RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 5
PART 5 - TEMAN (?)
Sebelumnya, maaf kalau updatenya kelamaan, sebenarnya saya punya banyak waktu mengetik kisah ini saat weekend. Tapi ini saya sempatkan untuk mengetiknya hehehe.
Pusing. Ya, saya merasa pusing setelah saya sadar telah melambaikan tangan ke arah pintu, ke udara. Saya pusing bukan karena saya sakit. Rasa takut dan aneh bercampur menjadi satu. Malam itu, saya mencoba tidur. Tapi sulit. Pikiran saya melayang, tidak tenang. Hingga akhirnya, saya menggeser badan saya ke tepian, seolah memberi ruang untuk orang lain di atas tempat tidur. Saat itu pula, saya merasa tenang, seakan ada yang menemani saya tidur. Malam itu pula, merupakan pengalaman pertama saya mengalami ‘ketindihan’ saat tidur. Sungguh melelahkan, saya ingin berteriak, tapi suara tidak bisa keluar, saya bahkan tidak tahu apakah itu mimpi atau saya benar-benar mengerang dan berteriak.
Meskipun kejadian itu terasa nyata, saya tidak pernah berpikir untuk menceritakannya kepada siapapun, terutama kepada orang di rumah. Saya rasa sudah cukup saya disebut-sebut aneh oleh keluarga sendiri. Sudah saatnya saya memendam semuanya sendiri.
Semenjak itu pula, saya semakin menikmati saat-saat saya menyendiri. Saya bahkan berbicara sendiri, meskipun tidak mendengar jawaban apapun, saya merasa lebih tenang setiap kali saya berbicara sendiri. Seakan-akan kekosongan yang selama ini dirasakan telah hilang. Saya bahkan tidak tahu ini baik atau buruk.
Setelah berbulan-bulan saya asyik sendiri, bahkan jarang berbicara dengan orang tua saya, sepertinya ibu saya mulai curiga. Dia sering kali menanyakan, kenapa saya lebih sering duduk termenung dan berlama-lama sendiri. Tapi saya hanya menjawab; “bosan, ga ngapa-ngapain”.
Hari itu hari Minggu. Saya harus mempersiapkan diri karena besok saya akan menjalani ujian untuk kenaikan kelas. Saya merasa gugup, karena saya merasa tidak yakin akan bisa mengerjakan ujian dengan baik. Setelah makan siang bersama keluarga, saya memutuskan untuk belajar, tapi, tidak di kamar saya, melainkan di kamar kosong tersebut. Ya, semenjak saya tidak merasa kesepian, saya merasa betah di kamar tersebut. Pada saat itu pula, saya berbicara sendiri seakan ada teman saya berbicara. Tapi saya lupa, saya sedang tidak sendiri di rumah! Ibu saya mendengar saya berbicara sendiri.
“Adek ngapain! Ngobrol sama siapa sih?!”
“Em.. nggak ma, lagi baca buku aja..”
Tapi tentu saja ibu saya tidak percaya. Ibu saya memasang wajah kasihan terhadap saya. Saat itupun saya merasa kasihan terhadap diri saya sendiri, dan ibu saya. Tidak seharusnya dia melihat saya seperti itu.
Sejak saat itu, ibu saya lebih sering di rumah, lebih sering menemani saya sebelum tidur. Saya senang ditemani ibu, tapi, perasaan adanya kehadiran ‘teman lain’, tidak hilang. Meskipun saya sedang berbicara dengan ibu, ‘teman’ itu tetap terasa hadir di tengah-tengah kami. Tentu saja saya tidak mengatakannya pada ibu.
Akhirnya ibu saya memutuskan agar saya mengikuti banyak les agar waktu kosong saya lebih terisi, karena saya yakin, dia merasa ada yang berubah dengan anaknya. Sejak saat itu pula, jam les bahasa inggris saya ditambah, guru dipanggil ke rumah, bahkan ditambahkan les piano dan biola. Meskipun saya sibuk, ‘teman’ itu tidak pernah hilang. Bahkan yang sebelumnya hanya terasa di rumah, saat itu ‘teman’ ini seakan ikut kemana pun saya pergi.
Suatu hari, saya lupa hari apa, tapi itu sore menjelang malam. Saya sedang menunggu dijemput di tempat les bahasa inggris. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya dijemput dan ternyata kami menuju rumah nenek.
Setibanya di rumah nenek, hari sudah gelap. Sebenarnya saya tidak begitu suka dengan rumah nenek. Suasananya lembab dan pencahayaannya minim. Rumahnya cukup besar, sudah berdiri sejak ayah saya lahir dulu. Bahkan saya juga dulu dibesarkan dari bayi di rumah itu. Karena kami bukan tamu, kami masuk dari pintu belakang, langsung tembus ke bagian tangga rumah. Ya, lagi-lagi tangga. Saat saya melewati tangga, menuju ruang keluarga, saya merasa tidak enak, seperti marah, saya ingin marah. Saya berhenti tepat di depan tangga. Saya menatap tajam kearah tangga yang gelap tersebut, bukan karena takut, tapi saya merasa ada seperti ada musuh yang tidak saya sukai. Saat lampu dinyalakan, saya langsung kaget bukan main, ternyata guci kalimantan itu berada di pojokan pertengahan (bordes) tangga, dan cermin menempel di dinding, diatas guci tersebut. Saya langsung mendekati guci itu, tanpa menghiraukan tante saya yang memanggil. Saat saya hanya berjarak satu jengkal dari guci, saya merinding hebat, kepala saya pusing, badan saya gemetar dan berkeringat. Saat saya menoleh ke cermin. Saya memang tidak melihat apa-apa, selain saya sendiri. Namun, saya takut melihat wajah saya sendiri. Secara fisik, tidak ada yang berbeda antara pantulan dan aslinya. Tapi, aura dari pantulan itu sangat mengerikan.
Saya langsung bergegas ke ruang keluarga, bergabung dengan saudara-saudara lain. Tapi saya hanya diam, senyum sedikit pun tidak, padahal saudara-saudara lain sedang tertawa riang. Saya sempat melihat ibu saya memperhatikan tingkah saya, saya tahu dia ingin marah pada saat itu, mungkin karena sikap saya yang terkesan cuek. Tapi apa daya, percuma jika saya ceritakan, yang ada malah saya akan semakin dianggap aneh. Saya tahu pada saat itu saudara-saudara saya merasa ada yang aneh dengan saya, tapi untungnya mereka tidak bertanya. Saya tidak ingin semakin banyak yang menganggap saya aneh. Tapi saat itu, perasaan itu tidak bisa disembunyikan, apa boleh buat, saya memang tidak bisa berbaur dengan percakapan di ruangan itu. Pikiran saya hanya pada apa yang terjadi di tangga tadi. Bahkan, abang saya memutuskan untuk ikut menginap disana bersama sepupu lain, tapi tidak ingin saya ikut. Saya tidak tahu kenapa, saya sedih sebenarnya, tapi mungkin itu lebih baik, daripada saya ikut menginap tapi justru menjadi seperti kacang yang tidak diperdulikan karena diam saja.
Malam itu juga, setibanya di rumah, badan saya panas tinggi, saya demam. Rasanya lemas tidak berdaya. Saat itu, semua perasaan dicampur aduk menjadi satu. Saya bertanya-tanya, kenapa ini harus terjadi pada saya. Apa saya lebih baik mati? Ya. Saat itu saya masih umur 8 tahun, dan cobaan itu terlalu berat untuk saya. Karena saya tahu, demam ini bukan demam seperti biasanya. Ada kegelisahan yang sangat mendalam.
Malam itu, saya tidak bisa tidur. Saya sakit, dan takut. Lagi-lagi, saat tidur, saya terganggu oleh suara-suara mencakar di pintu. Karena penasaran, akhirnya saya beranikan menoleh ke pintu. Hmm, suara itu hilang, mungkin tadi hanya perasaan saya. Dari celah dibawah pintu, saya tidak melihat ada cahaya, saat itu saya pikir, mungkin lampu diluar kamar saya dimatikan. Saya mencoba menenangkan diri lagi, mencoba mengingat-ingat masa lalu yang indah, atau kejadian-kejadian lucu. Tapi, saat saya hendak membalikkan badan, saya sadar, bahwa dari ventilasi kaca diatas pintu saya, cahaya menyinari dengan terang benderang! Saat saya kembali melihat ke celah dibawah pintu, masih tidak ada cahaya yang menyinari. Seakan-akan ada yang berdiri di balik pintu dan menutupi semua celah untuk masuknya cahaya (saat ini saya berada di ruangan luar kamar tidur saya, sambil sesekali melihat ke pintu, karena jujur, kejadian ini merupakan yang paling menakutkan yang pernah saya alami dulu). Saya merinding hebat, saya memang bodoh. Saat itu, saya mencoba berbicara.
“Halo, jangan di depan pintu lah, masuk aja sini aku nggak takut.”
Saat itu pula, sangat jelas sekali di depan mata saya, bayangan itu hilang. Cahaya kembali masuk. Jika memang tadi ada makhluk lain yang berdiri di depan pintu dan sekarang ia menghilang dari situ, saya harap ia tidak masuk ke kamar karena ucapan saya tadi.
Saya betul-betul terdiam. Jika sebelumnya saya hanya mendengar suara, kali ini, saya melihatnya. Terlihat jelas ia menghilang, meskipun saya tidak tahu rupa nya. Mungkin lebih baik jika saya tidak tahu rupa nya bagaimana. Dan saya memutuskan kembali tidur, meskipun sulit. Tapi, saat saya mencoba merebahkan badan…..
(to be continued...)
Sebelumnya, maaf kalau updatenya kelamaan, sebenarnya saya punya banyak waktu mengetik kisah ini saat weekend. Tapi ini saya sempatkan untuk mengetiknya hehehe.
Pusing. Ya, saya merasa pusing setelah saya sadar telah melambaikan tangan ke arah pintu, ke udara. Saya pusing bukan karena saya sakit. Rasa takut dan aneh bercampur menjadi satu. Malam itu, saya mencoba tidur. Tapi sulit. Pikiran saya melayang, tidak tenang. Hingga akhirnya, saya menggeser badan saya ke tepian, seolah memberi ruang untuk orang lain di atas tempat tidur. Saat itu pula, saya merasa tenang, seakan ada yang menemani saya tidur. Malam itu pula, merupakan pengalaman pertama saya mengalami ‘ketindihan’ saat tidur. Sungguh melelahkan, saya ingin berteriak, tapi suara tidak bisa keluar, saya bahkan tidak tahu apakah itu mimpi atau saya benar-benar mengerang dan berteriak.
Meskipun kejadian itu terasa nyata, saya tidak pernah berpikir untuk menceritakannya kepada siapapun, terutama kepada orang di rumah. Saya rasa sudah cukup saya disebut-sebut aneh oleh keluarga sendiri. Sudah saatnya saya memendam semuanya sendiri.
Semenjak itu pula, saya semakin menikmati saat-saat saya menyendiri. Saya bahkan berbicara sendiri, meskipun tidak mendengar jawaban apapun, saya merasa lebih tenang setiap kali saya berbicara sendiri. Seakan-akan kekosongan yang selama ini dirasakan telah hilang. Saya bahkan tidak tahu ini baik atau buruk.
Setelah berbulan-bulan saya asyik sendiri, bahkan jarang berbicara dengan orang tua saya, sepertinya ibu saya mulai curiga. Dia sering kali menanyakan, kenapa saya lebih sering duduk termenung dan berlama-lama sendiri. Tapi saya hanya menjawab; “bosan, ga ngapa-ngapain”.
Hari itu hari Minggu. Saya harus mempersiapkan diri karena besok saya akan menjalani ujian untuk kenaikan kelas. Saya merasa gugup, karena saya merasa tidak yakin akan bisa mengerjakan ujian dengan baik. Setelah makan siang bersama keluarga, saya memutuskan untuk belajar, tapi, tidak di kamar saya, melainkan di kamar kosong tersebut. Ya, semenjak saya tidak merasa kesepian, saya merasa betah di kamar tersebut. Pada saat itu pula, saya berbicara sendiri seakan ada teman saya berbicara. Tapi saya lupa, saya sedang tidak sendiri di rumah! Ibu saya mendengar saya berbicara sendiri.
“Adek ngapain! Ngobrol sama siapa sih?!”
“Em.. nggak ma, lagi baca buku aja..”
Tapi tentu saja ibu saya tidak percaya. Ibu saya memasang wajah kasihan terhadap saya. Saat itupun saya merasa kasihan terhadap diri saya sendiri, dan ibu saya. Tidak seharusnya dia melihat saya seperti itu.
Sejak saat itu, ibu saya lebih sering di rumah, lebih sering menemani saya sebelum tidur. Saya senang ditemani ibu, tapi, perasaan adanya kehadiran ‘teman lain’, tidak hilang. Meskipun saya sedang berbicara dengan ibu, ‘teman’ itu tetap terasa hadir di tengah-tengah kami. Tentu saja saya tidak mengatakannya pada ibu.
Akhirnya ibu saya memutuskan agar saya mengikuti banyak les agar waktu kosong saya lebih terisi, karena saya yakin, dia merasa ada yang berubah dengan anaknya. Sejak saat itu pula, jam les bahasa inggris saya ditambah, guru dipanggil ke rumah, bahkan ditambahkan les piano dan biola. Meskipun saya sibuk, ‘teman’ itu tidak pernah hilang. Bahkan yang sebelumnya hanya terasa di rumah, saat itu ‘teman’ ini seakan ikut kemana pun saya pergi.
Suatu hari, saya lupa hari apa, tapi itu sore menjelang malam. Saya sedang menunggu dijemput di tempat les bahasa inggris. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya saya dijemput dan ternyata kami menuju rumah nenek.
Setibanya di rumah nenek, hari sudah gelap. Sebenarnya saya tidak begitu suka dengan rumah nenek. Suasananya lembab dan pencahayaannya minim. Rumahnya cukup besar, sudah berdiri sejak ayah saya lahir dulu. Bahkan saya juga dulu dibesarkan dari bayi di rumah itu. Karena kami bukan tamu, kami masuk dari pintu belakang, langsung tembus ke bagian tangga rumah. Ya, lagi-lagi tangga. Saat saya melewati tangga, menuju ruang keluarga, saya merasa tidak enak, seperti marah, saya ingin marah. Saya berhenti tepat di depan tangga. Saya menatap tajam kearah tangga yang gelap tersebut, bukan karena takut, tapi saya merasa ada seperti ada musuh yang tidak saya sukai. Saat lampu dinyalakan, saya langsung kaget bukan main, ternyata guci kalimantan itu berada di pojokan pertengahan (bordes) tangga, dan cermin menempel di dinding, diatas guci tersebut. Saya langsung mendekati guci itu, tanpa menghiraukan tante saya yang memanggil. Saat saya hanya berjarak satu jengkal dari guci, saya merinding hebat, kepala saya pusing, badan saya gemetar dan berkeringat. Saat saya menoleh ke cermin. Saya memang tidak melihat apa-apa, selain saya sendiri. Namun, saya takut melihat wajah saya sendiri. Secara fisik, tidak ada yang berbeda antara pantulan dan aslinya. Tapi, aura dari pantulan itu sangat mengerikan.
Saya langsung bergegas ke ruang keluarga, bergabung dengan saudara-saudara lain. Tapi saya hanya diam, senyum sedikit pun tidak, padahal saudara-saudara lain sedang tertawa riang. Saya sempat melihat ibu saya memperhatikan tingkah saya, saya tahu dia ingin marah pada saat itu, mungkin karena sikap saya yang terkesan cuek. Tapi apa daya, percuma jika saya ceritakan, yang ada malah saya akan semakin dianggap aneh. Saya tahu pada saat itu saudara-saudara saya merasa ada yang aneh dengan saya, tapi untungnya mereka tidak bertanya. Saya tidak ingin semakin banyak yang menganggap saya aneh. Tapi saat itu, perasaan itu tidak bisa disembunyikan, apa boleh buat, saya memang tidak bisa berbaur dengan percakapan di ruangan itu. Pikiran saya hanya pada apa yang terjadi di tangga tadi. Bahkan, abang saya memutuskan untuk ikut menginap disana bersama sepupu lain, tapi tidak ingin saya ikut. Saya tidak tahu kenapa, saya sedih sebenarnya, tapi mungkin itu lebih baik, daripada saya ikut menginap tapi justru menjadi seperti kacang yang tidak diperdulikan karena diam saja.
Malam itu juga, setibanya di rumah, badan saya panas tinggi, saya demam. Rasanya lemas tidak berdaya. Saat itu, semua perasaan dicampur aduk menjadi satu. Saya bertanya-tanya, kenapa ini harus terjadi pada saya. Apa saya lebih baik mati? Ya. Saat itu saya masih umur 8 tahun, dan cobaan itu terlalu berat untuk saya. Karena saya tahu, demam ini bukan demam seperti biasanya. Ada kegelisahan yang sangat mendalam.
Malam itu, saya tidak bisa tidur. Saya sakit, dan takut. Lagi-lagi, saat tidur, saya terganggu oleh suara-suara mencakar di pintu. Karena penasaran, akhirnya saya beranikan menoleh ke pintu. Hmm, suara itu hilang, mungkin tadi hanya perasaan saya. Dari celah dibawah pintu, saya tidak melihat ada cahaya, saat itu saya pikir, mungkin lampu diluar kamar saya dimatikan. Saya mencoba menenangkan diri lagi, mencoba mengingat-ingat masa lalu yang indah, atau kejadian-kejadian lucu. Tapi, saat saya hendak membalikkan badan, saya sadar, bahwa dari ventilasi kaca diatas pintu saya, cahaya menyinari dengan terang benderang! Saat saya kembali melihat ke celah dibawah pintu, masih tidak ada cahaya yang menyinari. Seakan-akan ada yang berdiri di balik pintu dan menutupi semua celah untuk masuknya cahaya (saat ini saya berada di ruangan luar kamar tidur saya, sambil sesekali melihat ke pintu, karena jujur, kejadian ini merupakan yang paling menakutkan yang pernah saya alami dulu). Saya merinding hebat, saya memang bodoh. Saat itu, saya mencoba berbicara.
“Halo, jangan di depan pintu lah, masuk aja sini aku nggak takut.”
Saat itu pula, sangat jelas sekali di depan mata saya, bayangan itu hilang. Cahaya kembali masuk. Jika memang tadi ada makhluk lain yang berdiri di depan pintu dan sekarang ia menghilang dari situ, saya harap ia tidak masuk ke kamar karena ucapan saya tadi.
Saya betul-betul terdiam. Jika sebelumnya saya hanya mendengar suara, kali ini, saya melihatnya. Terlihat jelas ia menghilang, meskipun saya tidak tahu rupa nya. Mungkin lebih baik jika saya tidak tahu rupa nya bagaimana. Dan saya memutuskan kembali tidur, meskipun sulit. Tapi, saat saya mencoba merebahkan badan…..
(to be continued...)
No comments: