RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 7
PART 7 - FLASHBACK
Jarak saya sudah sejengkal dari sudut ruangan. Kini ‘sesuatu’ itu terlihat jelas. Ya, benda itu adalah gigi. Dua buah gigi, geraham dan taring. Sama dengan gigi saya yang dulu dicabut. Hanya saja, gigi yang saya temukan ini bentuknya sudah tidak karuan, sudah ada bagian yang hitam membusuk, tapi masih terlihat bahwa gigi itu adalah taring dan geraham.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengambilnya. Tangan saya gemetar, jantung saya berdegup. Saya melihat gigi itu dengan seksama, tapi tidak mendapat petunjuk apapun, hanya kekosongan dan rasa takut. Sebenarnya ini adalah bukti yang bisa saya tunjukkan ke orang-orang bahwa memang ada ‘sesuatu’ disini. Entah itu dari rumah ini, atau dari latar belakang lain. Tapi, saya belum siap untuk dianggap semakin aneh. Pada akhirnya, gigi itu saya simpan di lemari pajangan barang antik milik ibu saya. Lemari itu sudah penuh, jadi kemungkinan untuk dibuka sangat kecil. Letak lemari ini persis di depan piano.
Saya kembali ke ruang keluarga. Mencoba berpikir kenapa bisa ada gigi, dan kenapa jenisnya sama dengan gigi saya yang dicabut. Ternyata pikiran saya buntu, saya tidak mendapat petunjuk. Saya memutuskan untuk tidak memikirkannya, sebaiknya menikmati waktu bersantai dan bermain karena saat itu suasana sedang menyambut liburan akhir tahun 2004, tepatnya sedang malam Natal.
Saat itu keluarga kami sebenarnya berencana untuk pergi berlibur, tapi mungkin karena alasan tertentu, orang tua saya membatalkannya. Karena tidak ada kerjaan, saya melihat-lihat album foto liburan kami ke jogja dulu, tahun 2001. Menyenangkan sekali mengingat masa masa itu. Ayah mengajak kami berlibur ke jogja karena ingin memperkenalkan kami dengan keluarga besar Paguyuban Trah Hatmadirdja; keluarga besar keturunan langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono II, serta berkunjung ke makam makam leluhur. Foto demi foto, halaman demi halaman saya buka. Saya teringat, ada beberapa kejadian aneh yang terjadi saat kami liburan disana. Tentu saja, saat itu saya belum merasakan hadirnya ‘teman’. Kami menginap di hotel yang cukup bagus, tidak terlalu besar, bangunannya memang terlihat sudah tua, tapi sepintas, sepertinya tidak ada yang aneh untuk dikategorikan hotel yang menyeramkan. Saat itu, satu-satunya kamar ukuran besar yang tersisa adalah kamar di lantai dasar, letaknya paling sudut, dilengkapi teras di depan, menghadap ke taman di tengah-tengah bangunan.
Selesai check-in dan meletakkan barang-barang, jadwal kami hari itu adalah mengunjungi kerabat, pergi ke keraton dan ziarah ke makam leluhur.
Di pekarangan keraton, ada seorang penjaga, atau mungkin pramuwisata yang mengarahkan kami ke gapura yang unik. Di bawah gapura itu, suara bergema, padahal gapura itu bukan ruangan yang tertutup. Saya sibuk menepuk-nepukkan tangan, memastikan bahwa memang disitu suara bergema, saya sendiri, tidak bergabung dengan abang saya yang sedang difoto oleh ibu. Datang seorang pria tua, wajahnya terlihat ramah, mengenakan blangkon dan baju berwarna hitam. Sebelum menghampiri saya, dia menghampiri ayah saya terlebih dahulu, berbincang sedikit kemudian memegang kepala ayah saya sebentar. Barulah dia menghampiri saya. Dia mengatakan
“Nak, kamu ndak sendiri. Kamu anak sini.” Kurang lebih begitu yang dia sampaikan.
Saya tidak bereaksi apa-apa. Saat itu saya masih fokus dengan suara gema itu. Saya mengalihkan pandangan, dan pria tua itu kemudian memegang kepala saya. Tapi, dia tidak menghampiri abang dan ibu saya. Aneh memang, tapi saat itu saya tidak peduli. Sayang sekali rasanya tidak sempat berfoto dengan pria tua itu.
Tanpa terasa, saat itu saya sudah sampai ke halaman terakhir di album. Di dalamnya terdapat foto-foto di pantai.
Menjelang hari terakhir berlibur di jogja, kami menyempatkan diri mengunjungi parangtritis, pantai selatan. Pantai itu terlihat indah memang, tapi benar saja, atmosfir pantai itu terasa kurang bersahabat, mungkin karena selalu dianggap kawasan penuh mistis. Saya dan abang sibuk berlari-lari di pantai, sedangkan ayah tetap memperhatikan kami, jauh maupun dekat. Matanya tidak sedikitpun beralih dari kami. Benar kata orang, ketika berada disana, saya beberapa kali melihat perempuan seperti mbok-mbok yang berjualan. Tapi ia kadang muncul, kadang hilang. Ayah saya sudah berpesan, jika ada yang tiba-tiba muncul, menawarkan dagangan, atau menemukan benda aneh, jangan dihiraukan.
Akhirnya album itu saya tutup. Rasanya, mengingat perkataan pria tua itu, seperti ada korelasinya dengan apa yang terjadi dengan saya saat itu. Karena, pria tua itu hanya menghampiri saya dan ayah saja. Ibu dan abang saya seolah-olah tidak melihat pria tua itu atau mungkin mereka terlalu asyik berfoto. Apakah ayah saya memang sudah mengetahui ini akan terjadi? Apakah ia juga sesungguhnya mengalami hal yang sama? Ah, biarlah waktu yang menjawab. Atau, jika ada kesempatan, saya akan menanyakan hal ini pada ayah.
Keesokan harinya, saya menyibukkan diri berlatih biola karena dalam waktu dekat saya akan tampil dalam perayaan Natal dari sekolah. Tapi, karena senar biola saya putus, saat itu juga saya memaksa ayah untuk pergi menggantinya.
Saat di perjalanan berdua, merupakan saat yang tepat untuk saya bercerita dan bertanya. Senang sekali rasanya bisa mengutarakan semua perasaan dan pengalaman itu. Awalnya, ayah saya tidak ada respon apapun, dia hanya fokus mengendarai mobil. Sepertinya ia sedang berpikir. Saya berhenti mengoceh, menunggu respon darinya. Cukup lama saya menunggu, hingga akhirnya ia menyampaikan sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Saya sudah tidak ingat dengan pasti seperti apa pembicaraan waktu itu. Tapi, yang jelas, ia mengatakan bahwa, ayahnya (eyang saya) adalah seorang kejawen yang sangat kental. Sudah sejak dulu, keluarganya sudah terbiasa dengan hal-hal berbau mistis. Bahkan, di masa mudanya, ayah saya seringkali kesurupan tiap kali ada acara-acara adat. Dia juga dulu sering merasakan gangguan-gangguan yang mirip dengan yang saya alami. Tapi, dia tidak pernah merasa ‘ditemani’ seperti saya. Dia hanya merasa lebih ‘peka’ dari orang-orang lain. Dia juga curiga bahwa ada kemungkinan keluarganya, entah dimulai dari siapa, telah melakukan perjanjian saka dengan golongan jin.
Setelah menjelaskan, dia hanya diam. Saya pun hanya diam, tidak berani untuk menanyakan lebih lanjut. Karena saya melihat beliau agak kesulitan dalam menjelaskan. Seolah-olah tidak seharusnya dia menceritakan itu.
“Terlalu cepat untuk adek tau, nanti juga bakal tau sendiri. Intinya percaya aja sama Tuhan, memohon perlindungan sama Tuhan, dan tidak perlu takut sama makhluk halus. Bagusnya adek ga usah cerita ke siapa-siapa, nggak semua orang bisa paham.” Beliau seakan mengakhiri percakapan itu.
"Untuk papa, maafin adek yang sekarang sedang membagi kisah ini ke khalayak ramai..."
Di satu sisi, saya seakan mendapat petunjuk tentang apa yang terjadi. Tapi, sesungguhnya, pertanyaan-pertanyaan di benak saya menjadi semakin besar. Karena, informasi dari ayah serasa “tanggung”, tapi saya belum berani untuk menanyakan lebih jauh. Mungkin benar yang ia katakan, waktu akan menjawab semuanya, lambat laun saya akan tahu. Tapi saya penasaran sendiri. Malam itu saya kesulitan tidur, semua pertanyaan itu terus melayang di kepala saya.
Pagi harinya, kami dibangunkan dengan teriakan maha dahsyat dari ibu. Saya dan abang, dalam kondisi setengah sadar, terbangun dan langsung bergegas keluar kamar, kepala terasa pusing. Saya sempat berpikir mungkin saya pusing karena berpikir terlalu berat semalaman, ternyata pagi itu gempa. Ya, 26 Desember 2004, tsunami melanda wilayah Samudera Hindia, dan gempanya terasa sampai wilayah kota kami.
Saat bergegas keluar rumah, saya sempat melihat ke arah lemari barang antik itu. Hampir semua isi lemari itu berantakan, karena disusun dalam keadaan ringkih, gempa turut meruntuhkan susunan benda-benda di dalam lemari itu.
Begitu suasana sudah kembali normal, ibu dan ayah langsung menyuruh kami bersih-bersih karena kami harus pergi ke rumah nenek untuk melihat bagaimana keadannya.
Dalam keadaan terburu-buru, di saat yang lain sedang sibuk masing-masing, saya justru menyempatkan diri melihat isi lemari itu, takut suatu waktu ibu membereskan isi lemari dan menemukan gigi yang saya sembunyikan.
Saat mengobrak-abrik isi lemari, tidak sengaja, saya juga menemukan kejanggalan lain. Ada gulungan kain batik di sudut lemari. Sebelumnya saya tidak pernah melihatnya. Mungkin karena susunan sudah berantakan, benda itu jadi terlihat. Seakan-akan dulu benda ini disembunyikan juga. Saya mengambil gulungan batik itu. Ternyata, benda itu bukan sekedar gulungan batik yang diikat dengan potongan kain perca. Kain batik itu membungkus sesuatu. Saya membuka ikatannya dan melonggarkan gulungan. Ternyata ada keris dibalik batik itu. Sejak dulu saya sudah tahu, keris terkenal dengan hal mistis. Hmm, sudah cukup banyak benda-benda janggal dan konkrit yang saya temukan. Dari mulai guci, gigi, sekarang, keris. Saya bergegas membungkusnya kembali secara acak. Dan memasukkan gigi itu kedalam dompet kecil yang saya temukan. Di dompet itu ada tulisan “Andre & Rita”, sepertinya itu souvenir dari acara pernikahan. Saat itu, saya merasa sudah cukup aman, meskipun saya merasa bersalah karena tidak mengembalikan keris ke posisi awal semula, yang awalnya diikat rapi, tapi sekarang malah dibungkus berantakan dan tidak diikat.
Sejak saat itu, aktifitas saya menjadi semakin padat. Selain sibuk sekolah dan les, saya juga sibuk mencari-cari tahu tentang cerita ayah saya dan mencoba mencocok-cocokkannya dengan apa yang terjadi dengan saya. Saya memberanikan diri untuk membeli buku tentang dialog seseorang dengan jin, saya bertanya pada orang-orang, sampai rela menghabiskan banyak waktu di warnet untuk mencari tahu lebih banyak. Saya tidak begitu percaya dengan sosok hantu seperti kuntilanak, pocong, genderuwo dan lain-lain, karena saya tetap yakin, bagaimana pun bentuknya, mereka dari kalangan jin yang menyerupai sosok-sosok yang ditakuti manusia, kemudian manusia menamai sosok-sosok itu. Perlahan tapi pasti, saya mulai mendapati beberapa kecocokan dari cerita mengenai jin, cerita ayah saya, dan pengalaman saya sendiri.
(to be continued…)
Jarak saya sudah sejengkal dari sudut ruangan. Kini ‘sesuatu’ itu terlihat jelas. Ya, benda itu adalah gigi. Dua buah gigi, geraham dan taring. Sama dengan gigi saya yang dulu dicabut. Hanya saja, gigi yang saya temukan ini bentuknya sudah tidak karuan, sudah ada bagian yang hitam membusuk, tapi masih terlihat bahwa gigi itu adalah taring dan geraham.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengambilnya. Tangan saya gemetar, jantung saya berdegup. Saya melihat gigi itu dengan seksama, tapi tidak mendapat petunjuk apapun, hanya kekosongan dan rasa takut. Sebenarnya ini adalah bukti yang bisa saya tunjukkan ke orang-orang bahwa memang ada ‘sesuatu’ disini. Entah itu dari rumah ini, atau dari latar belakang lain. Tapi, saya belum siap untuk dianggap semakin aneh. Pada akhirnya, gigi itu saya simpan di lemari pajangan barang antik milik ibu saya. Lemari itu sudah penuh, jadi kemungkinan untuk dibuka sangat kecil. Letak lemari ini persis di depan piano.
Saya kembali ke ruang keluarga. Mencoba berpikir kenapa bisa ada gigi, dan kenapa jenisnya sama dengan gigi saya yang dicabut. Ternyata pikiran saya buntu, saya tidak mendapat petunjuk. Saya memutuskan untuk tidak memikirkannya, sebaiknya menikmati waktu bersantai dan bermain karena saat itu suasana sedang menyambut liburan akhir tahun 2004, tepatnya sedang malam Natal.
Saat itu keluarga kami sebenarnya berencana untuk pergi berlibur, tapi mungkin karena alasan tertentu, orang tua saya membatalkannya. Karena tidak ada kerjaan, saya melihat-lihat album foto liburan kami ke jogja dulu, tahun 2001. Menyenangkan sekali mengingat masa masa itu. Ayah mengajak kami berlibur ke jogja karena ingin memperkenalkan kami dengan keluarga besar Paguyuban Trah Hatmadirdja; keluarga besar keturunan langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwono II, serta berkunjung ke makam makam leluhur. Foto demi foto, halaman demi halaman saya buka. Saya teringat, ada beberapa kejadian aneh yang terjadi saat kami liburan disana. Tentu saja, saat itu saya belum merasakan hadirnya ‘teman’. Kami menginap di hotel yang cukup bagus, tidak terlalu besar, bangunannya memang terlihat sudah tua, tapi sepintas, sepertinya tidak ada yang aneh untuk dikategorikan hotel yang menyeramkan. Saat itu, satu-satunya kamar ukuran besar yang tersisa adalah kamar di lantai dasar, letaknya paling sudut, dilengkapi teras di depan, menghadap ke taman di tengah-tengah bangunan.
Selesai check-in dan meletakkan barang-barang, jadwal kami hari itu adalah mengunjungi kerabat, pergi ke keraton dan ziarah ke makam leluhur.
Di pekarangan keraton, ada seorang penjaga, atau mungkin pramuwisata yang mengarahkan kami ke gapura yang unik. Di bawah gapura itu, suara bergema, padahal gapura itu bukan ruangan yang tertutup. Saya sibuk menepuk-nepukkan tangan, memastikan bahwa memang disitu suara bergema, saya sendiri, tidak bergabung dengan abang saya yang sedang difoto oleh ibu. Datang seorang pria tua, wajahnya terlihat ramah, mengenakan blangkon dan baju berwarna hitam. Sebelum menghampiri saya, dia menghampiri ayah saya terlebih dahulu, berbincang sedikit kemudian memegang kepala ayah saya sebentar. Barulah dia menghampiri saya. Dia mengatakan
“Nak, kamu ndak sendiri. Kamu anak sini.” Kurang lebih begitu yang dia sampaikan.
Saya tidak bereaksi apa-apa. Saat itu saya masih fokus dengan suara gema itu. Saya mengalihkan pandangan, dan pria tua itu kemudian memegang kepala saya. Tapi, dia tidak menghampiri abang dan ibu saya. Aneh memang, tapi saat itu saya tidak peduli. Sayang sekali rasanya tidak sempat berfoto dengan pria tua itu.
Tanpa terasa, saat itu saya sudah sampai ke halaman terakhir di album. Di dalamnya terdapat foto-foto di pantai.
Menjelang hari terakhir berlibur di jogja, kami menyempatkan diri mengunjungi parangtritis, pantai selatan. Pantai itu terlihat indah memang, tapi benar saja, atmosfir pantai itu terasa kurang bersahabat, mungkin karena selalu dianggap kawasan penuh mistis. Saya dan abang sibuk berlari-lari di pantai, sedangkan ayah tetap memperhatikan kami, jauh maupun dekat. Matanya tidak sedikitpun beralih dari kami. Benar kata orang, ketika berada disana, saya beberapa kali melihat perempuan seperti mbok-mbok yang berjualan. Tapi ia kadang muncul, kadang hilang. Ayah saya sudah berpesan, jika ada yang tiba-tiba muncul, menawarkan dagangan, atau menemukan benda aneh, jangan dihiraukan.
Akhirnya album itu saya tutup. Rasanya, mengingat perkataan pria tua itu, seperti ada korelasinya dengan apa yang terjadi dengan saya saat itu. Karena, pria tua itu hanya menghampiri saya dan ayah saja. Ibu dan abang saya seolah-olah tidak melihat pria tua itu atau mungkin mereka terlalu asyik berfoto. Apakah ayah saya memang sudah mengetahui ini akan terjadi? Apakah ia juga sesungguhnya mengalami hal yang sama? Ah, biarlah waktu yang menjawab. Atau, jika ada kesempatan, saya akan menanyakan hal ini pada ayah.
Keesokan harinya, saya menyibukkan diri berlatih biola karena dalam waktu dekat saya akan tampil dalam perayaan Natal dari sekolah. Tapi, karena senar biola saya putus, saat itu juga saya memaksa ayah untuk pergi menggantinya.
Saat di perjalanan berdua, merupakan saat yang tepat untuk saya bercerita dan bertanya. Senang sekali rasanya bisa mengutarakan semua perasaan dan pengalaman itu. Awalnya, ayah saya tidak ada respon apapun, dia hanya fokus mengendarai mobil. Sepertinya ia sedang berpikir. Saya berhenti mengoceh, menunggu respon darinya. Cukup lama saya menunggu, hingga akhirnya ia menyampaikan sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Saya sudah tidak ingat dengan pasti seperti apa pembicaraan waktu itu. Tapi, yang jelas, ia mengatakan bahwa, ayahnya (eyang saya) adalah seorang kejawen yang sangat kental. Sudah sejak dulu, keluarganya sudah terbiasa dengan hal-hal berbau mistis. Bahkan, di masa mudanya, ayah saya seringkali kesurupan tiap kali ada acara-acara adat. Dia juga dulu sering merasakan gangguan-gangguan yang mirip dengan yang saya alami. Tapi, dia tidak pernah merasa ‘ditemani’ seperti saya. Dia hanya merasa lebih ‘peka’ dari orang-orang lain. Dia juga curiga bahwa ada kemungkinan keluarganya, entah dimulai dari siapa, telah melakukan perjanjian saka dengan golongan jin.
Setelah menjelaskan, dia hanya diam. Saya pun hanya diam, tidak berani untuk menanyakan lebih lanjut. Karena saya melihat beliau agak kesulitan dalam menjelaskan. Seolah-olah tidak seharusnya dia menceritakan itu.
“Terlalu cepat untuk adek tau, nanti juga bakal tau sendiri. Intinya percaya aja sama Tuhan, memohon perlindungan sama Tuhan, dan tidak perlu takut sama makhluk halus. Bagusnya adek ga usah cerita ke siapa-siapa, nggak semua orang bisa paham.” Beliau seakan mengakhiri percakapan itu.
"Untuk papa, maafin adek yang sekarang sedang membagi kisah ini ke khalayak ramai..."
Di satu sisi, saya seakan mendapat petunjuk tentang apa yang terjadi. Tapi, sesungguhnya, pertanyaan-pertanyaan di benak saya menjadi semakin besar. Karena, informasi dari ayah serasa “tanggung”, tapi saya belum berani untuk menanyakan lebih jauh. Mungkin benar yang ia katakan, waktu akan menjawab semuanya, lambat laun saya akan tahu. Tapi saya penasaran sendiri. Malam itu saya kesulitan tidur, semua pertanyaan itu terus melayang di kepala saya.
Pagi harinya, kami dibangunkan dengan teriakan maha dahsyat dari ibu. Saya dan abang, dalam kondisi setengah sadar, terbangun dan langsung bergegas keluar kamar, kepala terasa pusing. Saya sempat berpikir mungkin saya pusing karena berpikir terlalu berat semalaman, ternyata pagi itu gempa. Ya, 26 Desember 2004, tsunami melanda wilayah Samudera Hindia, dan gempanya terasa sampai wilayah kota kami.
Saat bergegas keluar rumah, saya sempat melihat ke arah lemari barang antik itu. Hampir semua isi lemari itu berantakan, karena disusun dalam keadaan ringkih, gempa turut meruntuhkan susunan benda-benda di dalam lemari itu.
Begitu suasana sudah kembali normal, ibu dan ayah langsung menyuruh kami bersih-bersih karena kami harus pergi ke rumah nenek untuk melihat bagaimana keadannya.
Dalam keadaan terburu-buru, di saat yang lain sedang sibuk masing-masing, saya justru menyempatkan diri melihat isi lemari itu, takut suatu waktu ibu membereskan isi lemari dan menemukan gigi yang saya sembunyikan.
Saat mengobrak-abrik isi lemari, tidak sengaja, saya juga menemukan kejanggalan lain. Ada gulungan kain batik di sudut lemari. Sebelumnya saya tidak pernah melihatnya. Mungkin karena susunan sudah berantakan, benda itu jadi terlihat. Seakan-akan dulu benda ini disembunyikan juga. Saya mengambil gulungan batik itu. Ternyata, benda itu bukan sekedar gulungan batik yang diikat dengan potongan kain perca. Kain batik itu membungkus sesuatu. Saya membuka ikatannya dan melonggarkan gulungan. Ternyata ada keris dibalik batik itu. Sejak dulu saya sudah tahu, keris terkenal dengan hal mistis. Hmm, sudah cukup banyak benda-benda janggal dan konkrit yang saya temukan. Dari mulai guci, gigi, sekarang, keris. Saya bergegas membungkusnya kembali secara acak. Dan memasukkan gigi itu kedalam dompet kecil yang saya temukan. Di dompet itu ada tulisan “Andre & Rita”, sepertinya itu souvenir dari acara pernikahan. Saat itu, saya merasa sudah cukup aman, meskipun saya merasa bersalah karena tidak mengembalikan keris ke posisi awal semula, yang awalnya diikat rapi, tapi sekarang malah dibungkus berantakan dan tidak diikat.
Sejak saat itu, aktifitas saya menjadi semakin padat. Selain sibuk sekolah dan les, saya juga sibuk mencari-cari tahu tentang cerita ayah saya dan mencoba mencocok-cocokkannya dengan apa yang terjadi dengan saya. Saya memberanikan diri untuk membeli buku tentang dialog seseorang dengan jin, saya bertanya pada orang-orang, sampai rela menghabiskan banyak waktu di warnet untuk mencari tahu lebih banyak. Saya tidak begitu percaya dengan sosok hantu seperti kuntilanak, pocong, genderuwo dan lain-lain, karena saya tetap yakin, bagaimana pun bentuknya, mereka dari kalangan jin yang menyerupai sosok-sosok yang ditakuti manusia, kemudian manusia menamai sosok-sosok itu. Perlahan tapi pasti, saya mulai mendapati beberapa kecocokan dari cerita mengenai jin, cerita ayah saya, dan pengalaman saya sendiri.
(to be continued…)
No comments: