Ads Top

RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 6

PART 6 - TIDAK TERLIHAT

Saat saya mencoba merebahkan badan, saya mendengar ada suara hembusan napas di belakang saya. Sangat jelas, ada yang bernafas di belakang saya. Saya tidak bisa merasakan hembusan udaranya, tapi suara itu sangat jelas. Sepertinya saat itu badan saya seakan kaku dan membeku. Bahkan mungkin saat itu rambut saya tidak pun tidak bergerak dan darah tidak mengalir. Air mata saya mengalir sedikit, karena rasa takut yang mendera. Saya ingin berteriak, tapi tidak bisa. Saya hanya berharap itu mimpi.

Kurang lebih 5 menit saya bertahan di posisi tersebut. Masih dalam suasana ketakutan, saya kembali melakukan kebodohan.
“Maaf ya, ini tempat tidur aku, kamu jangan ganggu aku ya aku nggak suka..” saya berbicara pelan.
Saat itu, punggung saya terasa dingin. Tiba-tiba leher saya terasa sangat kaku, sangat menyakitkan, bahkan rasa sakit itu terus menjalar ke ubun-ubun. Saat itu, saya merasa kalau ‘teman’ itu tidak suka dengan ucapan saya.
“Aduh sakit.. kamu teman aku kan?, kamu boleh kok disini tapi jangan bikin aku sakit ya.”
Bodohnya saya telah mengucapkan itu. Percaya atau tidak, setelah saya mengatakan kata-kata bodoh itu, rasa sakit itu hilang, bahkan demam saya mulai terasa baikan. Beberapa detik setelah itu, saya kembali mendengar suara orang bernafas, tapi kali ini dari dalam lemari yang jaraknya tidak sampai satu meter dari posisi kepala saya saat itu. Kepala saya terasa pusing, dan akhirnya tertidur (entah kenapa sekarang ini kepala saya pusing saat mengetik, hmm mungkin karena kecapean). Kejadian itu merupakan kejadian yang paling membekas di benak saya, bahkan sampai saat ini.

Semenjak saat itu, saya sangat yakin bahwa memang ada makhluk lain yang menemani saya. Saya mulai bisa menerima keberadaannya, meskipun cukup sulit. Saya tetap bersosialisasi dengan orang-orang sekitar, tidak lagi menjadi orang pendiam dan menyendiri, meskipun kesan ‘aneh’ itu sudah melekat pada beberapa teman-teman saya baik di sekolah, komplek, dan tempat les. Tentu saja karena saya terlalu sering menceritakan kejadian-kejadian misterius yang menimpa saya. Satu sisi, banyak yang ingin kenal dengan saya, di sisi lain, banyak yang mencerca saya. 

----------------------------

Sejak saat itu pula, saya menjalani semuanya hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun. Ditemani oleh ‘teman’, yang tidak terlihat.

---------------------------

Saya ingat, hari itu saya baru pulang les biola. Saya sudah duduk di bangku kelas 6 SD. Ada satu lagu yang sangat saya sukai saat itu, judulnya “The Swan” by Camille Saint-Saens ( jika anda penasaran lagunya, silahkan cek di youtube ). Saking sukanya, saya sering menyanyikan lagu itu saat bosan atau saat tidak ada kerjaan. Saat itu saya sedang sedih dan kecewa. Dulu saya pernah minta dibelikan biola lagi, meski awalnya ibu menolak, akhirnya dia berjanji untuk membelikan saat saya bisa memainkan satu lagu dengan lancar, yaitu lagu ‘Canon’. Ibu saya menyukai lagu itu, tapi saya tidak. Saat itu saya sudah lancar bermain lagu Canon dan saya menagih janji ibu, tapi ibu tetap menolak membelikan. Tentu saja, untuk anak seusia saya pada saat itu, akan merasa sedih dan kecewa. Setibanya di rumah, saya ngambek, tidak ikut bergabung makan malam, tapi langsung ke kamar. Saya cuma tiduran, sambil mencoba menghilangkan rasa sedih. Saat sedang termenung, saya mendengar suara orang bersenandung, menyanyikan lagi kesukaan saya, ‘the swan’. Saat itu saya merasa senang mendengar lagu itu, saya pikir mungkin itu dari suara TV. Saya pun ikut bersenandung menyanyikan lagi itu, sambil berjalan menuju keluar kamar. Saat saya keluar kamar, saya kaget bukan main karena TV menyala dan sedang menayangkan berita. Suara senandung itu pun hilang. Tentu saja saya takut bukan main, tapi apa daya, tidak ada gunanya teriak ketakutan kalau ujung-ujungnya akan dianggap aneh oleh ayah dan ibu. Saya kembali masuk ke kamar. Baru saja saya menutup pintu, senandung itu datang lagi. Saya langsung membuka pintu lagi, dan ternyata, suara senandung itu berasal dari kamar kosong itu. Saya memberanikan diri sekuat tenaga untuk membuka pintu, tapi saat itu, ayah saya ternyata sudah sampai ke anak tangga terakhir menuju lantai 2. Dia melihat saya bertingkah aneh, berdiri di depan kamar itu. Saat itu suara senandung sudah lenyap. Ayah saya menghampiri. Saya takut. Takut akan dimarahi karena bertingkah aneh lagi.
Tapi, ayah saya malah mengatakan,

“Jangan dibuka, tapi jangan ketakutan ya, papa juga dengar, makanya papa naik.”
“Maksud papa?”
“Iya, adek ga usah takut, tapi jangan diperiksa-periksa. Ngga apa-apa. Udah adek makan aja dulu sana.”
“Jadi papa dengar? Kok mama ga ikut naik?”
“Mama ga denger kok. Udah udah, gapapa, udah makan sana di bawah.”
Saat saya bergegas turun, ayah saya kembali mengatakan kepada saya
“Oh iya, dek. Jangan bilang sama mama.”
“Kenapa pa?”
“Pokoknya jangan. Mama nggak ngerti.”

Saya cuma mengangguk. Saat itu saya merasa senang sekali ayah saya ternyata bisa mengerti perasaan saya. Ternyata dia mendengar suara itu. Tapi kenapa ibu tidak? Saya memang sempat bingung tapi ya sudahlah. Pada saat itu, yang penting ayah saya ternyata mengerti apa yang terjadi. Mungkin ‘dia’ menyanyikan lagi itu untuk menghibur saya yang sedang sedih, dan itu lagu kesukaan saya. Saat menuruni tangga, saya mendengar ayah mengunci pintu itu, dan ia kembali turun. Ketika menikmati hidangan makan malam, saya merasa ada yang memperhatikan saya. Tentu saja dari jendela kamar kosong itu. Kebetulan, posisi meja makan kami saat itu berada di bawah jendela kamar itu. Tapi, saya abaikan saja, tidak usah dilihat.

Saat menjelang tidur malamnya, saya sedang tiduran, abang saya juga sedang membaca komik. Saat itu pula, suara senandung itu kembali terdengar. Saya mencoba melihat abang saya, tapi dia tidak bergeming. Padahal saat itu saya rasa suara senandung itu cukup keras untuk mengalihkan perhatian orang yang sedang membaca komik. Beberapa detik kemudian, ayah saya membuka pintu kamar. Dia tidak benar-benar masuk ke kamar, hanya menampakkan wajahnya sambil menunjukkan wajah lucu ciri khasnya, yang selalu lucu bagi saya. Saat itu saya tertawa keras, karena candaan itu memang selalu berhasil untuk saya, terutama saat itu saya juga masih tergolong anak-anak. Sedangkan saat itu abang saya hanya tersenyum, mungkin bagi dia candaan itu sudah basi karena dia lebih tua.
Saya senang sekali, ayah saya memang selalu hadir bagi kami anak-anaknya, dan saat itu saya tahu dia menghibur saya, mungkin karena dia juga mendengar suara senandung itu dan dia membuat saya tertawa agar saya tidak merasa takut lagi.

Semenjak saat itu, ayah saya cukup berubah. Kami lebih sering menghabiskan waktu berdua. Karena dia seorang pengusaha, dia tidak punya jam kantor yang tetap. Waktunya fleksibel. Dulu, dia banyak menghabiskan waktu di luar. Tapi belakangan, di saat itu, dia lebih banyak menyediakan waktu bagi anak-anaknya, terutama saya. Saya senang sekali, saya jadi lebih terbuka ke ayah saya tentang gangguan-gangguan misterius yang terjadi. Tapi, tentu saja, itu saya ceritakan saat ibu tidak ada. Saya memang belum mengerti kenapa cukup sampai di ayah saja. Tapi saya patuhi saja perintah ayah untuk tidak cerita ke ibu. Yang penting, saya senang karena dia bisa mendengar cerita saya. Sejak saat itu pula, kami sering pergi berdua. Ayah saya menjadi orang paling nyaman bagi saya untuk berbagi cerita dan mengutarakan keinginan. Meskipun terkadang dia tidak bisa mengabulkan keinginan, dia tidak pernah menolaknya mentah-mentah. Dia hanya mengatakan “Nanti, ya, doain aja rejeki kita lancar, nanti kita beli.”. (To be honest, saat ini tanpa saya sadari air mata saya keluar karena terharu, terima kasih, Pa.)

Beberapa bulan kemudian, saya terbangun dalam kondisi gigi graham yang goyang (gigi susu). Padahal, gigi itu tidak bolong atau rusak. Mungkin, karena itu gigi susu. Sorenya, sepulang les, saya dan ayah pergi ke dokter gigi. Tapi, saat dokter melihat gigi saya, dia juga menyarankan untuk mencabut gigi taring saya karena sudah tumbuh gigi baru yang sudah tumbuh di posisi yang tidak seharusnya, dan menyarankan untuk menggunakan kawat gigi saat semua gigi baru sudah tumbuh. Akhirnya, malam itu, dua gigi saya dicabut, graham dan taring.
Pulangnya, ayah sempat mengajak untuk ikut dengannya duduk-duduk di restoran TipTop bersama temannya. Mungkin dia mencoba menghibur saya yang kesakitan, karena di restoran itu ada es krim kesukaan saya. Saya tahu, sebelumnya dia punya janji dengan temannya, tapi bukan di TipTop, mungkin karena demi menghibur saya, dia mengganti tempat ke TipTop. (Terima kasih papa, tapi saat itu rasanya lebih baik istirahat di rumah).
Setibanya di rumah, ayah langsung pergi lagi ke TipTop. Saya beranjak ke kamar. Lagi-lagi, dari kamar itu, ada suara. Ya, lagi dan lagi. Tapi, kali ini suaranya bukan bersenandung. Melainkan suara seperti merintih kesakitan. Kali itu, saya melanggar janji ke ayah untuk tidak mencari-cari asal muasal suara jika ada gangguan. Saya bergegas mencari kunci kamar itu di bawah. Untungnya saya tahu dimana ayah saya menyimpan kunci itu. Saya memberanikan diri untuk membuka pintu itu.
“Ceklek!” Pintu sudah tidak terkunci.
Saya membuka pintu, tentu saja saat itu suara rintihan sudah tidak terdengar. Lembab. Itulah kesan pertama kali saat saya membuka pintu. Untunglah, saklar lampu berada tidak jauh dari pintu, maka saya langsung menyalakan lampu. Lampu menyinari kamar dengan terangnya. Rasanya, tidak ada yang aneh. Saya melanjutkan petualangan di kamar itu. Saya duduk di tempat tidur. Melihat sekeliling, dan.. barulah saya menemukan kejanggalan. Ada sesuatu di sudut ruangan di lantai. Saya mencoba menajamkan penglihatan setajam-tajamnya. Ya, ada sesuatu disitu. Tanpa berlama-lama, saya mendekati sudut itu.
(to be continued…)

No comments:

Powered by Blogger.