Ads Top

RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 16

PART 16 - MEREKA PERGI

Saat pak Indra tiba di rumah, dia tidak banyak berbasa-basi lagi. Dia sudah mendengar cerita saya melalui telepon sebelumnya. Dia datang dengan tangan kosong. Saya sempat berpikir apakah mungkin dia datang sambil membawa bunga-bunga atau air-air tertentu. Ternyata tidak. Ya, saya baru ingat kalau dia bukanlah dukun.

“Begini, nak. Sepertinya sekarang ini saya sudah bisa mencoba membuat mereka pergi dari rumah ini. Meski mungkin, akan cukup sulit.” Pak Indra berkata.
“Baiklah pak, saya siap.”
“Tapi.. saya tidak bisa berjanji kalau mereka akan benar-benar pergi. Mereka cukup kuat. Dan lagi, jika mereka pergi dari sini, bukan berarti mereka tidak bisa kembali lagi suatu saat.” Pungkasnya.

Tidak lama kemudian, dia memasuki rumah. Seperti biasa, saya menunggu di luar rumah. Bukan di teras, melainkan diluar pagar. Begitulah yang diarahkan oleh beliau. Saya menurutinya. 

Jantung saya berdegup kencang. Saya sempat berpikir apakah sebaiknya rencana ini saya batalkan saja. Tapi, tentu saja saya melawan semua bisikan-bisikan itu.

Cukup lama, saya menunggunya diluar sana. Saya tidak tahu apa yang dilakukannya. Saya duduk di pinggiran jalan selama kurang lebih dua jam, sambil merokok dan sesekali melirik ke rumah.

Akhirnya, dia keluar dari dalam rumah. Wajahnya terlihat sedikit tegang. Saya mencoba berjalan menuju pintu depan rumah, tapi dia menghentikan langkah saya.

“Tunggu. Jangan jalan kesini dulu.”
“Kenapa, pak?” Saya bertanya dengan sedikit takut.
“Saya.. baru saja memagari rumah kamu.”
“Maksudnya pak?”
“Iya. Saya tidak bisa benar-benar mengusir mereka. Ini memang tempat mereka.”
“Ya ampun jadi gimana pak?”
“Makanya, saya cukup memagari rumah ini saja. Mereka masih berada di pekarangan rumah ini. Saya memagari pintu-pintu rumah kamu yang berhubungan dengan area luar rumah.”
“Lantai dua juga pak?”
“Iya. Semuanya, dari mulai pintu depan, pintu samping, pintu atas, pintu balkon.”
“Syukurlah. Jadi apa sekarang mereka di dalam rumah?”
“Saya rasa tidak. Mereka semua di luar rumah ini.”
“Jadi, kenapa saya tidak bisa jalan ke dalam?”
“Saya ragu. Apa kamu tidak ingat?”
“Maaf, ingat apa ya pak.”
“Kamu, dan kamu yang lain.”
“Maksud bapak?”
“Iya, kamu. Kamu dan sesuatu yang selalu ada di dekatmu.”
“Astaga.” Saya terdiam sejenak.

Jika memang rumah itu telah dipagari, dan ada jin lain yang selalu ikut dengan saya. Apa yang terjadi, jika saya melangkah melewati pintu rumah kami.

“Nak, kamu harus tahu, mereka yang tidak bisa melewati ini adalah mereka yang tergolong jahat. Kamu tahu kan, jin juga ada yang baik dan jahat. Jika ada diantara mereka yang dari golongan jahat dan sering mengganggu manusia, contohnya jin yang dikirimkan untuk santet, mereka tidak bisa melewati pagar itu. Pagar ini, tidak akan bertahan selamanya. Semuanya tergantung kalian, penghuni rumah ini. Karena mereka tidak akan datang jika tidak ada yang memancing mereka. Dan kamu harus tetap ingat, bagaimanapun itu, jin memang ada dan hidup di sekitar kita.”
“Jadi, bagaimana dengan….dia?”
“Saya tidak tahu. Saya tidak tahu. Maka dari itu, sejak awal, saya sudah menyarankan kamu untuk berada di luar rumah.” Imbuhnya.
“Bolehkah saya masuk ke dalam rumah? Apa yang bakal terjadi pak?”
“Sudah saya bilang. Saya juga tidak tahu. Tapi, sebaiknya kita masuk saja dulu. Dan, perlu kamu ketahui, setiap manusia memang memiliki jin pendamping. Jin itu sifatnya mutlak adanya dan dia tidak akan mengganggu hidup kita dalam bentuk apapun. Tapi, jika kamu merasa ada intervensi atau gangguan dari sesuatu yang lain, bisa jadi itu adalah jin lain yang berusaha untuk menguasai kita.”

Saya berjalan, dengan gugup, ke dalam rumah. Ya Ampun. Saya terhenti di pintu masuk rumah kami. Saya tidak bisa melaluinya. Saya, tidak bisa. Benar-benar tidak bisa. Ada seusatu yang menahan langkah saya. Tenaganya begitu hebat. Badan saya terasa kaku. Bau itu, bau belerang itu, kembali menusuk indera penciuman saya. Seluruh badan saya terasa dicengkram.

“Kuatkan dirimu, nak.” Pak Indra kembali menguatkan saya.
“Saya.. saya tidak bisa.” Saya mengeluarkan air mata.
“Percayalah. Ini semua berasal dari dalam diri kamu. Jika kamu yakin, kamu yakin akan pertolongan Tuhan, yakinlah, kamu bisa melaluinya.”

Saya meneteskan air mata. Jantung saya berdegup kencang. Saya mengerahkan tenaga saya. Dan akhirnya, langkah kaki saya masuk ke dalam rumah. Badan saya terasa panas. Panas sekali. Saya berteriak. Dan, kembali lagi, saya tidak ingat apa-apa. Yang saya ingat adalah, saat itu saya sudah direbahkan diatas sofa. Pak Indra sedang komat-kamit, berdoa di depan saya.

“Sekarang, kamu tidur saja disini.” Beliau berbisik.

Rasanya saya masih sulit untuk berkata-kata. Rasanya sangat melelahkan. Lebih melelahkan dari saat saya kesurupan sebelumnya.

“Saya tahu masih banyak pertanyaan di benak kamu. Tapi bukan sekarang saatnya. Besok pagi-pagi saya datang lagi kesini ya.”

Saya hanya diam. Dia pergi meninggalkan saya sendiri di rumah itu. Saya tidak peduli lagi. Sesungguhnya saat itu saya sangat haus, tapi tenaga saya tidak cukup lagi untuk bangkit dari sofa itu, dan akhirnya saya terlelap, tanpa sempat mengunci pintu rumah.

Benar saja, di pagi harinya, pak Indra sudah kembali ke rumah saya. Saya dibangunkan olehnya. Pagi itu, saya ingat sekali. Udara di rumah saya terasa sangat-sangat berbeda. Auranya terasa lebih hangat. Saya bernafas lebih lega dari yang pernah sebelumnya.

Pak Indra menyodorkan saya segelas air putih. Beliau juga membawakan saya makanan untuk sarapan. Selama kami sedang makan, saya tidak banyak bertanya. Dia juga tidak banyak membahas mengenai apa yang terjadi semalam. Dia bercerita panjang lebar mengenai pengalaman-pengalamannya yang kocak. Dia sedang mencoba merubah suasana agar lebih menyenangkan.

Selesai makan, kami duduk-duduk di ruang tamu.

“Jadi, pak, saya masih mau nanya.”
“Ya, apa itu?”
“Maaf pak, selama ini, mereka berada dimana?”
“Maksud kamu? Di rumah ini?”
“Iya.”
“Hmm, kamu siap mengetahuinya?”
“Iya lah pak. Mereka tidak bisa masuk lagi kan?”
“Begini. Saya kan sudah bilang sebelumnya, jin yang jahat dan usil lah yang tidak bisa melewati pagar itu. Sebenarnya tidak ada itu pagar-pagaran. Semuanya kekuatan doa dan kepercayaan. Saya hanya memberinya istilah pagar agar lebih mudah dimengerti. Kamu juga harus tahu, dengan adanya pagar itu, bukan berarti suatu saat mereka tidak bisa melewatinya lagi.”
“Maksudnya? Jadi gimana?”
“Ya, saat ini, mereka tidak bisa masuk karena mereka merasa tempat ini sudah lebih ‘bersih’ dari sebelumnya. Memang sebelumnya ada satu kamar yang mereka tidak sukai di rumah kamu ini. Ya, kamar orang tua kamu. Mungkin selama ini kamar itu memang bersih, karena aura dari orangtua kamu sendiri. Jika hari sudah menjelang maghrib, tutuplah pintu-pintu termasuk pintu kamar, nyalakan lampu dan jangan berkeliaran di luar.”
“Jadi, maaf nih pak saya masih belum fokus. Intinya saja, gimana pak.”

Saya tidak bisa mengingat dengan jelas seperti apa ia percakapan itu. Tapi, saya ingat, inti dari perkataannya. Intinya, kami tidak boleh lagi merusak aura positif di rumah itu. Sebelumnya, bukan salah kami jika mereka hadir disitu. Mereka hadir bukan karena kami berbuat maksiat dan menyebarkan aura negatif, melainkan karena mereka memang sudah ada disitu terlebih dahulu. Mereka tidak suka dengan kehadiran kami. Pak Indra juga tidak tahu pasti, mereka tidak suka karena kami membawa aura positif atau karena ada sesuatu yang lain dari kami yang membuat mereka tidak suka. Maka dari itu, mereka mengganggu kami sejadi-jadinya. Dan, mereka menyerang saya. 

“Mereka tinggal di tangga rumah ini, tangga depan maupun tangga belakang. Ada yang menyendiri di kamar tidur bawah. Ada yang hinggap di lemari kamar kamu dan kolong tempat tidur kamu. Mereka juga beranak-pinak di setiap kamar mandi di rumah ini. Untuk kamar itu, memang benar. Di sanalah mereka bersemayam. Saya tidak tahu pasti seperti apa rupa mereka. Tapi jumlah mereka cukup banyak.”

Perkataan itu. Begitu mengerikan. Saya sebenarnya tidak siap mendengarnya. Tapi, saya bertanya dan beliau menjawab.

Saya sempat bertanya kepada Pak Indra, kenapa harus saya. Beliau menjawab bahwa, ada suatu ‘celah’ pada diri saya. Saya tidak mengerti maksudnya celah itu. Dia hanya menjelaskan, bahwa ada celah yang ada pada diri saya, celah di batin saya yang bisa dimasuki oleh golongan jin. Saya juga bertanya kenapa bisa saya memiliki celah itu. Beliau berkata, mungkin celah itu sudah ada sejak saya lahir. Beliau juga berprasangka bahwa celah itu sudah bersifat turunan.

“Ya sudah, kamu ingat saja baik-baik prinsip utamanya. Jangan merusak aura dari diri kamu sendiri. Jangan berpikiran negatif. Jangan berprasangka buruk terhadap golongan mereka. Kamu juga jangan sering termenung dan menyendiri, baik di rumah ini maupun di tempat lain.” Pak Indra menasehati saya, sembari melihat-lihat ke sekeliling ruangan.
“Tapi pak, saya masih belum mengerti mengenai celah di batin saya.”
“Sudahlah, tidak perlu kamu pikirkan terlalu dalam. Takutnya kamu justru semakin terjerumus.”

Pagi itu dia tidak bisa berlama-lama di rumah saya. Dia juga punya keluarga. Saya juga tidak bisa memaksanya untuk tinggal lebih lama.

Saya mencoba sekuat tenaga memahami apa yang terjadi dengan saya dan rumah ini. Sampai saat itu, saya menyimpulkan bahwa memang semuanya berasal dari rumah ini, meskipun ada ‘celah’ pada diri saya.

Benar saja, hari itu, rasanya saya tidak ada berbicara sendiri. Saya hanya bergumam dalam hati, dan menjawabnya sendiri, tapi itu adalah jawaban dari hati kecil saya sendiri, bukan bisikan lain seperti yang sebelumnya saya alami. Saya menyibukkan diri dengan membaca-baca buku, bermain piano dan lain-lain, tapi, akhirnya saya tetap merasa kesepian. 

Awalnya saya tidak berani membuka pintu dan keluar rumah, karena yang saya tahu, mereka ada di luar rumah ini. Saya takut jika mereka merasa dendam dan marah. Tapi, saya menepis semua prasangka itu. Saya tanamkan baik-baik, saya tidak boleh berpikir aneh-aneh lagi, agar saya tidak merusak aura positif ini.

Saya akhirnya memutuskan untuk pergi dengan teman-teman saya. Saya juga menggunakan kesempatan itu untuk menceritakan kepada teman-teman terdekat saya mengenai ‘pengusiran itu’. Mereka turut senang. Bahkan ada seorang dari teman saya yang mengaku bahwa wajah saya terlihat berbeda, lebih cerah dari sebelumnya.

Sudah berminggu-minggu sejak hari ‘pengusiran’ itu. Rasanya ingin sekali saya bercerita dengan orangtua dan abang saya mengenai kejadian itu. Tapi tidak mungkin, saya takut mereka marah. Saya takut mereka menganggap saya melakukan sesuatu diluar batas. Semenjak hari itu pula, ada sesuatu yang sedikit berbeda dengan ayah saya. Entah kenapa, saya jadi lebih sering memperhatikan setiap gerak-geriknya. Tidak tahu kenapa, Begitu pula dengannya, saya sadar akan hal itu. Ada perasaan takut yang begitu mendalam di dalam benak saya. Saya takut kehilangan ayah saya. Entah kenapa. Setiap hari, setiap pagi, jika saya bangun tidur, saya pasti bergegas untuk pergi ke kamarnya dan melihat dia, melihat apakah dia masih bernafas atau tidak. Saya tidak tahu kenapa, tapi itulah yang saya lakukan. Aneh.

Ibu saya juga sepertinya merasa ada perubahan dalam diri saya. Pernah, suatu pagi, dia memuji saya, karena belakangan saya terlihat lebih ceria dan lebih ‘hidup’. Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, saya kembali merasa hidup seutuhnya.

Seperti biasa, orang tua saya harus kembali ke ibukota untuk melihat abang saya dan saya ditinggal sendiri di rumah. Saya tidak keberatan. Mereka akan pergi selama seminggu. Kala itu musim hujan sedang melanda. Hari itu, setelah mengantar mereka ke bandara, saya tidak bisa tenang. Hujan sedang turun dengan derasnya. Ya, perasaan itu, perasaan takut kehilangan mereka terasa begitu kuat. Saya takut ada sesuatu yang terjadi. Saya paranoid. Tapi akhirnya, mereka menelepon saya bahwa mereka sudah tiba dengan selamat. Untunglah.

Pada dua malam pertama mereka pergi, teman saya menginap di rumah. Seharusnya mereka berjanji untuk menginap selama satu minggu, sampai orang tua saya kembali pulang. Tapi, pada malam kedua, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing.

Ya, saya marah dengan mereka. Saat itu, saya masih ada urusan di kampus dan mereka masih di rumah saya. Setibanya saya di rumah, saat itu sudah lewat maghrib. Mereka baru saja menonton film horror di lantai bawah. Dan lebih hebatnya lagi, mereka malah meniru-niru yang mereka lihat di film itu, seperti memanggil jelangkung, tapi versi yang lain. Saya tentu marah sekali. Mereka membiarkan pintu depan terbuka. Saya ingat, pak Indra pernah bilang, kalau saat hari sudah mulai gelap, tutuplah pintu dan nyalakan semua lampu. Mereka mengaku salah dan memutuskan untuk pulang. Tapi, saya sudah membeli beberapa bungkus mie instan untuk makan malam. Jadi, mereka tidak bisa langsung pulang.

Malam itu, sebelum mereka pulang, kami sempat sibuk memasak makan malam sendiri di dapur. Ya, dapur itu, dapur yang terletak di bawah tangga. Di depan tangga itu, juga terdapat pintu samping yang menghubungkan area luar dan dalam rumah. Malam itu hujan kembali turun dengan derasnya. Awalnya, kami berjanji untuk saling membantu dalam acara masak-memasak. Tapi, karena kami hanya memasak mie instan, tidak perlu banyak bantuan. Akhirnya tetap saya yang sibuk sendiri dan teman saya yang lain hanya melihat-lihat saja. Pada saat itu, teman saya Davi (nama samaran), dia terlihat aneh. Dia terlihat ketakutan. Meskipun dia sedang ikut menemani saya di dapur, matanya, berkali-kali melihat ke arah pintu samping itu.
“Liat apa sih?” Saya bertanya.
“Ah, enggak apa-apa nggak ada.” Dia menjawab.
“Gak usah aneh-aneh ya. Gak lucu.”
“Iya, iya. Tapi… boleh jujur gak?”
“Apalagi sih.”
“Itu, kok kayaknya ada yang ngeliatin dibalik pintu itu ya.”
“Dih, kambuh lagi nih gila nya.”
“Hmm apa perasaan aku aja ya.”

Sebenarnya, saat itu saya takut. Takut sekali. Karena yang saya tahu, ‘mereka’ tidak bisa melewati pintu rumah. Jika Davi melihat sesuatu dibalik pintu, apakah mungkin itu ‘mereka’?

Akhirnya, setelah makan malam, mereka pulang. Ya, meskipun sedikit keberatan, tapi ya sudahlah saya tidak bisa memaksa mereka. Saya mengerjakan tugas kuliah saya di ruang makan, ditemani gemuruh petir dan hujan. Dari meja makan, saya bisa langsung melihat jendela depan rumah, yang menghadap ke taman. Rasanya, saat itu, gelap sekali diluar sana. 

Sembari mengerjakan tugas, kilat menyambar beberapa kali, menerangi ruangan selama sepersekian detik. Saya tersadar, saat kesekian kalinya kilat menyambar, kenapa dari arah jendela luar itu, tidak ada cahaya sama sekali. Aneh.

Awalnya saya mengabaikan itu semua. Saya tidak boleh merasa takut. Saya harus menepis itu semua. Tapi, kilat kembali menyambar dan lagi, tidak ada cahaya yang menembus jendela itu.

Hari semakin malam, saya mulai bosan dengan tugas-tugas itu dan memutuskan untuk memainkan beberapa lagu di piano. Saat itu hujan masih deras sekali dan saya rasa suara piano saya tidak akan mengganggu tetangga. 

Posisi piano lebih dekat dengan jendela itu. Saya memainkan piano dengan syahdu, sampai, ada suara ketukan halus dari kaca jendela itu. Ya Ampun. Saya tidak berani. Saya sudah mencoba sekuat tenaga, tapi saya takut. Tetap takut. Saya menoleh ke arah jendela. Tidak ada apa-apa. Tapi, jendela itu benar-benar gelap sekali. Padahal posisi saya tidak jauh dari jendela itu. Seharusnya, segelap apapun itu diluar, pasti masih terlihat sesuatu diluar sana, apalagi ada lampu jalan yang menerangi. 

Saya terus memperhatikan ke arah jendela. Ya Ampun, benar-benar gelap. Tidak ada cahaya sama sekali. Kaca itu seperti menghitam. Hitam pekat. Saya berjalan perlahan menuju jendela itu. Rasanya langkah saya seperti melayang. Saya takut.

Saya berdiri, tepat di depan jendela itu. Saya mendekatkan wajah saya ke kaca. Gelap. Gelap sekali, benar-benar tidak ada cahaya sama sekali dari luar sana. Jarak wajah saya ke kaca tidak sampai sejengkal. Saya memperhatikan dengan seksama. Saya membelalakkan mata. Tidak ada. Tidak terlihat apapun. Saya hanya melihat pantulan saya sendiri di kaca itu. Kaca itu seakan tertutupi. 

Saya terus memperhatikan kaca, melihat pantulan wajah saya sendiri. Saat sedang memperhatikan, ya ampun, Ya Tuhan. Ada mata lain yang sedang melihat saya. Gelap sekali. Dia memperhatikan saya dari luar sana. Jaraknya begitu dekat dari kaca. Badan saya kaku membatu. Tiba-tiba saja, ada sesuatu, tangan yang hitam legam, menyentuh kaca itu. Saya betul-betul terdiam. Jelas sekali bentuknya. Saya terus menatapnya. Kemudian dia memukul kaca itu dengan sangat keras dan saya berteriak sambil mundur. Di saat saya sudah menjauh, saya tetap melihat ke jendela itu. Kali ini, terlihat jelas. Ya Tuhan. Banyak sekali. Mereka banyak sekali. Mereka semua berdiri di balik kaca itu, dibawah hujan yang deras. Mereka menutupi jendela itu.

Saya lari terbirit-birit menuju kamar saya. Saya hampir menangis. Sembari berlari, saya melewati semua saklar di rumah itu dan menyalakan semua lampu. Saya juga mengeraskan volume TV. Setibanya di kamar, saya menelepon pak Indra. Beberapa kali saya menelepon dia sampai dia menjawab telepon saya. Saya berbicara dengan terbata-bata, saya panik. Beliau hanya menyarankan saya, untuk melawan rasa takut. Jangan berpikir macam-macam. Beliau mengatakan, mereka sedang mencoba menjebak saya. Mereka ingin kembali memasuki rumah ini. Belum sampai dia selesai berbicara, telepon itu terputus.

(to be continued...)

No comments:

Powered by Blogger.