RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 3
PART 3 - GUCI
Saat itu saya dan abang saya sudah menempati kamar tidur kami sendiri, tidak lagi bersama orang tua. Seharusnya, kami memiliki kamar tidur sendiri-sendiri, namun ibu saya bersikeras agar kami tinggal di kamar yang sama, agar kami bisa terbiasa saling berbagi dan selalu bersama, maka itu kamar tidur yang seharusnya punya saya sendiri, dibiarkan kosong, meskipun di dalamnya sudah diisi lengkap dengan kamar tidur, meja belajar dan lemari. Hanya saja, kamar kosong ini meskipun memiliki jendela namun tidak disinari matahari langsung karena menghadap tembok. Kedua kamar ini terletak saling berhadapan. Pintu kamar kosong tersebut selalu terbuka, berikut dengan pintu kamar mandi, dimana saat kedua pintu ini terbuka, dari luar kamar dapat melihat ke dalam kamar mandi.
Saat itu, koleksi guci peninggalan kakek saya diletakkan di bawah washtafel kamar mandi tersebut. Jadi, guci tersebut, berdasarkan cerita ayah saya, dibuat dari campuran tanah liat dan abu kremasi leluhur orang pedalaman Kalimantan, makanya kami menyebutnya guci Kalimantan karena tidak tahu persis apa nama benda itu. Kami bukan orang Kalimantan, kami orang Jawa asli, kakek saya adalah seorang veteran keturunan Keraton, dan guci tersebut merupakan pemberian dari rakyat Pontianak, tapi saya tidak tahu persis kenapa kakek saya dulu bisa diberi benda tersebut. Yang jelas, ayah saya pernah mengatakan bahwa guci itu sebaiknya disimpan karena dahulu kakek saya percaya bahwa guci itu merupakan jimat untuk menjaga. Meskipun ayah dan ibu saya tidak pernah percaya akan makna jimat tersebut, tapi karena barang peninggalan, ya disimpan saja.
Bentuk guci tersebut layaknya guci pada umumnya, namun tekstur dan warnanya agak berantakan. Warnanya coklat gelap, tidak mengkilap, saya bahkan tidak tahu di sisi mana guci ini dapat menjadi suatu hiasan ruangan. Di rumah kami terdapat 3 buah, namun yang berada di kamar mandi kosong itu, sangat mencolok, karena terdapat bercak seperti huruf S yang memanjang pada bibir atas sampai pinggir bawah pada permukaannya.
Setiap hari saya keluar kamar, saya pasti dapat melihat guci tersebut, hingga pada suatu hari saya merasa ada yang janggal. Bercak huruf ‘s’ yang biasanya menghadap ke arah pintu, kenapa kali ini menghadap ke arah sebaliknya. Saya pun memutuskan untuk memutar guci tersebut ke posisi semula.
Keesokan harinya, saya kembali menemukan guci tersebut sudah berpindah posisi lagi. Sedangkan saya yakin tidak ada yang memasuki kamar tersebut dan menggesernya.
Saya akhirnya memutuskan untuk memberi tanda pada guci tersebut menggunakan kapur. Jadi saya mencoretkan kapur pada pinggiran guci, terus tersambung sampai ke lantai. Sehingga, saya dapat mengetahui jika guci tersebut bergeser saat garis tersebut sudah tidak saling berhimpitan. Kemudian, untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang mengganggu guci tersebut, saya mengunci kamar mandi, beserta mengunci kamar tersebut, kemudian saya menyimpan semua kunci beserta kunci cadangan di dalam ruang di lemari saya, dan saya kembali menggoreskan kapur di sekeliling tumpukan kunci, untuk memastikan saya tahu jika kunci tersebut bergeser.
Ibu saya sempat bertanya kenapa pintu kamar tersebut dikunci, saya menjawab sebaiknya dikunci saja daripada dibiarkan terbuka dan berdebu. Untungnya ibu saya dan orang lainnya di rumah tersebut tidak ada yang curiga dan membiarkan pintu kamar tersebut tertutup.
Keesokan harinya, sepulang sekolah, saya bergegas mengecek kunci tersebut, dan, tentu saja, kunci tersebut tidak bergeser sama sekali, tumpukan kunci masih pada posisinya, tidak ada yang melewati batas kapur.
Saya pun bergegas membuka pintu kamar kosong tersebut. Sesaat ketika saya membuka pintu kamar, saya merasa kamar tersebut terasa dingin, lebih dingin dari biasanya, terasa aneh, padahal pada saat itu cuaca sedang panas-panasnya (jujur, saat ini saya mengetik tengah malam di kamar saya, masih di rumah yang sama, punggung saya terasa dingin seketika dan merinding hebat). Saat saya membuka pintu kamar mandi, saya langsung kaget bukan main. Guci tersebut bukan hanya bergeser dari tempatnya, namun, bercak huruf S tersebut sudah hilang. Saya kaget dan takut luar biasa.
Saat itu saya tidak berani untuk menceritakan hal tersebut dengan orang tua, karena ayah saya dari dulu sudah sering berpesan untuk tidak bermain-main dengan guci tersebut, jangan meletakkan apa-apa di dalam guci tersebut atau apa pun, meskipun di satu sisi, ia tidak percaya takhayul yang melekat pada guci tersebut.
Namun pada saat makan malam, karena tidak tahan, saya menceritakan apa yang terjadi secara detail. Ayah saya sontak memarahi saya atas apa yang sudah saya lakukan. “Sudah papa bilang jangan main-main sama guci itu! Papa memang ga percaya apa-apa disitu tapi kita kan gak tau kalo emang ada apa-apa dari sononya!”
Ayah saya langsung mengecek guci tersebut, dan dia menyaksikan bahwa bercak huruf S itu telah hilang dari guci tersebut.
Malam itu saya merasa sangat bersalah, namun ayah saya juga tidak dapat berbuat apa-apa.
Semenjak saat itu, suasana kamar tersebut selalu terasa aneh, pintu kembali dibiarkan terbuka, meskipun lampu tidak pernah dinyalakan, meski itu malam hari.
Biasanya, saat saya tiduran di kamar dalam keadaan pintu terbuka dan menghadap langsung ke kegelapan kamar kosong tersebut, saya tidak merasakan apa-apa, biasa saja. Namun semenjak kejadian guci tersebut, saya selalu merasa tidak nyaman, baik pada siang yang terang maupun malam yang gelap. Saya selalu merasa seakan-akan ada sesuatu yang sedang memperhatikan saya di dalam kamar tersebut. Saya menceritakan perasaan saya ini dengan ayah, ibu dan abang saya, namun mereka hanya menjawab, bahwa mungkin itu hanya perasaan saya saja karena telah melakukan kesalahan. Hingga akhirnya pada suatu malam, saya dan abang saya sedang curi-curi waktu untuk bermain PS, saat itu tengah malam, orang tua saya juga sudah tidur, kami sengaja bermain tengah malam karena kami pada saat itu dilarang untuk bermain PS sesudah maghrib. Saat game sedang loading, suasana sangat hening, kami mendengar suara aneh dari luar kamar, seperti suara benda bergesekan, lebih tepatnya seperti suara orang sedang mencakar-cakar daun pintu. Awalnya saya mencoba mengabaikan, namun saat saya melihat ekspresi penasaran pada wajah abang saya, dia meletakkan joystick PS, dan mengajak saya untuk mengecek.
“Apa tuh dek?”
“Ngga tau bang, kayak ada yang cakar-cakar”
“Ih takutnya maling! Ayok kita periksa”
“Ah ngga mungkin..” jawab saya mencoba meyakinkan abang saya untuk tetap di kamar dan tidak mengecek ada apa.
Tetapi abang saya tetap bersikukuh untuk mengecek, dan apa boleh buat, saya pun ikut karena tidak berani kalau harus ditinggal sendirian.
Pada saat kami membuka pintu kamar, ternyata pintu kamar kosong tersebut tertutup, mungkin ibu saya yang menutupnya.
Saat itu abang saya menjadi lebih tenang karena dia merasa tidak ada apa-apa. Namun saat kami hendak kembali menutup pintu kamar kami, suara itu muncul lagi dan kali ini sangat jelas bahwa suara tersebut berasal dari kamar kosong. Saya takut luar biasa, mencoba teriak namun abang saya menutup mulut saya agar tidak membangunkan ayah dan ibu. Abang saya kemudian mencoba membuka pintu tersebut, namun tetap di saat iya menyentuh gagang pintu, terdengar suara langkah kaki di dalam kamar tersebut, suaranya seakan-akan berlari menjauh dari pintu. Abang saya sontak berlari kembali ke dalam kamar, menarik saya dan kami bersembunyi dibalik selimut. Malam itu kami sangat ketakutan.
Keesokan paginya, saya menceritakan semua yang terjadi, namun tetap saja, orang tua kami tetap hanya tertawa seakan saya berbohong. Apalagi pada saat itu abang saya hanya diam seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Pagi itu juga, saya, abang dan ayah saya beranjak menuju mobil, namun tiba-tiba kami mendengar suara ibu sedang berbicara diatas, sedangkan kami yakin saat itu kami bertiga dibawah, ibu saya diatas dan tidak ada orang lain selain kami ber-empat di dalam rumah.
“Dek, ngapain lagi tuh disitu, ayo cepat buruan papa udah nunggu dibawah..” kata ibu.
Saat itu kami bertiga saling bertatap muka, karena saat itu kami mendengar ibu seakan berbicara dengan saya, padahal saya sudah berada di bawah.
“Dek, cari apa sih disitu, kan mama udah bilang malamnya tuh barang-barang disiapin jadi pagi tinggal berangkat!” ibu saya kembali berbicara dengan suara yang lebih kuat.
Sontak saja saya langsung berteriak dari bawah,
“Kenapa ma? Ini adek udah mau berangkat loh” saya menyahut.
Tiba-tiba ibu saya langsung berlari ke bawah, dengan raut wajah yang sangat ketakutan.
“Sumpah..sumpah Demi Tuhan tadi mama liat adek di kamar itu!!” ibu berteriak.
“Mama apaan sih, dari tadi juga kami dibawah kok” Ayah saya menjawab.
“Nggak pa, mama tadi lagi beresin kamar anak-anak, mama lihat adek lagi di kamar kosong, bajunya sama kok, persis sama!” ibu saya kembali membantah.
Saat itu suasana sangat tidak enak, saya takut, sedangkan itu masih pagi.
Ibu saya akhirnya memutuskan untuk ikut mengantar kami ke sekolah. Untunglah suasana perjalanan yang awalnya hanya hening tersebut, berhasil dipecahkan karena candaan-candaan dari ayah saya.
Siang hari pada saat saya pulang sekolah (oh ya saya pulang sekolah menggunakan bus sekolah), saat itu hanya ada pembantu kami yang datang khusus untuk cuci-setrika, tidak ada ayah atau ibu, dan abang saya masih di sekolah untuk melanjutkan kegiatan ekstra kurikuler. Saya kembali melihat kamar kosong tersebut, mau tidak mau, karena kamar tersebut berada persis di depan kamar kami. Saya kaget, karena guci tersebut sudah tidak ada lagi disitu. Dan saat saya cek di ruangan lain, semua guci sudah hilang. Saat itu juga saya langsung menanyakan mba Wati, kemana perginya guci-guci tersebut. Mbak Wati mengatakan kalau tadi ia melihat ayah dan ibu pergi membawa guci tersebut.
“Ngga tau dek, tadi mbak liat mama sama papa bawa gucinya, denger-denger sih tadi kayaknya mau dibalikin ke rumah nenek..” ucap Mbak Wati.
Dan ternyata benar, saat ayah pulang, dia mengatakan kalau guci tersebut sebaiknya dikembalikan ke rumah nenek saya, dengan alasan bahwa tidak ada lagi ruang tersedia untuk memajang guci tersebut di rumah kami sekarang.
Saat itu saya merasa cukup tenang karena saya tidak perlu melihat guci itu lagi.
Namun, …
(to be continued ..)
Saat itu saya dan abang saya sudah menempati kamar tidur kami sendiri, tidak lagi bersama orang tua. Seharusnya, kami memiliki kamar tidur sendiri-sendiri, namun ibu saya bersikeras agar kami tinggal di kamar yang sama, agar kami bisa terbiasa saling berbagi dan selalu bersama, maka itu kamar tidur yang seharusnya punya saya sendiri, dibiarkan kosong, meskipun di dalamnya sudah diisi lengkap dengan kamar tidur, meja belajar dan lemari. Hanya saja, kamar kosong ini meskipun memiliki jendela namun tidak disinari matahari langsung karena menghadap tembok. Kedua kamar ini terletak saling berhadapan. Pintu kamar kosong tersebut selalu terbuka, berikut dengan pintu kamar mandi, dimana saat kedua pintu ini terbuka, dari luar kamar dapat melihat ke dalam kamar mandi.
Saat itu, koleksi guci peninggalan kakek saya diletakkan di bawah washtafel kamar mandi tersebut. Jadi, guci tersebut, berdasarkan cerita ayah saya, dibuat dari campuran tanah liat dan abu kremasi leluhur orang pedalaman Kalimantan, makanya kami menyebutnya guci Kalimantan karena tidak tahu persis apa nama benda itu. Kami bukan orang Kalimantan, kami orang Jawa asli, kakek saya adalah seorang veteran keturunan Keraton, dan guci tersebut merupakan pemberian dari rakyat Pontianak, tapi saya tidak tahu persis kenapa kakek saya dulu bisa diberi benda tersebut. Yang jelas, ayah saya pernah mengatakan bahwa guci itu sebaiknya disimpan karena dahulu kakek saya percaya bahwa guci itu merupakan jimat untuk menjaga. Meskipun ayah dan ibu saya tidak pernah percaya akan makna jimat tersebut, tapi karena barang peninggalan, ya disimpan saja.
Bentuk guci tersebut layaknya guci pada umumnya, namun tekstur dan warnanya agak berantakan. Warnanya coklat gelap, tidak mengkilap, saya bahkan tidak tahu di sisi mana guci ini dapat menjadi suatu hiasan ruangan. Di rumah kami terdapat 3 buah, namun yang berada di kamar mandi kosong itu, sangat mencolok, karena terdapat bercak seperti huruf S yang memanjang pada bibir atas sampai pinggir bawah pada permukaannya.
Setiap hari saya keluar kamar, saya pasti dapat melihat guci tersebut, hingga pada suatu hari saya merasa ada yang janggal. Bercak huruf ‘s’ yang biasanya menghadap ke arah pintu, kenapa kali ini menghadap ke arah sebaliknya. Saya pun memutuskan untuk memutar guci tersebut ke posisi semula.
Keesokan harinya, saya kembali menemukan guci tersebut sudah berpindah posisi lagi. Sedangkan saya yakin tidak ada yang memasuki kamar tersebut dan menggesernya.
Saya akhirnya memutuskan untuk memberi tanda pada guci tersebut menggunakan kapur. Jadi saya mencoretkan kapur pada pinggiran guci, terus tersambung sampai ke lantai. Sehingga, saya dapat mengetahui jika guci tersebut bergeser saat garis tersebut sudah tidak saling berhimpitan. Kemudian, untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang mengganggu guci tersebut, saya mengunci kamar mandi, beserta mengunci kamar tersebut, kemudian saya menyimpan semua kunci beserta kunci cadangan di dalam ruang di lemari saya, dan saya kembali menggoreskan kapur di sekeliling tumpukan kunci, untuk memastikan saya tahu jika kunci tersebut bergeser.
Ibu saya sempat bertanya kenapa pintu kamar tersebut dikunci, saya menjawab sebaiknya dikunci saja daripada dibiarkan terbuka dan berdebu. Untungnya ibu saya dan orang lainnya di rumah tersebut tidak ada yang curiga dan membiarkan pintu kamar tersebut tertutup.
Keesokan harinya, sepulang sekolah, saya bergegas mengecek kunci tersebut, dan, tentu saja, kunci tersebut tidak bergeser sama sekali, tumpukan kunci masih pada posisinya, tidak ada yang melewati batas kapur.
Saya pun bergegas membuka pintu kamar kosong tersebut. Sesaat ketika saya membuka pintu kamar, saya merasa kamar tersebut terasa dingin, lebih dingin dari biasanya, terasa aneh, padahal pada saat itu cuaca sedang panas-panasnya (jujur, saat ini saya mengetik tengah malam di kamar saya, masih di rumah yang sama, punggung saya terasa dingin seketika dan merinding hebat). Saat saya membuka pintu kamar mandi, saya langsung kaget bukan main. Guci tersebut bukan hanya bergeser dari tempatnya, namun, bercak huruf S tersebut sudah hilang. Saya kaget dan takut luar biasa.
Saat itu saya tidak berani untuk menceritakan hal tersebut dengan orang tua, karena ayah saya dari dulu sudah sering berpesan untuk tidak bermain-main dengan guci tersebut, jangan meletakkan apa-apa di dalam guci tersebut atau apa pun, meskipun di satu sisi, ia tidak percaya takhayul yang melekat pada guci tersebut.
Namun pada saat makan malam, karena tidak tahan, saya menceritakan apa yang terjadi secara detail. Ayah saya sontak memarahi saya atas apa yang sudah saya lakukan. “Sudah papa bilang jangan main-main sama guci itu! Papa memang ga percaya apa-apa disitu tapi kita kan gak tau kalo emang ada apa-apa dari sononya!”
Ayah saya langsung mengecek guci tersebut, dan dia menyaksikan bahwa bercak huruf S itu telah hilang dari guci tersebut.
Malam itu saya merasa sangat bersalah, namun ayah saya juga tidak dapat berbuat apa-apa.
Semenjak saat itu, suasana kamar tersebut selalu terasa aneh, pintu kembali dibiarkan terbuka, meskipun lampu tidak pernah dinyalakan, meski itu malam hari.
Biasanya, saat saya tiduran di kamar dalam keadaan pintu terbuka dan menghadap langsung ke kegelapan kamar kosong tersebut, saya tidak merasakan apa-apa, biasa saja. Namun semenjak kejadian guci tersebut, saya selalu merasa tidak nyaman, baik pada siang yang terang maupun malam yang gelap. Saya selalu merasa seakan-akan ada sesuatu yang sedang memperhatikan saya di dalam kamar tersebut. Saya menceritakan perasaan saya ini dengan ayah, ibu dan abang saya, namun mereka hanya menjawab, bahwa mungkin itu hanya perasaan saya saja karena telah melakukan kesalahan. Hingga akhirnya pada suatu malam, saya dan abang saya sedang curi-curi waktu untuk bermain PS, saat itu tengah malam, orang tua saya juga sudah tidur, kami sengaja bermain tengah malam karena kami pada saat itu dilarang untuk bermain PS sesudah maghrib. Saat game sedang loading, suasana sangat hening, kami mendengar suara aneh dari luar kamar, seperti suara benda bergesekan, lebih tepatnya seperti suara orang sedang mencakar-cakar daun pintu. Awalnya saya mencoba mengabaikan, namun saat saya melihat ekspresi penasaran pada wajah abang saya, dia meletakkan joystick PS, dan mengajak saya untuk mengecek.
“Apa tuh dek?”
“Ngga tau bang, kayak ada yang cakar-cakar”
“Ih takutnya maling! Ayok kita periksa”
“Ah ngga mungkin..” jawab saya mencoba meyakinkan abang saya untuk tetap di kamar dan tidak mengecek ada apa.
Tetapi abang saya tetap bersikukuh untuk mengecek, dan apa boleh buat, saya pun ikut karena tidak berani kalau harus ditinggal sendirian.
Pada saat kami membuka pintu kamar, ternyata pintu kamar kosong tersebut tertutup, mungkin ibu saya yang menutupnya.
Saat itu abang saya menjadi lebih tenang karena dia merasa tidak ada apa-apa. Namun saat kami hendak kembali menutup pintu kamar kami, suara itu muncul lagi dan kali ini sangat jelas bahwa suara tersebut berasal dari kamar kosong. Saya takut luar biasa, mencoba teriak namun abang saya menutup mulut saya agar tidak membangunkan ayah dan ibu. Abang saya kemudian mencoba membuka pintu tersebut, namun tetap di saat iya menyentuh gagang pintu, terdengar suara langkah kaki di dalam kamar tersebut, suaranya seakan-akan berlari menjauh dari pintu. Abang saya sontak berlari kembali ke dalam kamar, menarik saya dan kami bersembunyi dibalik selimut. Malam itu kami sangat ketakutan.
Keesokan paginya, saya menceritakan semua yang terjadi, namun tetap saja, orang tua kami tetap hanya tertawa seakan saya berbohong. Apalagi pada saat itu abang saya hanya diam seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Pagi itu juga, saya, abang dan ayah saya beranjak menuju mobil, namun tiba-tiba kami mendengar suara ibu sedang berbicara diatas, sedangkan kami yakin saat itu kami bertiga dibawah, ibu saya diatas dan tidak ada orang lain selain kami ber-empat di dalam rumah.
“Dek, ngapain lagi tuh disitu, ayo cepat buruan papa udah nunggu dibawah..” kata ibu.
Saat itu kami bertiga saling bertatap muka, karena saat itu kami mendengar ibu seakan berbicara dengan saya, padahal saya sudah berada di bawah.
“Dek, cari apa sih disitu, kan mama udah bilang malamnya tuh barang-barang disiapin jadi pagi tinggal berangkat!” ibu saya kembali berbicara dengan suara yang lebih kuat.
Sontak saja saya langsung berteriak dari bawah,
“Kenapa ma? Ini adek udah mau berangkat loh” saya menyahut.
Tiba-tiba ibu saya langsung berlari ke bawah, dengan raut wajah yang sangat ketakutan.
“Sumpah..sumpah Demi Tuhan tadi mama liat adek di kamar itu!!” ibu berteriak.
“Mama apaan sih, dari tadi juga kami dibawah kok” Ayah saya menjawab.
“Nggak pa, mama tadi lagi beresin kamar anak-anak, mama lihat adek lagi di kamar kosong, bajunya sama kok, persis sama!” ibu saya kembali membantah.
Saat itu suasana sangat tidak enak, saya takut, sedangkan itu masih pagi.
Ibu saya akhirnya memutuskan untuk ikut mengantar kami ke sekolah. Untunglah suasana perjalanan yang awalnya hanya hening tersebut, berhasil dipecahkan karena candaan-candaan dari ayah saya.
Siang hari pada saat saya pulang sekolah (oh ya saya pulang sekolah menggunakan bus sekolah), saat itu hanya ada pembantu kami yang datang khusus untuk cuci-setrika, tidak ada ayah atau ibu, dan abang saya masih di sekolah untuk melanjutkan kegiatan ekstra kurikuler. Saya kembali melihat kamar kosong tersebut, mau tidak mau, karena kamar tersebut berada persis di depan kamar kami. Saya kaget, karena guci tersebut sudah tidak ada lagi disitu. Dan saat saya cek di ruangan lain, semua guci sudah hilang. Saat itu juga saya langsung menanyakan mba Wati, kemana perginya guci-guci tersebut. Mbak Wati mengatakan kalau tadi ia melihat ayah dan ibu pergi membawa guci tersebut.
“Ngga tau dek, tadi mbak liat mama sama papa bawa gucinya, denger-denger sih tadi kayaknya mau dibalikin ke rumah nenek..” ucap Mbak Wati.
Dan ternyata benar, saat ayah pulang, dia mengatakan kalau guci tersebut sebaiknya dikembalikan ke rumah nenek saya, dengan alasan bahwa tidak ada lagi ruang tersedia untuk memajang guci tersebut di rumah kami sekarang.
Saat itu saya merasa cukup tenang karena saya tidak perlu melihat guci itu lagi.
Namun, …
(to be continued ..)
No comments: