Ads Top

RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 15

PART 15 - TERPURUK

Saya membuka pintu dan mempersilahkan dia masuk. Saat itu orang tua saya belum tiba di rumah, sedangkan ia perlu bertemu dengan orang tua saya. Pak Eri namanya (nama samaran).

Kami duduk di ruang tamu, sambil menunggu orang tua saya pulang. Entah kenapa, sejak awal, saya memang tidak suka dengannya. Saya tidak berani memandang wajahnya. Saya tidak suka melihat matanya. 

Saat itu kami hanya diam, saya duduk di depannya. Dia terus melihat saya. Saya merasa gelisah.

“Kamu, kenapa? Kalau ada yang mau dikerjain, nggak apa-apa, saya duduk sendiri aja.”
“Oh, enggak apa apa kok, sebentar lagi juga kayaknya mama sama papa pulang”. Saya menjawabnya, tanpa melihat wajahnya.
“Kamu kok dari dulu aneh sendiri ya?” dia bertanya. Rasanya pertanyaannya sangat frontal.
“Aneh bagaimana??” Saya bertanya dengan nada sedikit tinggi. Saya tidak suka.
“Iya, kamu kok nggak pernah berani melihat saya? Kamu kok selalu menghindar dari saya?”
“Ah, saya nggak tahu menahu, pak. Nggak peduli.”
“Tuh kan, kamu kok kayaknya nggak suka ya sama saya.”
“Perasaanmu aja kali ya??” Saya mulai agak kasar dengannya. Spontan.
“Hahaha. Saya tahu. Saya tahu.” Katanya
“Tahu apa?? Gak usah sok tahu ya.”
“Iya. Saya tahu. Bukan kamu. Bukan kamu, yang lagi bicara sama saya sekarang ini.”
“Bapak halusinasi ya? Ngakunya religius, pemuka agama, tapi malah kayak gini.”

Saya secara spontan membencinya dengan amat sangat. Dia, mengetahuinya. Dia tahu, saya tidak sendiri.

“Kamu, sekarang tenang. Itu bukan kamu. Coba sekarang kamu lawan rasa benci itu. Sudahlah tidak usah ditutup-tutupi. Saya tidak akan cerita ke siapapun.” Imbuhnya.

Saya seperti dihipnotis. Saya menuruti perkataannya. Saya mencoba menenangkan diri.

“Tatap mata saya, sebentar saja. Saya akan bantu kamu.” Dia berkata.

Saya menatap matanya. Ya Ampun, saya tidak sanggup. Saya tidak bisa. Di saat itu pula, dia membacakan doa-doa yang saya sendiri saat itu tidak mampu mendengarnya. Ternyata saat itu saya tidak sadar, saya sedang menutup telinga saya serapat-rapatnya. Saya tidak sadar sedang melakukannya. Tidak lama kemudian, saya berteriak meronta-ronta. Saya marah, saya berteriak. Rasanya semua urat dan syaraf saya menegang begitu hebat. Kemudian, Pak Eri, beliau memegang kepala saya. Saat itu pula saya terduduk dan melemas.

“Sulit.” Dia berkata pelan.

Saya hanya diam. Rasa amarah yang membara itu sudah hilang. Badan saya terasa berat.

“Nak, kamu ini, sudah lama sekali dihinggapi mereka.”

Saya kembali diam. Dan beliau mengangkat saya ke sofa. Dia menyodorkan air putih yang sebelumnya saya suguhkan untuknya.

“Minumlah, berdoalah kepada Tuhan, mohon perlindunganNya.”
“Tolong, pak.. saya tidak bisa begini. Saya nggak sanggup.”
“Sudahlah. Saya janji akan bantu kamu, tapi mungkin tidak secepat itu.”
“Baiklah, pak. Jangan sekarang. Saya tidak mau orang tua saya tahu. Saya tidak mau melibatkan mereka.”
“Loh memangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa pak, tolonglah, berjanjilah jangan cerita ke mereka.”
“Baiklah. Mulai sekarang, cobalah untuk lebih mendekatkan diri ke Tuhan. Lawan itu semua. Nanti di lain waktu, saat ada kesempatan. Saya akan mencobanya lagi.” Pungkasnya.

Malam itu, kepala saya terasa berputar-putar. Saya tertidur di sofa ruang keluarga, meninggalkan bapak itu sendirian. Ya, saya mengakuinya, selama ini, saya tidak suka dengan orang-orang religius. Saya tidak suka topik pembicaraan yang berbau religius. Saya tidak suka beribadah. Saat itu pula saya yakin, ada sesuatu yang menghalangi saya. 

Semenjak saat saya berjumpa dengannya, dan dia mencoba melakukan ‘sesuatu’ kepada saya, dalam rangka ‘menolong’ saya, saya bisa, melawan rasa benci untuk bertemu dengannya. Karena saya yakin dengannya. Setelah itu, saya selalu ikut nimbrung tiap kali dia datang ke rumah. Agar saya terbiasa melihatnya dan mendengar suaranya. Meskipun tetap ada rasa benci yang teramat sangat di dalam diri saya setiap kali saya berada di dekatnya. Tapi, perlahan tapi pasti. Saya mulai terbiasa untuk berjumpa dan berbicara dengannya.

-----

Sudah cukup lama sejak saat itu. Tanpa terasa, saat itu saya sudah akan memasuki kuliah. Awal-awal kuliah merupakan masa yang cukup sulit. Saya harus terpisah-pisah dengan teman-teman saya karena mereka banyak yang melanjutkan kuliah di luar kota, luar provinsi, dan luar pulau. Termasuk Maya. 

Awal-awal kuliah, saya benar benar sering ditinggal sendiri. Abang saya sudah pindah ke Ibukota, melanjutkan kuliah disana. Orang tua saya juga lebih sering ke ibukota, meninggalkan saya sendiri, bisa sampai berminggu-minggu lamanya.

Akhirnya, saya menggunakan kesempatan di saat saya benar-benar sendiri di rumah, untuk mengundang Pak Eri datang ke rumah, agar saya bisa lebih banyak bertanya dengannya.

Di satu kesempatan, dia datang ke rumah saya setelah saya meneleponnya. Dia membawa temannya, pak Indra (nama samaran). Pak Indra, menurut pengakuannya, dia dapat mengusir kehadiran makhluk halus di rumah-rumah.

Mereka berdua masuk ke dalam rumah saya. Kami sempat berbincang-bincang sebentar. Tentu saja, saya merasa teramat sangat benci dengannya. Tapi semua itu saya lawan sekuat tenaga. Saya tahu, ia sengaja ngobrol-ngobrol dengan saya, karena ia ingin membaca gerak gerik saya, membaca sorot mata saya, dan memancing ‘sesuatu’ yang ada di dalam diri saya. Saya melihat cara dia berbicara dengan saya. Dia menerawang saya dari berbagai sisi.

Akhirnya, setelah saya menceritakan semua semua yang terjadi, beliau memohon izin, agar meninggalkannya sendiri di dalam rumah, sedangkan saya dan Pak Eri cukup duduk dan menunggu di rumah.

Saya menyetujuinya. Kami membiarkan dia sendiri di dalam rumah. Sepertinya ia sedang berkeliling. Awalnya saya sempat merasa curiga. Apa jangan-jangan ini adalah modus pencurian. Apa jangan-jangan mereka memanfaatkan saya.
“Kamu lagi mikir apa?” Pak Eri bertanya.
“Enggak ada pak.”
“Sudah, ayo katakan apa yang kamu rasakan sekarang ini.”
“Saya.. merasa curiga. Saya curiga kalau Pak Indra itu kriminal.”
“Percayalah. Semua pikiran curiga kamu itu, bukan berasal dari kamu. Itu adalah bisikan.”
“Bisikan?”
“Iya, itu semua supaya kamu membatalkan rencana ini. Ada yang tidak suka dengan rencana ini. Kamu tahu itu siapa.” Pungkasnya.
“Baiklah, pak. Saya percaya kok.”

Setelah kurang lebih satu jam. Pak Indra kembali keluar dari dalam rumah.
“Banyak.” Katanya.
“Maksud bapak?” saya bertanya.
“Ya, kamu benar. Semuanya yang kamu katakan itu benar. Mereka memang tinggal disini.”
“Jadi sekarang gimana dong pak?”
“Ya, saya belum bisa membantu kamu secepat ini. Saya perlu lebih sering kesini untuk memperhatikan. Saya perlu tahu, ada apa disini.”

Saya pun kembali menceritakannya mengenai tangga itu, bahwa dulu ada sumur dibawah tangga itu, dan semua semuanya. Saya takut. Saya takut, jika ‘mereka’ merasa marah. Saya harus kembali sendiri di rumah, saat mereka pergi. Saya tidak berani.

“Tidak apa-apa, kamu tidak usah takut dengan mereka. Mereka sepertinya tidak senang dengan kehadiran saya, bukan kehadiran kamu.” Kata pak Indra.
“Maksud bapak? Aduh saya takut pak, sumpah.”
“Itu dia yang mereka inginkan. Rasa takut dari dalam diri kamu. Mereka senang akan itu. Kamu tidak perlu takut, kamu lawan itu semua. Sepertinya memang ada sesuatu di dalam diri kamu, yang membuat mereka begitu senang dengan kamu.”
“Jadi, kapan bapak kesini lagi?”
“Saya akan usahakan untuk mampir kesini setiap hari, di saat orangtua kamu sedang pergi. Karena kamu tidak ingin mereka tahu kan?”
“Iya tentu pak, mereka tidak akan suka kalau saya melakukan ini semua di rumahnya.”

Sayang sekali, saat itu mereka harus pulang dan meninggalkan saya sendiri. Saya menangis di rumah. Saya takut. Saya merasa bersalah. Saya melakukan itu tanpa izin orang tua.

---Untuk papa, mama, maafkan aku, harus melakukan ini semua. Maafkan aku, harus menceritakan ini semua. Maafkan adek. Maafkan aku, aku tidak menceritakan ini pada kalian. Aku tidak ingin kalian tahu. Aku sudah sangat menyusahkan kalian karena tingkahku yang aneh. Maafkan aku, tapi aku sudah tidak tahan. Aku yakin kalian tidak akan percaya. Tapi, sekarang ini, detik ini, mungkin kalian membaca tulisan ini, dan inilah yang aku alami, tanpa sepengetahuan kalian.---

Di kesempatan berikutnya, saat orangtua saya kembali menjumpai abang saya di ibukota, saya berencana untuk kembali mengundang Pak Indra.

Beberapa hari sebelum keberangkatan orangtua saya menuju ibukota, saya menyempatkan diri berlibur ke daerah terpencil di dekat kota kami, bersama teman-teman kampus saya. Sungai Pelaruga, tempatnya memang terpencil. Tujuan kami adalah untuk menikmati suasana sungai yang terletak diantara tebing-tebing, dengan air yang sejuk dan sangat jernih. Karena kami tidak tahu lokasi persisnya, kami sempat tersesat dan akhirnya memakan waktu cukup lama. Kami tiba di saat sudah hampir menjelang sore.

Setibanya disana, kami pun asyik menikmati suasana. Saat itu, kawasan itu belum terlalu terkenal, jadi, tidak banyak orang yang berwisata kesana. Akses menuju sungai itu pun cukup sulit, karena tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi kawasan wisata. Saat kami sedang asyik bermain di sungai itu, seorang pemuda, penduduk setempat, menawarkan kami untuk mengeksplorasi sungai, untuk mencapai air terjun kecil yang berada tidak jauh dari situ.

“Bang, ikut kami ke air terjun mau?”
“Ha? Dimana tuh bang?” Saya bertanya.
“Ini lho, agak kesana dikit, ada air terjun kecil, cantik bang.”
“Oh boleh bang. Masih sempat nih jam segini?”
“Masih bang.”
“Oke bang, boleh.”

Sesaat kemudian, para abang-abang penduduk setempat memberikan kami pelampung seadanya. Kantong plastik yang ditiup. Sangat sederhana.

“Loh ini untuk apa bang?”
“Untuk nanti di air lah bang.”
“Loh kita bukannya jalan ya kesana?”
“Wah kalau jalan udah biasa bang, ini kita telusuri sungainya aja, lebih seru, lebih cepat juga.”
“Aman nggak bang?”
“Aman, bang, tenang.”

Meski sempat ragu, akhirnya kami setuju. Kami berenang menuju air terjun itu. Sudah berpuluh-puluh meter kami meninggalkan kawasan sungai yang sebelumnya. Suasananya sudah berbeda. ,Medannya sudah cukup sulit. Arusnya semakin deras. Kaki saya bahkan sempat tersangkut diantara bebatuan. Batu-batu disana sudah berlumut semua. Suasananya lebih lembab, lebih gelap. Tebing-tebing sudah sangat tinggi diatas kami. Saya tidak suka. Hingga akhirnya, sungai itu ternyata bercabang dua. Kami berhenti. Bahkan, para abang-abang yang membawa kami juga berhenti dan bingung.

“Loh kok berhenti bang? Ini lanjut kemana?”
“Aduh, kami juga bingung nih bang.”
“Loh gimana sih? Tapi kalian penduduk sini?”
“Iya, maaf bang, kami pun baru kali ini lewat jalur ini menuju ke air terjun.”
“Apa?? Jadi ini kita gimana??” Saya marah sekali. Mereka tidak bertanggungjawab.

Akhirnya, karena kelelahan, kami memanjat bebatuan untuk beristirahat. Kebetulan sekali ada bagian celah tebing yang bisa dipanjat. Celah tebing itu seperti lorong. Saya berjalan menelusuri lorong itu dengan salah satu dari penduduk setempat yang menemani kami. Kami menelusuri hutan itu dengan harapan, akan menemui penduduk lain untuk bertanya. Saya kesal sekali. Saya tidak ingin tersesat di hutan belantara itu. Tidak jauh dari tempat kami beristirahat tadi, kami menemukan onggokan tanah dengan beberapa benda-benda warna-warni diatasnya. Kami menghampirinya. 

Astaga. Ternyata onggokan tanah itu adalah kuburan. Kuburan yang batu nisannya terbuat tadi batu yang diukir-ukir, dengan sejumlah bunga, dan buah-buahan diatasnya. Bunga dan buah itu terlihat masih segar, menandakan, bahwa benda-benda itu masih baru saja diletakkan disitu.
“Oh, ini dia rupanya.”
“Apa bang?”
“Ini bang, di kampung kami, sering dibicarakan orang, ada kuburan pesugihan di dekat sungai. Ini saya juga baru ketemu.” Pungkasnya.
“Aduh bang kita balik aja kesana tadi, langsung aja ambil jalur mana aja yang penting gak disini. Saya nggak suka. Ini juga udah makin sore.”

Beliau pun menuruti perintah saya. Kami kembali berjalan menuju tempat peristirahatan, kembali meneluri sungai, yang kami bahkan tidak tahu akan mengarah kemana. Tapi untunglah, ternyata jalur yang kami pilih tidak salah. Kami tiba di kawasan air terjun. Meskipun suasananya sedikit gelap, tapi, tempat itu begitu indah, sampai kami lupa akan rasa lelah kami setelah menyusuri sungai sebelumnya. Di bawah air terjun, saya sempat termenung sebentar, mungkin karena kedinginan. Sampai akhirnya teman saya menyadarkan saya, menyuruh saya untuk tidak berpikiran kosong di tempat seperti itu.

Hari sudah mulai sore, kami pun beranjak untuk kembali ke titik awal kami datang. Tapi, tentu saja kami tidak melawan arus melalui jalur sungai. Kami berjalan kaki menelusuri hutan. Tapi untunglah kali ini, para penduduk setempat yang menemani kami sudah tahu jalur darat untuk kembali ke tempat semula.

Malamnya, di perjalanan pulang kembali menuju Kota, kami menyempatkan diri untuk makan di pinggiran jalan, di Kota kecil, yang letaknya bersebelahan dengan kota kami. Saat sedang makan, saya merasa ada yang aneh.

“Eh, kok pundak aku berasa berat ya?” saya bertanya pada teman-teman.
“Ooh mungkin kecapekan, jarang olahraga sih!” teman saya menjawab.

Saya hanya mengangguk. Mungkin benar yang mereka katakan.

Keesokan harinya, saya pulang kampus. Hari sudah sore. Saya pulang dalam keadaan lelah sekali karena pundak saya masih terasa begitu berat. Sepertinya wajah saya terlihat suntuk. Ayah saya sempat memarahi saya karena pulang dalam keadaan suntuk. Ibu saya juga bahkan sempat memarahi saya juga dan mengatakan untuk tidak membawa masalah-masalah di kampus ke dalam rumah.

Saat itu saya merasa sangat sedih. Saya memang capek setelah kuliah. Kuliah saya memang melelahkan. Banyak sekali tugas yang membebani. Ya, begitulah rasanya menjadi mahasiswa Arsitektur. Saya merasa sedih, karena orangtua saya sering sekali menengok abang saya di ibukota. Mereka begitu peduli dengan bagaimana kuliah abang saya disana. Sedangkan saya, dari awal kuliah sampai saat itu, hanya kesepian. Saya ingin bercerita-cerita tentang keseharian saya sebagai mahasiswa. Saya ingin berkeluh kesah tentang beban saya selama kuliah. Tapi, yang ada, mereka justru tidak ada. Saat saya berkeluh kesah, mereka malah membanding-bandingkan kuliah saya dengan abang saya. Mereka berkilah, bahwa abang saya pasti kesulitannya lebih parah dari saya, apalagi dia ditinggal orang tua, dan hidup sendiri disana. Apalagi, kali itu, mereka malah menambahinya, agar saya tidak membawa-bawa masalah kampus ke rumah. Jika saya tidak bisa berkeluh kesah pada keluarga saya sendiri, jadi kemana saya harus berkeluh kesah? Ya, sedih sekali rasanya.

Sore itu, dengan perasaan terpuruk, saya berjalan ke kamar. Tapi bukan kamar saya, melainkan kamar kosong itu. Beberapa hari sebelumnya, kamar itu sempat dirapikan oleh orangtua saya, untuk dijadikan kamar ‘studio’ saya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Meja gambar saya juga sudah dipindahkan ke kamar itu. Ya, awalnya saya merasa enggan untuk berlama-lama di kamar itu. Tapi apa daya, saya harus menghormati usaha mereka agar kamar itu tidak dikosongkan lagi.

Saya hanya duduk di kamar itu, sambil menangis. Saya merasa sedih sekali. Saya pun tertidur.

---

Saya terbangun dari tidur. Aneh. Aneh sekali. Saya sedang berada di pelukan ibu. Ibu saya mengeluarkan air mata. Ia sedang mengucap-ucap, berdoa-doa. Saya tersadar dalam kebingungan. Ibu saya senang sekali melihat saya saat itu. Dia mengatakan bahwa dia sempat ‘kehilangan’ saya sebentar. Ya, ternyata, sebelumnya itu saya tidak tidur. Saya kesurupan!

Ibu saya mengajak saya untuk pindah ke kamarnya. Dia merebahkan badan saya seraya mengelus-elus kepala saya.

Saya bertanya apa yang terjadi karena saya tidak ingat apa-apa.

Beliau menjelaskan semuanya.

Ternyata, saat saya sedang tidak sadar itu, Ibu saya mendengar saya sedang berbicara-bicara di kamar itu. Namun, saya berbicara dengan bahasa aneh. Bahasa yang tidak bisa dipahami. Ibu saya juga mengaku, ada suara lain yang ikut berbicara dengan saya. Ibu dan ayah saya menghampiri saya ke kamar. Ternyata saya dalam keadaan duduk bersila di tengah-tengah ruangan, sambil menundukkan kepala dan berkomat-kamit dengan bahasa itu. Saat itu, ayah saya tidak berani, ia malah pergi ke teras rumah, mempercayakan ibu saya untuk melakukan sesuatu. Ibu saya mencoba memanggil saya. Saya menoleh ke arahnya. Ibu saya mengatakan, saat itu wajah saya tampak sangat berbeda. Saya berbicara. Awalnya, saya berbicara dengan suara saya sendiri. Kemudian, keluar suara orang lain dari mulut saya sendiri, yang seakan-akan menyahut perkataan saya sebelumnya. Ibu saya menyimpulkan, bahwa ada makhluk lain yang sedang ‘hinggap’ di tubuh saya. Ibu langsung menghampiri saya, mendekap saya dan berdoa-doa. Saya meronta-ronta dan berteriak. Ibu terus berdoa-doa sambil mendekap saya, selama kurang lebih hampir dua jam, hingga akhirnya saya sadar.

Mendengar ceritanya, saya langsung mual dan memuntahkan air dari perut saya. Badan saya terasa lemas. Tapi, benar saja. Perasaan berat di pundak saya sudah hilang. Saya yakin, saat pundak saya terasa berat sekali, ada makhluk lain yang sedang bertengger disitu.

Malam itu begitu aneh. Ayah saya pucat. Saya tidak tahu kenapa dia begitu ketakutan. Akhirnya ibu saya menjelaskan, bahwa ayah saya termasuk orang yang mudah kesurupan. Dia tidak bisa berada di dekat orang yang kesurupan karena, takut jika makhluk itu justru berpindah ke tubuhnya. Ya, saya memang pernah mendengar dari ayah saya sendiri kalau dia dulu sering kerasukan di acara-acara adat.

Beberapa hari setelah kejadian itu, orang tua saya tetap berangkat ke Ibukota. Saya takut sekali untuk berada di rumah. Saya mencoba menelepon beberapa teman saya untuk menginap di rumah tapi mereka menolak. Mereka tidak berani, karena mereka tahu kalau saya baru saja kesurupan di rumah saya sendiri.


Akhirnya, saya menelepon Pak Indra. Pak Indra, orang yang dulu pernah mencoba membantu saya dalam masalah ini.

Malam itu, saya mengundangnya ke rumah dan saya berharap agar dia benar-benar bisa membantu saya kali ini. Karena saya sudah tidak tahan lagi. 

Saat menunggu kedatangannya. Saya merasa gelisah. Ada beberapa suara-suara gaduh dari lantai atas. Suasananya mencekam.

Cukup lama saya menunggu. Akhirnya beliau datang.

(to be continued…)

No comments:

Powered by Blogger.