidak kalau dia bercanda karena mengejek satu murid dan murid-murid lain ikut menertawakan. Beliau sudah seringkali menjadikan saya bahan untuk candaannya. Saya tahu teman-teman saya tertawa bukan karena merendahkan saya, tapi yang jelas, saya merasa beliau tidak pantas melakukan itu. Ada perasaan dendam yang membara di dalam diri saya. 

Di satu kesempatan, saya dengan sengaja menumpahkan tinta spidol diatas kursi guru, tentu saja karena kursi itu warnanya juga hitam. Saya menunggu saat-saat beliau duduk diatas kursi itu. Beliau sedang mengenakan celana berwarna abu-abu. Begitu ia duduk, ada rasa senang yang luar biasa di dalam benak saya. Saya menunggu sampai saatnya dia berdiri dan membelakangi kami.
Saat itu terjadi, teman-teman saya semuanya tertawa melihat celananya sudah penuh dinodai tinta. Dia mencoba mengusap-usap celananya dengan tangannya karena panik, namun tangannya justru semakin kotor dan teman-teman yang lain justru semakin tertawa. Wajahnya merah padam. Saya tersenyum dengan senang dan licik. Beliau melihat saya. Sepertinya beliau tahu saya lah yang ada dibalik kejadian itu. Beliau hanya keluar dari kelas dan tidak kembali lagi. Saat beliau berjalan keluar kelas, dia terus melihat saya dan saya tidak takut untuk terus menatap matanya. Saya sempat melihat ada ekspresi takut di wajahnya. Tapi saya merasa puas. Beliau bahkan absen selama tiga hari.

Setelah kejadian itu, beliau tidak pernah lagi menjadikan saya bahan olokan. Sepertinya beliau sudah berubah, namun tidak dengan saya. Di masa-masa itu, saya selalu mengantongi gunting atau pisau cutter. Saya pernah disidang di kantor kepala sekolah karena saya pernah menodongkan pisau cutter ke teman saya yang sering mengolok-olok saya, dan lehernya terluka cukup parah. Saya juga pernah dengan sengaja mendorong teman saya yang sedang hendak menuruni tangga kemudian berlari dan bersembunyi. Saya juga pernah mencampurkan alkohol ke botol minuman teman saya dan membuatnya pusing dengan hebat dan dilarikan ke UKS. Saya juga pernah merobek ban sepeda motor guru. Semua itu saya lakukan atas dasar rasa benci karena merendahkan saya. Saat itu cukup banyak orang-orang yang mengatakan saya gila karena sering membawa benda tajam. Pihak sekolah sepertinya sudah capek dengan aduan-aduan dari murid lain mengenai tingkah saya. Tapi, kebetulan sekali di masa SMP, prestasi saya justru meningkat. Saya beberapa kali membawa nama sekolah mengikuti kejuaraan. Dan saya juga sudah menyumbangkan piala untuk sekolah itu. Mungkin itu yang menjadi alasan kenapa sekolah tetap mempertahankan saya.
Awalnya, semua itu hanya didasari rasa benci, tapi lama kelamaan, saya jadi lebih sering melakukannya karena saya merasa senang. Ya, dulu saya sempat menjadi orang yang senang melihat orang menderita karena tindakan saya. Seperti saat saya mencekik teman saya yang tak bersalah, melihatnya merintih kesakitan dan sesak nafas, merupakan hal yang menyenangkan bagi saya.

Suatu hari, setelah jam olahraga, ada teman saya yang mengolok-olok saya karena tidak ikut bermain sepak bola, melainkan hanya duduk menyendiri. Saya sangat membencinya. Kebetulan sekali, saya bertemu dia sedang sendiri masih mengganti baju di dalam bilik toilet. Saat dia keluar dari bilik, saya langsung menghimpitnya ke pojokan, mencekiknya sambil menodongkan pisau cutter ke arah matanya. Dia merintih kesakitan, matanya memerah, dia meronta-ronta dengan hebat. Sayang sekali, tubuhnya kurus dan lebih kecil dari saya. Saya membenturkan kepalanya ke dinding. Saat itu, air matanya mengalir deras. Dia memohon agar saya berhenti dan dia berjanji tidak akan mengulanginya dan tidak akan bilang ke siapapun. Akhirnya saya melepaskannya dan ia terjatuh. Entah kenapa, saat itu saya merasa sangat senang dan sangat puas.

Setelah kejadian itu, saya pergi ke toilet di lantai atas. Toilet lantai 3, toilet yang paling jarang digunakan, paling gelap dan paling sepi se-antero sekolah itu, toilet yang sering digunakan para guru saja. Itupun kalau toilet khusus guru sedang penuh. Saya duduk di dalam bilik toilet dan tertawa-tawa sendiri. Saya memang merasa gila tapi saya seakan tidak peduli. Tidak lama setelah saya tertawa-tawa, saya terdiam. Dan tanpa saya sadari saya mengeluarkan air mata. Tidak tahu kenapa tapi memang benar, saya menangis. Tidak tahu apakah karena menyesal atau karena apa. Paha saya terasa panas dan perih. Saya membuka celana, dan, ada bekas cap tangan disitu. Ukurannya lebih besar dari ukuran tangan saya saat itu. Saya terheran-heran. Kenapa bisa ada bekas itu. Bekas itu, terlihat seperti ada yang menampar paha saya dengan keras.

Saya hanya menunduk termenung melihat bekas cap tangan itu. Ada bau belerang, ya, bau yang sama dengan yang pernah tercium di dekat lemari dulu. Saya tidak tahu asalnya dari mana. Saya menoleh ke kanan dan kiri dengan perlahan. Saya merasa ada sesuatu yang lain di dalam bilik berukuran 2 x 2 meter itu. Saya memberanikan diri melihat ke atas. Astaga. Ada sosok hitam yang sepertinya sejak tadi memperhatikan saya dari atas sana. Sosok itu mengintip dari bilik sebelah. Saya tidak sempat melihatnya dengan jelas karena saya langsung menundukkan kepala saya. Yang saya ingat, sosoknya gelap, wajahnya tak terlihat, telinganya panjang dan tak berambut.

Saya langsung bergegas keluar dari toilet, dan ternyata berpapasan dengan bapak guru. Ya, bapak guru yang dulu mengolok-olok saya. Saya berhenti sebentar untuk mengucapkan salam hormat, yang harus dilakukan murid ketika berpapasan dengan guru. 

“Kamu.. bisa bicara sebentar tidak.” Beliau menghentikan langkah saya.
“Ya, ada apa pak?” Saya bertanya kembali. Sebenarnya saya takut.
“Kamu itu…” Dia memutar-mutarkan jarinya seakan ia bingung.
“Em.. kenapa ya pak.”
“Bapak.. minta maaf ya. Maaf.”
“Maaf kenapa ya pak.”
“Maaf, bapak dulu pernah ngejek-ngejek.”
“Oh, iya, nggak apa-apa kok pak.” Sahut saya.
“Iya. Sekali lagi maafkan bapak.”
“Iya pak, gak apa apa kok, serius. Saya juga sudah lupa.”

Saya kembali melanjutkan langkah. Saat itu sepertinya saya memang sudah benar-benar memaafkannya. Ternyata cukup dengan kata maaf darinya, saya bisa luluh.

“Oh, ya.” Beliau kembali menghentikan langkah saya.
“Ya, kenapa lagi pak?”
“Ng… tolong sampaikan maaf saya.”
“Loh kan tadi udah pak??”
“Iya, satu lagi. Sampaikan maaf saya sama dia.”
“Maksud bapak?”
“Iya, mohon sampaikan padanya, jangan ganggu saya lagi. Saya minta maaf.”
“Saya nggak ngerti pak.” Saya merinding. Saya bingung.
“Sewaktu bapak pergi meninggalkan kelas, waktu saya kena tinta. Saya tahu itu kamu yang melakukannya. Tapi, saat itu bapak juga melihat ada ‘orang’ lain yang berdiri di belakang kamu. Wajahnya kelihatan marah.”

Saya hanya terdiam seribu bahasa. Bulu kuduk saya berdiri dengan hebatnya. Saya tak percaya ucapannya. Tidak mungkin.

“Sejak itu bapak sakit demam. Dia datang terus.” Beliau kembali melanjutkan ceritanya.

Tidak sampai ia selesai berbicara, saya langsung pergi meninggalkannya. Kepala saya terasa pusing. Pantas saja, sejak kejadian itu dia seakan tidak berani melihat saya. Saya bingung. Saya sadar, tidak seharusnya saya berbuat separah itu. Apa mungkin, selama ini teman-teman saya yang dianiaya juga melihatnya?
Saya bahkan merasa kalau selama ini saya melakukan itu diluar keinginan saya. Karena jujur, setiap kali saya menganiaya teman saya, meskipun saya tertawa, batin saya menangis. 
Saya menyadari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri. Bahkan, gangguan yang saya alami, kini sudah masuk menjadi bisikan-bisikan halus di dalam benak saya. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya menjadi lebih peka terhadap hal-hal ghaib. Yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh orang lain termasuk keluarga saya sendiri.

Di masa-masa SMP lah, ada kegiatan lain yang sering saya lakukan selain menyendiri di dalam ruangan. Saya sering berjalan-jalan sendiri, mengelilingi danau dan taman kompleks.

(to be continued…)

No comments:

Powered by Blogger.