Ads Top

RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 17

PART 17 - ULAR

Saya terus-terusan mencoba menelepon kembali tapi tidak bisa. Tidak ada sinyal. Saya meletakkan telepon genggam di atas kasur. Tangan saya gemetar. Saya sudah kehabisan cara. Cara agar saya tidak ketakutan. Kali itu rasa takut saya sudah klimaks.

Hujan masih turun dengan derasnya. Suara angin dan hujan itu, membuat suasana lebih mencekam.

Saya duduk di kursi belajar, memindahkan telepon saya ke atas meja. Memandanginya, sampai ada sinyal, sembari berharap Pak Indra akan menelepon kembali. Saya melihat ke jendela. Jendela yang letaknya persis di sebelah meja itu. Astaga. Tepat seperti sebelumnya. Jendela itu gelap. Saat itu saya yakin bahwa jendela itu sedang ‘ditutupi’ oleh sesuatu.

Saya tidak tahan. Saya tidak berani untuk melihat jendela itu lebih lama. Saya tidak mau berada di kamar itu. Saya memutuskan untuk kembali ke lantai bawah untuk antisipasi jika terjadi sesuatu, saya bisa langsung bergegas keluar rumah.

Saya berjalan, melewati kamar orang tua saya. Saya mencoba mengintip ke dalam kamar itu, melihat ke jendela. Ya ampun. Semua jendela terlihat sangat gelap. Sepertinya mereka semua menutupi jendela-jendela rumah. Saya, terduduk di lantai. Bersandar ke dinding. Saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba saja, saya mendengar pintu di bawah terbuka dan terbanting. Ya, pintu depan rumah kami, memang dapat terbuka sendiri jika ditiup oleh angin yang kencang. Dan saya saat itu memang tidak mengunci pintu. 

Tanpa berpikir lama-lama, saya berlari ke bawah untuk segera menutup pintu itu.

Saya sampai di depan tangga, masih di lantai dua. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini. Semua lampu di lantai bawah mati. Gelap sekali di bawah sana. Tapi, saya harus menutup pintu itu. Saya pun berjalan menuruni tangga. Satu persatu anak tangga saya lewati, sembari mencoba menerangi jalan menggunakan cahaya dari layar telepon genggam. Masih di tengah-tengah perjalanan, saya terhenti. Ada sesuatu. Dia sedang berdiri di bawah sana. Tepat di anak tangga paling bawah. Dia seperti menunggu saya. Dia hanya berdiri tegak. Sosoknya hitam. Saya tidak bisa melihat wajahnya. Saya melawannya. Saya terus melihatnya, meskipun sebenarnya saat itu, saking takutnya, rasanya saya ingin muntah.

Tidak lama kemudian, sesuatu itu berjalan ke belakang, menjauh dari saya. Perlahan tapi pasti, saya melanjutkan perjalanan untuk menutup pintu. Saya sempat terpikir, apakah mungkin mereka sudah kembali masuk ke rumah ini. Apa yang terjadi. 

Benar saja, pintu itu memang sudah terbuka, dan sakelar utama untuk lantai bawah sudah turun. Saya tidak tahu apakah itu karena korslet atau memang ada yang mematikannya. Setelah menutup pintu itu, suasana masih gelap. Saya melihat ke jendela dan sudah tidak ada lagi yang menutupi jendela itu. Cahaya remang dari luar sudah kembali memasuki gelapnya ruangan. Saya berpikiran untuk meninggalkan rumah dan pergi ke rumah teman saya. Saya tidak tahan. Saya takut, jika memang ternyata mereka masuk ke dalam rumah.

Tanpa berlama-lama saya langsung mengambil kunci mobil, mengunci pintu rumah dan masuk ke dalam mobil. Saat saya sudah mengeluarkan mobil dari pekarangan rumah. Saya kembali melihat ke jendela rumah. Untunglah saat itu kaca jendela mobil saya bening, jadi saya bisa melihat keluar dengan jelas. Ya ampun. Ada seseorang di balik jendela rumah saya. Ya, dia di dalam rumah. Sosok itu hampir sama dengan sosok yang saya lihat sebelumnya, tapi kali ini lebih kecil. 

Tanpa berpikir lama-lama, saya tidak sempat lagi untuk menutup pagar. Saya langsung pergi mengendarai mobil dan menembus hujan.

Saya bahkan tidak terpikir lagi untuk menyalakan musik selama perjalanan. Saya sudah cukup jauh dari rumah. Saat itu sinyal di telepon genggam saya sudah muncul. Saya langsung menelepon Pak Indra. Untunglah dia mengangkat.
“Halo apa kamu baik-baik saja?” dia langsung menyerocos tanpa menyempatkan saya berbicara.
“Iya, pak, saya ini lagi di jalan mau ke rumah teman. Mereka, betul betul..”
“Kenapa kamu tinggalkan rumah??” beliau kembali memotong perkataan saya.
“Iya pak saya tidak tahan. Tadi ada sesuatu di dalam rumah itu. Maafkan saya pak, tapi saya tidak sanggup. Apa mungkin rasa takut saya kembali menguatkan mereka untuk kembali ke rumah?” saya bertanya.
“Astaga. Sudah, sekarang ini, sebaiknya kamu putar balik, dan kembali ke rumah itu.”
“Tapi, pak..”
“Sudah, kembalilah. Jangan biarkan mereka menang. Tunjukkan bahwa kamu tidak takut. Percayalah, kamu pasti bisa.”

Sebenarnya berat sekali rasanya jika saya harus kembali ke rumah itu. Tapi, sepertinya benar kata Pak Indra.

Saat hendak memasuki komplek. Saya berpapasan dengan mobil teman sekomplek saya yang hendak keluar. Ia membunyikan klakson, tanda bahwa dia sedang menyapa saya. Tak lama kemudian, teman saya itu, sebut saja namanya Tasya, dia menelepon saya.
“Haloo dari mana tuh malam-malam gini baru pulang?” ia berbasa-basi.
“Ha ha ha, enggak dari mana mana kok. Lo aja tuh malam-malam gini baru keluar.”
“Haha, iya nih bosen di rumah. Nih aku ama abang mau cari makan.”
“Yauda deh hati-hati di jalan ya, hujan deras nih.”
“Iya iya, anyway, salam ya sama om. Eh itu om apa tante sih?”
“Maksudnya? Mereka lagi di Jakarta kalii.”
“Loh? Jadi tadi yang di mobil siapa? Tadi aku liat ada yang duduk di belakang. Biasanya kan kalo lo nyetir, om ama tante selalu di duduk di belakang.”
“Serius?? Aku sendiri lho di mobil!” Saya berteriak.
“Iya, seriusan! Tanya aja nih abang aku. Beneran ada kok! Kaca mobil lo kan bening kayak aquarium.”

Ya ampun. Saya langsung mematikan telepon itu. Saya terdiam. Saya melihat ke kaca spion tengah, ke arah kursi belakang. Tidak ada siapa-siapa. Jadi siapa yang Tasya lihat tadi?

Saya merinding sejadi-jadinya sembari melanjutkan perjalanan ke rumah.

Setibanya di rumah, saya tidak memasukkan mobil. Mobil itu dibiarkan diluar. Saya duduk di ruang keluarga. Saya menyalakan TV dengan volume sekeras-kerasnya, dan menyibukkan diri dengan membaca buku yang terletak di atas meja.

Saya mencoba menelepon teman-teman untuk datang ke rumah, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mau karena tidak berani. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur saja.

Malam itu, saya bermimpi. Saya ingat betul mimpi itu. Saya bermimpi, saya terbangun dari tidur, ada seseorang yang berteriak memanggil-manggil nama saya dari luar rumah. Saya berjalan keluar dari kamar. Tepat setelah keluar dari kamar, saya melihat sosok lain berjalan menuju kamar kosong itu. Saya berjalan mengikutinya ke dalam kamar itu. Kali ini, sosoknya putih dan dia terlihat ramah dengan saya. Dia berbicara dengan bahasa aneh, tapi saya bisa memahami maksud dari perkataannya. Dia mengatakan bahwa dia tidak berniat mengganggu saya. Saya tidak perlu takut dengannya. Dia sudah selama ini memperhatikan saya dari jauh dan mencoba melindungi saya tapi tidak bisa. Saya bertanya kenapa. Dia kembali menjawab, belum saatnya. Masih di dalam mimpi itu, saya duduk di kasur kamar kosong itu dan tertidur diatasnya.

Pagi harinya, saya langsung kaget bukan main. Saya benar-benar berada di dalam kamar itu. Maka dari itu mimpi itu masih teringat dengan jelas dalam benak saya. Baru kali itu saya bisa tidur dan bangun di tempat yang berbeda. Dan kali itu pula, untuk pertama kalinya, saya tidak merasa takut sedikitpun berada di kamar itu.

Mimpi itu terasa aneh, tapi seolah memberi ketenangan dalam diri saya. Saat itu pula saya tersadar, selama ini saya sering sekali merasa sedang diperhatikan oleh sesuatu. Bahkan sejak dulu sekali, ketika saya masih kecil, bahkan sebelum kami pindah ke rumah ini. 

Mimpi itu kembali memberi pertanyaan besar ke dalam diri saya. Apa mungkin dia memang sudah ada di dekat saya selama ini.

Saya mencocok-cocokkan apa apa yang saya ketahui. Celah itu. Celah yang disampaikan pak Indra, celah yang sudah ada sejak saya lahir. Apakah mungkin celah itu ada hubungannya dengan sesuatu yang saya temui dalam mimpi semalam.

Saya pindah ke ruang makan sambil membuat roti dan teh untuk sarapan. Saya melihat telepon genggam, ada sms dari pak Indra, setengah jam yang lalu. Beliau akan mampir sebentar ke rumah saya pagi itu.

Tidak lama setelah saya membaca smsnya, ada suara ketukan pintu dan beliau sudah tiba di rumah saya. Begitu ia masuk, dia memperhatikan seisi ruangan dengan seksama.
Dia bilang bahwa dia hanya ingin mengecek keadaan saya, karena dia tidak bisa berlama-lama. Saya mengatakan bahwa saya baik-baik saja meskipun tadi malam merupakan saat-saat yang mengerikan.

Saya menceritakan semuanya, termasuk mimpi saya dan kejadian saya pindah saat tidur. Dia cukup kaget mendengar cerita saya. Beliau mengatakan, sosok yang saya lihat dalam mimpi itu adalah jin. Mengenai bahasa yang digunakan jin itu, beliau sempat bertanya apakah kira kira saya tahu itu bahasa apa, tapi saya tidak tahu. Beliau berkata, bahwa mungkin jin itu berasal dari belahan bumi lain. Saat itu beliau bersikeras untuk tidak mempercayai mimpi itu. Beliau yakin bahwa ada jin yang mencoba menjebak dan menjerumuskan saya, tidak tahu kenapa. Saya kembali menanyakan mengenai celah itu tapi dia tidak bisa menjawab banyak.

Saat saya sedang mengantarnya ke pintu depan, kami melewati lemari barang antik itu dan saya menceritakan tentang cerita saya dulu dengan keris di dalam lemari itu.

“Keris??” katanya.
“Iya, kenapa pak?”
“Hmm, kenapa kamu tidak bilang bahwa ada keris?”
“Iya, saya sudah cerita ke Pak Eri, saya pikir dia sudah cerita ke bapak.”
“Tidak, dia tidak cerita.”
“Emangnya ada apa dengan keris pak?”
“Kamu tahu, keris itu, biasanya disimpan oleh orang-orang yang punya pegangan tertentu.”
“Maksudnya?”
“Iya, saya tidak tahu ya, tapi kalau dari cerita kamu, keris ini bisa beprindah dan bergerak, saya yakin bahwa keris ini bukan keris biasa. Ada sesuatu dibalik keris ini.”
“Iya pak saya juga berpikir demikian.”
“Apa kamu tahu mengenai sejarah keluarga kamu?”
“Hmm, sedikit.”
“Iya, selain bahwa kamu adalah keturunan langsung dari keraton?”
“Sepertinya tidak lebih dari itu.”

Beliau hanya diam. Dia tidak melanjutkan pembicaraan. Dia seperti berpikir.

“Ya sudah, tidak apa-apa. Saya pergi dulu ya. Ingat pesan saya, jangan takut.”

Beliau pun pergi meninggalkan saya dan saya harus siap-siap untuk pergi kuliah.

Saya saat itu tidak berani untuk masuk ke mobil saya karena kejadian semalam. Memang beliau berpesan untuk tidak takut, tapi, apa daya, saya memang tidak berani. Akhirnya saya justru pergi menggunakan mobil orang tua saya.

Sepanjang hari, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk termenung sambil memikirkan semuanya. Rasanya, sudah terlalu lama saya terus-terusan memikirkan ini semua. Bertahun-tahun lamanya. Saya rasa sudah saatnya saya mencari tahu lebih dalam mengenai semua ini. Saya bukan lagi anak kecil.

Malam harinya, ada telepon dari pak Indra. Saat itu saya sedang berada di kafe bersama teman-teman saya.

“Ada yang perlu bapak sampaikan.” Beliau berkata.
“Iya, apa itu pak.”
“Sebenarnya, tadi pagi itu, saya tidak buru-buru pulang.” Pungkasnya.
“Jadi?”
“Ya, saya tidak bisa. Sejak saat saya hendak mengetuk pintu rumah kamu, saya sudah merasa ada yang aneh. Saat kamu membuka pintu, saya semakin yakin. Ada, mereka ada di dalam rumah kamu. Tapi mungkin tidak semuanya.”
“Ya ampun. Apa ini pertanda buruk? Kenapa bapak tidak bilang dari tadi?”
“Maaf saya tidak bisa. Mereka sangat tidak suka dengan kehadiran saya. Saya tidak ingin semakin memperburuk keadaan. Sepertinya saya tidak bisa lagi sering-sering ke rumah kamu, jika begini keadannya.”
“Kenapa pak? Kenapa?”
“Tenanglah, semua ini dari kamu. Saya yakin sekali. Semua karena kamu. Mereka mencoba menguasai kamu. Semuanya dari kamu, kamulah yang harus bertindak agar mereka berhenti melakukan semuanya, bukan saya. Semakin saya bertindak, semakin mereka melawan. Ingat itu.”
“Baiklah pak kalau memang begitu keadannya. Tapi bukan berarti urusan kita selesai sampai disini kan. Kita masih bisa bertemu diluar jika ada keperluan.”

Sesungguhnya saat itu saya kesal sekali. Saya sudah muak. Muak dengan semuanya.

Malam itu saya pulang ke rumah. Saya membuka pintu dengan kasar dan saya berteriak. Saya berteriak ke udara. Saya marah kepada ‘mereka’. Saya berteriak agar mereka berhenti dan pergi dari kehidupan saya.

Rasanya lega sekali setelah saya melakukan tindakan bodoh itu. Tapi, saya merasa ada energi lain yang begitu kuat hadir di ruangan itu. Saya kembali berteriak.

“Kenapa?? Nggak suka?? Marah? Kalian pikir kalian aja yang marah??”

Saat itu pula. Jelas sekali. Nyata sekali. Ada yang menarik rambut beberapa helai rambut di kepala saya. Rasanya ngilu sekali. Saya berdiri. Saat yang bersamaan, saya mendengar suara kelereng jatuh dan memantul-mantul dari lantai atas. Diikuti dengan suara langkah kaki, dan suara ketukan-ketukan dari jendela, seakan ada yang melempar kerikil. Ya, semua itu, berdasarkan apa yang saya baca, merupakan tanda-tanda kehadiran jin di dekat kita.

Meskipun takut, saya lawan itu semua.

“Mana? Sini kalau berani!!” saya kembali berteriak.

Astaga, tiba-tiba, saat itu, punggung saya terasa sangat dingin. Saya merasakan ada sesuatu yang mendekap saya dari belakang. Nafas saya terasa sesak. Pandangan saya terasa kabur. Saya pusing. Ya Tuhan, sepertinya saya telah melakukan kesalahan. Ada suara orang tertawa dengan halus dari belakang saya. Saya membalikkan badan, kemudian suara itu kembali muncul dari belakang saya. Suara itu, sungguh mengganggu ketenangan jiwa saya saat itu.

Saya melihat ke jendela. Ada dia disana. Anak itu. Anak perempuan itu. Dia yang pernah saya temui di danau kompleks. Dia yang mengaku tinggal di rumah yang sama dengan saya. Saya bisa melihat dengan jelas wajahnya. Dia menangis. Dia kemudian berjalan mundur dan menghilang.

Saya masuk ke kamar. Saya berpura-pura berani. Saya melihat ke kaca ventilasi diatas pintu kamar. Saat itu pula, kejadian yang pernah terjadi dulu sekali, kembali terjadi. Ya, tidak ada cahaya yang melewati kaca itu, padahal cahaya masuk dari celah bagian bawah pintu. Saat itu pula, sesuatu yang menutupi ventilasi itu bergerak pergi.

Saya mengambil gulungan aluminium foil dan menggunakannya untuk menutup kaca ventilasi itu. Saya tidak mau lagi melihatnya di balik ventilasi itu.

Selesai saya menutup ventilasi kamar, ada suara mengetuk pintu sembari memanggil nama saya. Suara itu, itu suara ayah saya. Aneh sekali. Saya lawan itu semua dan berlari menuju lantai bawah untuk membuka pintu. Namun, tentu saja, tidak ada siapa-siapa di balik pintu itu, melainkan seekor ular. Seekor ular berukuran sedang berwarna hitam pekat sedang merayap di teras rumah saya.

Saya spontan kembali menutup pintu. Saya pergi menghindar dari pintu. Saya menelepon pak Indra. Beliau mengajak saya untuk bertemu diluar, malam itu, jika saya bisa. Tentu saja saya menyetujuinya.

Saat saya hendak keluar rumah, ular itu sudah tidak ada lagi. Ular itu sudah pergi entah kemana.

Malam itu, saya pergi menjumpai pak Indra di warung kopi. Beliau terlihat serius.

“Duduklah. Ada yang perlu saya sampaikan.”
“Iya pak, saya juga ingin menyampaikan sesuatu.”
“Baik, kamu saja duluan.”
“Saya sepertinya melakukan kesalahan. Saya melawan mereka. Saya berteriak kepada mereka dan menantang mereka.”
“Lalu?”
“Ya, mereka menyerang saya kembali. Tapi kali ini, lebih parah. Bukan hanya suara-suara aneh, bahkan rambut saya terasa ditarik-tarik, da nada ular di depan rumah saya.”
“Nah itu dia.”
“Apa itu pak?”
“Begini. Saya belakangan ini memang fokus ke masalah kamu. Baru kali ini saya temui masalah yang begitu rumit di rumah seseorang. Kita sudah melakukan banyak cara, tapi sepertinya tidak berhasil. Semakin lama, semakin banyak yang terjadi, semakin banyak yang kamu sampaikan, sepertinya, ini semua bukan berasal dari rumah kamu.”
“Jadi pak?”
“Ya. Saya yakin sekali. Saya sudah lama kenal dengan ayah kamu juga. Kali ini saya berurusan dengan kamu. Sejak awal, saya sudah merasa ada yang aneh dengan kalian berdua. Ada sesuatu pada diri kalian.”
“Apa pak?”
“Saka. Jin saka.”
“Apa itu pak?” Saya merinding.
“Semua ini, bukan karena rumah kamu. Bukan karena ada jin di rumah kamu. Karena, dimanapun itu, di rumah siapapun, di tempat apapun, ada jin di dalamnya.”

(to be continued…)

No comments:

Powered by Blogger.