RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 8
PART 8 - BIOLA
Oktober 2005. Akhirnya, saya mendapat biola kedua dari paman. Meskipun akhirnya bukan dari ibu saya, tapi tentu saja tidak masalah. Biola yang lama pun akhirnya terlantar, seolah-olah saya lupa masa-masa indah bersama biola yang pertama. Menyenangkan sekali saat-saat dulu saya baru dibelikan biola, dan saya juga membagi cerita itu dengan ‘teman’ itu. Tapi, akhirnya biola yang lama hanya disimpan di kamar kosong. Perlahan, kamar itu hanya menjadi tempat kami menyimpan barang-barang, meskipun tidak pernah disebut sebagai gudang.
Suatu hari, saya sedang berlatih biola di kamar saya. Sesaat, saya berhenti karena merasa kesulitan memainkan sebuah lagu. Seperti biasa, saya terduduk dan berbicara, dengan ‘teman’ yang selalu ‘hadir’. Ya, saya sudah sangat terbiasa, berbicara, kemudian menjawabnya sendiri, bahkan saat saya menjawab, rasanya sangat spontan dan tidak terasa seperti saya yang menjawabnya, padahal ucapan itu berasal dari mulut saya sendiri.
Sesaat setelah saya berhenti melatih biola, dan memutuskan untuk menyerah. Saya mendengar suara gesekan biola. Suaranya sangat halus. Hanya satu nada. Saat itu saya yakin, itu adalah perbuatan si ‘teman’ yang tak bernama.
Karena, selama ini kehadirannya selalu sangat terasa di saat-saat saya merasa sedih, kecewa, atau marah. Saya menghampiri kamar itu tanpa rasa takut. Saya buka tas biola itu, dan ternyata, tiga dari empat senar sudah putus. Senar yang tersisa adalah senar yang paling tipis, senar E. Sedangkan yang saya dengar tadi, nadanya tidak sampai setinggi nada di senar itu. Tanpa rasa takut, saya tinggalkan biola itu dan kembali ke kamar dan melanjutkan latihan.
Saat saya salah memainkan nada, biola lain dari ruangan lain memperdengarkan nada yang seharusnya, seakan-akan memberitahu bahwa saya memainkan nada yang salah.
Saya tersenyum kecil, tertawa sedikit.
“Ha ha, ternyata kamu bisa main biola juga ya?” ucap saya.
Saya kembali lagi mengambil biola itu, meletakkannya diatas meja.
“Ayo, sekarang kita main sama-sama ya, kayaknya kamu lebih jago.”
Tapi, tentu saja tidak ada lagi suara biola itu. Saya hanya bermain sendiri.
“Oke, kalo kamu malu, sekarang aku belakangin kamu ya, aku ga liat, tapi ikut main ya! Kalo enggak, aku marah!”
Saya pun memainkan biola, membelakangi biola yang lain. Baru beberapa detik, biola itu terjatuh dengan kerasnya. Padahal, posisi sebelumnya sepertinya tidak memungkinkan untuk bergeser dan jatuh.
Dalam kondisi merinding di sekujur tubuh, saya bergegas mengambilnya. Kondisinya retak di bagian depan. Saat saya memperhatikan bagian yang retak, senar yang tersisa putus dan melayang ke wajah saya, tepatnya ke dahi, dan meninggalkan luka kecil. Entah kenapa saat itu saya marah dan langsung mengembalikan biola itu ke kamar kosong.
Saya merasa bersalah, tapi saya juga merasa gila, harus merasa bersalah terhadap benda mati dan sosok yang tidak terlihat wujudnya. Sudah beberapa kali saya mendengar suara rintihan orang menangis dari arah kamar. Meskipun gangguan-gangguan suara aneh sering muncul, kali ini saya tetap tidak merasa terbiasa. Tiap kali saya mendengar suara tangisan itu, ada perasaan bersalah itu.
Akhirnya, saya putuskan untuk membujuk ayah, agar biola itu diperbaiki dan senarnya dipasang yang baru.
Benar saja, semenjak biola itu diperbaiki, meskipun masih meninggalkan bekas lem di bagian yang retak, suara tangisan itu tidak pernah muncul lagi. Tapi anehnya, baru semalaman ditinggal dan tak disentuh, besoknya satu senar kembali putus. Kemudian kami kembali menggantinya, putus lagi, dan diganti lagi. Karena seringkali putus tanpa sebab, saya memutuskan untuk membiarkannya saja. Toh, biola itu sudah tidak dipakai. Tapi, setiap kali saya berlatih biola di rumah, biola yang lama tetap saya keluarkan dan saya letakkan di samping saya. Karena sepertinya hanya itu yang bisa saya lakukan agar suara tangisan itu tidak terdengar lagi. Ya, mengajaknya ikut bermain.
---
Sudah cukup lama, setelah saya hidup dengan ‘teman’, gangguan, dan semua misteri di dalamnya. Tentu saja, semua berjalan perhalan, saya mengikuti arahan ayah, untuk tidak terlalu banyak menghabiskan banyak waktu untuk mencari-cari tahu. Karena, menurutnya, semakin kita memperdalam hal-hal ghaib, semakin mudah pula bagi mereka dari dimensi lain untuk mempermainkan kita.
Hari itu hari Sabtu, saya masih mengenakan seragam pramuka, pulang ke rumah dalam keadaan banyak sekali tamu arisan ibu. Tamunya sungguh ramai sampai akhirnya, untuk pertama kalinya, tangga belakang harus digunakan agar tidak mengganggu ‘khidmat’ nya arisan. Ha ha ha.
Setibanya di rumah, saya langsung masuk dari pintu samping, disambut dengan pembantu kami, mbak Asti.
Pintu samping langsung berhadapan dengan tangga itu. Satu-satunya akses yang bisa dilalui untuk mencapai kamar saya saat itu hanyalah tangga itu. Entah kenapa, ada rasa keraguan di dalam diri saya untuk menaiki tangga. Saat saya menaiki tangga, rasanya jantung berdegup cukup kencang, aneh. Mungkin karena saya punya perasaan curiga dengan tangga itu sejak dulu.
Saya berjalan menaiki tangga. Rasanya pengap, sunyi, bahkan suara keributan ibu-ibu arisan tidak terdengar. Menaiki tangga itu, rasanya butuh waktu lama, waktu seakan berjalan dengan lambat.
Setibanya di kamar, saya hanya duduk, dan seperti biasa, berbicara dengan ‘teman’, menceritakan keseharian dan mengeluhkan masalah. Hari sudah sore, abang saya belum juga pulang. Rasanya bosan.
“Tok tok!”, ada yang mengetuk pintu kamar.
Dengan sedikit kaget, saya bergegas menuju pintu kamar. Saya membuka pintu, dan untunglah, kali ini, makhluk halus sedang tidak ingin bermain dengan saya. Ternyata ada seorang ibu-ibu yang mengetuk pintu kamar, dia teman ibu.
“Halo, maaf tante ganggu, masih ingat sama tante kan?” wanita itu bertanya.
“Em… kayaknya iya, tante Lisa ya?”
“Hahaha, bukan, tante Rita.. dulu terakhir kita jumpa kayaknya kamu masih kecil ya.”
“Hahaha iya tante, ada apa nih ngomong-ngomong?”
“Boleh tante masuk? Ada yang mau tante bilang.”
“Oh ya, ga apa apa tante, masuk aja, tapi berantakan nih haha.”
Saat itu tante Rita memasuki kamar, dan duduk di sofa. Saya pun duduk di kursi meja belajar, menghadap wanita itu. Saya masih ingat, tampilan wanita itu sederhana, mengenakan kemeja warna abu-abu dengan celana bahan berwarna merah maroon. Rambutnya pendek, dan dari gaya bicaranya, sepertinya dia orang yang serius.
“Mau ngomong apa tante?”
“Oh, gini, tante udah denger cerita dari mama kamu.”
“Ha? Cerita apaan tante?”
“Mama kamu sering bilang, kamu sering ngomong-ngomong sendiri ya?”
Saya hanya terdiam. Saya tidak suka dengan topik seperti itu.
“Kamu nggak usah takut, tante ini psikolog. Tante mau bantu kamu kok. Kamu cerita aja apa masalahnya, ya?” Dia berusaha membujuk.
“Aduh, tante, kayaknya aku nggak mood.”
“Kenapa? Kamu nggak mau ada yang tahu? Gak apa-apa, tante gak akan bilang ke siapa-siapa. Janji. Cuma kita berdua. Oke?”
Akhirnya, ‘wawancara’ itu pun terlaksana. Tante Rita telah mendengar keseluruhan cerita mengenai saya yang memiliki ‘teman’. Beliau mengatakan bahwa saya memiliki teman khayalan, tetapi saya menolaknya, karena saya merasa ia bukan khayalan, memang ada, tapi tidak terlihat. Beliau juga menuduh bahwa saya terlalu sering menyendiri, kemudian khayalan saya menjadi-jadi hingga akhirnya terbentuklah teman khayalan itu sendiri. Tentu saja kami nyaris berdebat saat itu. Akhirnya, beliau hanya menyarankan agar saya lebih sering bersosialiasi, meski saya yakin bahwa saya tidak anti sosial seperti yang ia tuduh. Beliau berulang kali mengatakan bahwa gangguan-gangguan yang selama ini saya alami hanyalah representasi dari khayalan saya. Tapi, tidak. Semuanya nyata, dari guci yang bergeser, sampai gigi yang saya temukan, semuanya aneh tapi nyata. Tapi saya tidak ingin menyinggung masalah itu, saya tidak ingin terlalu lama berada dibawah tekanannya kalau saya mengatakan lebih banyak. Di akhir pembicaraan, beliau juga menawarkan agar kami lebih sering mengobrol. Saya cukup mengiyakan, meskipun mungkin saya tidak akan ingin sering-sering bertemu dengan orang yang tidak percaya dengan saya. Sulit memang, mendiskusikan kisah ini dengan orang yang tidak pernah mengalaminya, apalagi bagi seorang psikolog yang pasti mendasari setiap perkataannya dengan ilmu sains. Karena, hal-hal ghaib tidak sepenuhnya bisa dijelaskan secara sains.
Saat beliau hendak keluar dari kamar, dia membuka pintu. Pintu sudah terbuka sedikit. Tapi, tertahan. Persis dengan kejadian saat kami pindah dulu. Beliau mencoba mengecek apakah ada yang menyangkut. Tentu saja tidak ada. Selama ini pintu itu juga baik-baik saja. Kemudian beliau melihat saya, seperti kebingungan. Saya tersenyum licik.
“Udah, nggak apa-apa, tante ini baik kok. Dia cuma nggak ngerti.” Ucap saya.
Dan, pintu itu terbuka dengan lancarnya. Tante Rita terdiam seribu bahasa. Dia memandangi saya. Sepertinya darahnya tidak mengalir. Rona wajahnya seakan memudar. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari keluar meninggalkan ‘kami’. Ya, saat itu, untuk pertama kalinya, kehadirannya sungguh sangat terasa. Sesungguhnya saya takut. Di situlah saya sadar, bahwa sebenarnya saya tidak pernah benar-benar siap untuk menerima kehadirannya.
Setelah pembicaraan itu, rasanya pusing. Meskipun saya tidak menyetujui apa yang tante Rita katakana, tetapi tetap saja, informasi itu masuk ke dalam kepala saya dan mengobrak-abrik semua yang ada di dalamnya. Rasanya semua bercampur aduk. Dan akhirnya, pikiran saya semakin buntu ketika mengingat kejadian tangga sebelumnya. Semua ini seakan membebani saya melebihi batas kemampuan.
Saat itu saya sudah duduk di bangku kelas 1 SMP. Bertahun-tahun sudah saya melupakan misteri tangga itu. Setelah akhirnya saya berjalan menaiki tangga, rasa ingin tahu kembali meluap-luap. Apalagi setelah saya merasakan keanehan. Tapi, saya menepis rasa ingin tahu itu, mungkin semua keanehan di tangga tadi hanyalah perasaan saya saja. Mungkin, suatu saat saya akan menemukan jawabannya.
Malam itu, mbak Asti memanggil saya dari depan kamar. Mengajak saya makan malam. Saat itu, ibu saya kembali pergi bersama teman-temannya. Ayah saya sedang diluar kota, dan abang juga sedang berada di rumah temannya. Malam minggu yang sepi, hanya ditemani mbak Asti di rumah. Wajar saja kalau saya sering menyendiri dan berkhayal karena memang sering ditinggal sendiri. Biasanya, kalau makan malam sendiri, saya lebih memilih makan di kamar, ditemani mbak Asti sambil bercerita. Tapi kali itu, dia bersikeras agar saya tetap makan di ruang makan.
Oh ya, saat itu, saya memang sudah dekat dengan mbak Asti, pembantu kami. Sebenarnya dia adalah kerabat jauh tetangga kami dari kampung, yang dititipkan sementara sebelum dikirim jadi TKW di Malaysia. Saya sering cerita mengenai gangguan-gangguan di rumah itu, tapi tidak menceritakan kisah adanya kehadiran ‘teman’. Saya bukan bermaksud menakut-nakutinya, tapi dia adalah seorang pendengar yang baik. Awalnya, saya memang tidak ingin bercerita dengannya. Tapi, karena dia mengaku juga sering mendengar suara aneh dari tangga, yang terletak persis di depan kamarnya, saya pun turut membalas ceritanya dengan yang saya alami.
Saat saya sedang makan, mbak Asti seperti menunggu sesuatu. Saya bertanya, tapi enggan menjawab. Tidak lama kemudian, beliau mematikan TV. Suasana menjadi sepi. Saya masih asyik menikmati makan malam, sisa dari makanan acara arisan. Saya seakan tidak peduli dengan suasana sunyi itu. Sampai akhirnya ada bunyi yang mengganggu. Ada bunyi ketukan-ketukan yang sesekali berbunyi. Awalnya saya pikir itu tingkah binatang atau lainnya. Tapi, wajah mbak Asti berbeda. Saat itu saya sadar, ia ingin memperdengarkan suara itu dengan saya.
“Ya Ampun mbak, suara itu ya?”
“Iya lho dek, denger kan.”
“Iya, baru kali ini ada suara dari arah situ.”
“Iya, mbak juga baru denger tadi. Habis adek makan kita liat bareng ya.”
Ya, suara itu sepertinya berasal dari arah lemari barang antik. Sebenarnya saya takut, sangat takut. Karena saya meletakkan gigi itu disitu. Saya tidak siap untuk menemukan keanehan lain dari apa yang telah saya perbuat.
Saya bahkan tidak menghabiskan makanan. Selera makan saya seakan lenyap. Kami pun bersegera menuju lemari. Meskipun suara itu sudah tidak ada lagi. Saat saya membuka lemari, ada bau aneh, seperti bau belerang. Saat itu pula, suara ketukan itu kembali berbunyi. Belum sempat saya mengecek kotak kecil tempat saya menyimpan gigi, perhatian saya sudah teralihkan oleh benda lain. Ya, benda itu adalah keris. Keris yang saya temukan beberapa waktu yang lalu. Keris itu sudah tidak tidak terbungkus kain. Saya hanya terdiam, rasanya bulu kuduk berdiri. Saat itu, perasaan saya seperti ada seseorang yang lain, berdiri di belakang kami berdua. Rasanya, itu bukan kehadiran ‘teman’ itu. Tanpa berlama-lama, mbak Asti mengambil keris itu. Dia memperhatikan secara seksama. Sepertinya ia tak ingin bermain-main dengan benda itu. Saya juga bahkan tidak ingin menyentuhnya. Mbak Asti kembali membungkus keris itu dengan kain batik dan mengikatnya dengan rapi.
“Di kampung mbak, keris memang sering bergerak sendiri. Dan ini harus dibungkus dan diikat dek, supaya tidak berpindah-pindah.” Kata mbak Asti.
Saya hanya diam. Saat itu, wajahnya seakan berbeda. Ada aura aneh dari wajahnya. Rasanya saat itu bukan dia yang sedang berbicara. Tatapan matanya berbeda, ekspresinya terasa gelap. Saya merasa takut berada di dekatnya. Dia kembali berjalan menuju kamarnya. Benar saja, suara ketukan ketukan itu tidak berbunyi lagi. Saya pun kembali ke kamar, duduk bersender di dinding, sembari menyenandungkan lagu klasik kesukaan dan mengetuk-ngetukkan jari ke dinding, sesuai dengan irama lagu. Sesaat setelah saya berhenti melakukan itu, ada yang membalas ketukan saya. Ketukannya persis dengan yang saya lakukan sebelumnya. Saya ketakutan dan langsung menjauhi dinding. Saya tahu itu bukan ulah ‘teman’ itu. Karena ia tak pernah melakukannya lagi semenjak saya mengucapkan bahwa saya bersedia berteman dengannya. Perasaan saya tidak tenang, dan saya memutuskan untuk pergi ke kamar mbak Asti, karena ia pasti bisa mendengar cerita saya. Tapi sayang, saat itu ia sudah tidur, tidak biasanya dia tidur secepat itu. Saya sudah biasa duduk berlama-lama di kamarnya sembari menunggu yang lain pulang. Lampu kamarnya mati, karena dia memang tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala terang. Saya duduk di pojokan, tapi rasanya saya menduduki benda asing dibalik kain sajadahnya. Saya mencoba meraba-raba, dan akhirnya memutuskan untuk menyingkap sajadah itu. Ternyata, benda itu.. adalah keris. Ya, keris yang tadinya ada di lemari.
(to be continued…)
Oktober 2005. Akhirnya, saya mendapat biola kedua dari paman. Meskipun akhirnya bukan dari ibu saya, tapi tentu saja tidak masalah. Biola yang lama pun akhirnya terlantar, seolah-olah saya lupa masa-masa indah bersama biola yang pertama. Menyenangkan sekali saat-saat dulu saya baru dibelikan biola, dan saya juga membagi cerita itu dengan ‘teman’ itu. Tapi, akhirnya biola yang lama hanya disimpan di kamar kosong. Perlahan, kamar itu hanya menjadi tempat kami menyimpan barang-barang, meskipun tidak pernah disebut sebagai gudang.
Suatu hari, saya sedang berlatih biola di kamar saya. Sesaat, saya berhenti karena merasa kesulitan memainkan sebuah lagu. Seperti biasa, saya terduduk dan berbicara, dengan ‘teman’ yang selalu ‘hadir’. Ya, saya sudah sangat terbiasa, berbicara, kemudian menjawabnya sendiri, bahkan saat saya menjawab, rasanya sangat spontan dan tidak terasa seperti saya yang menjawabnya, padahal ucapan itu berasal dari mulut saya sendiri.
Sesaat setelah saya berhenti melatih biola, dan memutuskan untuk menyerah. Saya mendengar suara gesekan biola. Suaranya sangat halus. Hanya satu nada. Saat itu saya yakin, itu adalah perbuatan si ‘teman’ yang tak bernama.
Karena, selama ini kehadirannya selalu sangat terasa di saat-saat saya merasa sedih, kecewa, atau marah. Saya menghampiri kamar itu tanpa rasa takut. Saya buka tas biola itu, dan ternyata, tiga dari empat senar sudah putus. Senar yang tersisa adalah senar yang paling tipis, senar E. Sedangkan yang saya dengar tadi, nadanya tidak sampai setinggi nada di senar itu. Tanpa rasa takut, saya tinggalkan biola itu dan kembali ke kamar dan melanjutkan latihan.
Saat saya salah memainkan nada, biola lain dari ruangan lain memperdengarkan nada yang seharusnya, seakan-akan memberitahu bahwa saya memainkan nada yang salah.
Saya tersenyum kecil, tertawa sedikit.
“Ha ha, ternyata kamu bisa main biola juga ya?” ucap saya.
Saya kembali lagi mengambil biola itu, meletakkannya diatas meja.
“Ayo, sekarang kita main sama-sama ya, kayaknya kamu lebih jago.”
Tapi, tentu saja tidak ada lagi suara biola itu. Saya hanya bermain sendiri.
“Oke, kalo kamu malu, sekarang aku belakangin kamu ya, aku ga liat, tapi ikut main ya! Kalo enggak, aku marah!”
Saya pun memainkan biola, membelakangi biola yang lain. Baru beberapa detik, biola itu terjatuh dengan kerasnya. Padahal, posisi sebelumnya sepertinya tidak memungkinkan untuk bergeser dan jatuh.
Dalam kondisi merinding di sekujur tubuh, saya bergegas mengambilnya. Kondisinya retak di bagian depan. Saat saya memperhatikan bagian yang retak, senar yang tersisa putus dan melayang ke wajah saya, tepatnya ke dahi, dan meninggalkan luka kecil. Entah kenapa saat itu saya marah dan langsung mengembalikan biola itu ke kamar kosong.
Saya merasa bersalah, tapi saya juga merasa gila, harus merasa bersalah terhadap benda mati dan sosok yang tidak terlihat wujudnya. Sudah beberapa kali saya mendengar suara rintihan orang menangis dari arah kamar. Meskipun gangguan-gangguan suara aneh sering muncul, kali ini saya tetap tidak merasa terbiasa. Tiap kali saya mendengar suara tangisan itu, ada perasaan bersalah itu.
Akhirnya, saya putuskan untuk membujuk ayah, agar biola itu diperbaiki dan senarnya dipasang yang baru.
Benar saja, semenjak biola itu diperbaiki, meskipun masih meninggalkan bekas lem di bagian yang retak, suara tangisan itu tidak pernah muncul lagi. Tapi anehnya, baru semalaman ditinggal dan tak disentuh, besoknya satu senar kembali putus. Kemudian kami kembali menggantinya, putus lagi, dan diganti lagi. Karena seringkali putus tanpa sebab, saya memutuskan untuk membiarkannya saja. Toh, biola itu sudah tidak dipakai. Tapi, setiap kali saya berlatih biola di rumah, biola yang lama tetap saya keluarkan dan saya letakkan di samping saya. Karena sepertinya hanya itu yang bisa saya lakukan agar suara tangisan itu tidak terdengar lagi. Ya, mengajaknya ikut bermain.
---
Sudah cukup lama, setelah saya hidup dengan ‘teman’, gangguan, dan semua misteri di dalamnya. Tentu saja, semua berjalan perhalan, saya mengikuti arahan ayah, untuk tidak terlalu banyak menghabiskan banyak waktu untuk mencari-cari tahu. Karena, menurutnya, semakin kita memperdalam hal-hal ghaib, semakin mudah pula bagi mereka dari dimensi lain untuk mempermainkan kita.
Hari itu hari Sabtu, saya masih mengenakan seragam pramuka, pulang ke rumah dalam keadaan banyak sekali tamu arisan ibu. Tamunya sungguh ramai sampai akhirnya, untuk pertama kalinya, tangga belakang harus digunakan agar tidak mengganggu ‘khidmat’ nya arisan. Ha ha ha.
Setibanya di rumah, saya langsung masuk dari pintu samping, disambut dengan pembantu kami, mbak Asti.
Pintu samping langsung berhadapan dengan tangga itu. Satu-satunya akses yang bisa dilalui untuk mencapai kamar saya saat itu hanyalah tangga itu. Entah kenapa, ada rasa keraguan di dalam diri saya untuk menaiki tangga. Saat saya menaiki tangga, rasanya jantung berdegup cukup kencang, aneh. Mungkin karena saya punya perasaan curiga dengan tangga itu sejak dulu.
Saya berjalan menaiki tangga. Rasanya pengap, sunyi, bahkan suara keributan ibu-ibu arisan tidak terdengar. Menaiki tangga itu, rasanya butuh waktu lama, waktu seakan berjalan dengan lambat.
Setibanya di kamar, saya hanya duduk, dan seperti biasa, berbicara dengan ‘teman’, menceritakan keseharian dan mengeluhkan masalah. Hari sudah sore, abang saya belum juga pulang. Rasanya bosan.
“Tok tok!”, ada yang mengetuk pintu kamar.
Dengan sedikit kaget, saya bergegas menuju pintu kamar. Saya membuka pintu, dan untunglah, kali ini, makhluk halus sedang tidak ingin bermain dengan saya. Ternyata ada seorang ibu-ibu yang mengetuk pintu kamar, dia teman ibu.
“Halo, maaf tante ganggu, masih ingat sama tante kan?” wanita itu bertanya.
“Em… kayaknya iya, tante Lisa ya?”
“Hahaha, bukan, tante Rita.. dulu terakhir kita jumpa kayaknya kamu masih kecil ya.”
“Hahaha iya tante, ada apa nih ngomong-ngomong?”
“Boleh tante masuk? Ada yang mau tante bilang.”
“Oh ya, ga apa apa tante, masuk aja, tapi berantakan nih haha.”
Saat itu tante Rita memasuki kamar, dan duduk di sofa. Saya pun duduk di kursi meja belajar, menghadap wanita itu. Saya masih ingat, tampilan wanita itu sederhana, mengenakan kemeja warna abu-abu dengan celana bahan berwarna merah maroon. Rambutnya pendek, dan dari gaya bicaranya, sepertinya dia orang yang serius.
“Mau ngomong apa tante?”
“Oh, gini, tante udah denger cerita dari mama kamu.”
“Ha? Cerita apaan tante?”
“Mama kamu sering bilang, kamu sering ngomong-ngomong sendiri ya?”
Saya hanya terdiam. Saya tidak suka dengan topik seperti itu.
“Kamu nggak usah takut, tante ini psikolog. Tante mau bantu kamu kok. Kamu cerita aja apa masalahnya, ya?” Dia berusaha membujuk.
“Aduh, tante, kayaknya aku nggak mood.”
“Kenapa? Kamu nggak mau ada yang tahu? Gak apa-apa, tante gak akan bilang ke siapa-siapa. Janji. Cuma kita berdua. Oke?”
Akhirnya, ‘wawancara’ itu pun terlaksana. Tante Rita telah mendengar keseluruhan cerita mengenai saya yang memiliki ‘teman’. Beliau mengatakan bahwa saya memiliki teman khayalan, tetapi saya menolaknya, karena saya merasa ia bukan khayalan, memang ada, tapi tidak terlihat. Beliau juga menuduh bahwa saya terlalu sering menyendiri, kemudian khayalan saya menjadi-jadi hingga akhirnya terbentuklah teman khayalan itu sendiri. Tentu saja kami nyaris berdebat saat itu. Akhirnya, beliau hanya menyarankan agar saya lebih sering bersosialiasi, meski saya yakin bahwa saya tidak anti sosial seperti yang ia tuduh. Beliau berulang kali mengatakan bahwa gangguan-gangguan yang selama ini saya alami hanyalah representasi dari khayalan saya. Tapi, tidak. Semuanya nyata, dari guci yang bergeser, sampai gigi yang saya temukan, semuanya aneh tapi nyata. Tapi saya tidak ingin menyinggung masalah itu, saya tidak ingin terlalu lama berada dibawah tekanannya kalau saya mengatakan lebih banyak. Di akhir pembicaraan, beliau juga menawarkan agar kami lebih sering mengobrol. Saya cukup mengiyakan, meskipun mungkin saya tidak akan ingin sering-sering bertemu dengan orang yang tidak percaya dengan saya. Sulit memang, mendiskusikan kisah ini dengan orang yang tidak pernah mengalaminya, apalagi bagi seorang psikolog yang pasti mendasari setiap perkataannya dengan ilmu sains. Karena, hal-hal ghaib tidak sepenuhnya bisa dijelaskan secara sains.
Saat beliau hendak keluar dari kamar, dia membuka pintu. Pintu sudah terbuka sedikit. Tapi, tertahan. Persis dengan kejadian saat kami pindah dulu. Beliau mencoba mengecek apakah ada yang menyangkut. Tentu saja tidak ada. Selama ini pintu itu juga baik-baik saja. Kemudian beliau melihat saya, seperti kebingungan. Saya tersenyum licik.
“Udah, nggak apa-apa, tante ini baik kok. Dia cuma nggak ngerti.” Ucap saya.
Dan, pintu itu terbuka dengan lancarnya. Tante Rita terdiam seribu bahasa. Dia memandangi saya. Sepertinya darahnya tidak mengalir. Rona wajahnya seakan memudar. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari keluar meninggalkan ‘kami’. Ya, saat itu, untuk pertama kalinya, kehadirannya sungguh sangat terasa. Sesungguhnya saya takut. Di situlah saya sadar, bahwa sebenarnya saya tidak pernah benar-benar siap untuk menerima kehadirannya.
Setelah pembicaraan itu, rasanya pusing. Meskipun saya tidak menyetujui apa yang tante Rita katakana, tetapi tetap saja, informasi itu masuk ke dalam kepala saya dan mengobrak-abrik semua yang ada di dalamnya. Rasanya semua bercampur aduk. Dan akhirnya, pikiran saya semakin buntu ketika mengingat kejadian tangga sebelumnya. Semua ini seakan membebani saya melebihi batas kemampuan.
Saat itu saya sudah duduk di bangku kelas 1 SMP. Bertahun-tahun sudah saya melupakan misteri tangga itu. Setelah akhirnya saya berjalan menaiki tangga, rasa ingin tahu kembali meluap-luap. Apalagi setelah saya merasakan keanehan. Tapi, saya menepis rasa ingin tahu itu, mungkin semua keanehan di tangga tadi hanyalah perasaan saya saja. Mungkin, suatu saat saya akan menemukan jawabannya.
Malam itu, mbak Asti memanggil saya dari depan kamar. Mengajak saya makan malam. Saat itu, ibu saya kembali pergi bersama teman-temannya. Ayah saya sedang diluar kota, dan abang juga sedang berada di rumah temannya. Malam minggu yang sepi, hanya ditemani mbak Asti di rumah. Wajar saja kalau saya sering menyendiri dan berkhayal karena memang sering ditinggal sendiri. Biasanya, kalau makan malam sendiri, saya lebih memilih makan di kamar, ditemani mbak Asti sambil bercerita. Tapi kali itu, dia bersikeras agar saya tetap makan di ruang makan.
Oh ya, saat itu, saya memang sudah dekat dengan mbak Asti, pembantu kami. Sebenarnya dia adalah kerabat jauh tetangga kami dari kampung, yang dititipkan sementara sebelum dikirim jadi TKW di Malaysia. Saya sering cerita mengenai gangguan-gangguan di rumah itu, tapi tidak menceritakan kisah adanya kehadiran ‘teman’. Saya bukan bermaksud menakut-nakutinya, tapi dia adalah seorang pendengar yang baik. Awalnya, saya memang tidak ingin bercerita dengannya. Tapi, karena dia mengaku juga sering mendengar suara aneh dari tangga, yang terletak persis di depan kamarnya, saya pun turut membalas ceritanya dengan yang saya alami.
Saat saya sedang makan, mbak Asti seperti menunggu sesuatu. Saya bertanya, tapi enggan menjawab. Tidak lama kemudian, beliau mematikan TV. Suasana menjadi sepi. Saya masih asyik menikmati makan malam, sisa dari makanan acara arisan. Saya seakan tidak peduli dengan suasana sunyi itu. Sampai akhirnya ada bunyi yang mengganggu. Ada bunyi ketukan-ketukan yang sesekali berbunyi. Awalnya saya pikir itu tingkah binatang atau lainnya. Tapi, wajah mbak Asti berbeda. Saat itu saya sadar, ia ingin memperdengarkan suara itu dengan saya.
“Ya Ampun mbak, suara itu ya?”
“Iya lho dek, denger kan.”
“Iya, baru kali ini ada suara dari arah situ.”
“Iya, mbak juga baru denger tadi. Habis adek makan kita liat bareng ya.”
Ya, suara itu sepertinya berasal dari arah lemari barang antik. Sebenarnya saya takut, sangat takut. Karena saya meletakkan gigi itu disitu. Saya tidak siap untuk menemukan keanehan lain dari apa yang telah saya perbuat.
Saya bahkan tidak menghabiskan makanan. Selera makan saya seakan lenyap. Kami pun bersegera menuju lemari. Meskipun suara itu sudah tidak ada lagi. Saat saya membuka lemari, ada bau aneh, seperti bau belerang. Saat itu pula, suara ketukan itu kembali berbunyi. Belum sempat saya mengecek kotak kecil tempat saya menyimpan gigi, perhatian saya sudah teralihkan oleh benda lain. Ya, benda itu adalah keris. Keris yang saya temukan beberapa waktu yang lalu. Keris itu sudah tidak tidak terbungkus kain. Saya hanya terdiam, rasanya bulu kuduk berdiri. Saat itu, perasaan saya seperti ada seseorang yang lain, berdiri di belakang kami berdua. Rasanya, itu bukan kehadiran ‘teman’ itu. Tanpa berlama-lama, mbak Asti mengambil keris itu. Dia memperhatikan secara seksama. Sepertinya ia tak ingin bermain-main dengan benda itu. Saya juga bahkan tidak ingin menyentuhnya. Mbak Asti kembali membungkus keris itu dengan kain batik dan mengikatnya dengan rapi.
“Di kampung mbak, keris memang sering bergerak sendiri. Dan ini harus dibungkus dan diikat dek, supaya tidak berpindah-pindah.” Kata mbak Asti.
Saya hanya diam. Saat itu, wajahnya seakan berbeda. Ada aura aneh dari wajahnya. Rasanya saat itu bukan dia yang sedang berbicara. Tatapan matanya berbeda, ekspresinya terasa gelap. Saya merasa takut berada di dekatnya. Dia kembali berjalan menuju kamarnya. Benar saja, suara ketukan ketukan itu tidak berbunyi lagi. Saya pun kembali ke kamar, duduk bersender di dinding, sembari menyenandungkan lagu klasik kesukaan dan mengetuk-ngetukkan jari ke dinding, sesuai dengan irama lagu. Sesaat setelah saya berhenti melakukan itu, ada yang membalas ketukan saya. Ketukannya persis dengan yang saya lakukan sebelumnya. Saya ketakutan dan langsung menjauhi dinding. Saya tahu itu bukan ulah ‘teman’ itu. Karena ia tak pernah melakukannya lagi semenjak saya mengucapkan bahwa saya bersedia berteman dengannya. Perasaan saya tidak tenang, dan saya memutuskan untuk pergi ke kamar mbak Asti, karena ia pasti bisa mendengar cerita saya. Tapi sayang, saat itu ia sudah tidur, tidak biasanya dia tidur secepat itu. Saya sudah biasa duduk berlama-lama di kamarnya sembari menunggu yang lain pulang. Lampu kamarnya mati, karena dia memang tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala terang. Saya duduk di pojokan, tapi rasanya saya menduduki benda asing dibalik kain sajadahnya. Saya mencoba meraba-raba, dan akhirnya memutuskan untuk menyingkap sajadah itu. Ternyata, benda itu.. adalah keris. Ya, keris yang tadinya ada di lemari.
(to be continued…)
No comments: