Ads Top

RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 14

PART 14 - TAMU TAK DIUNDANG

Maya merupakan salah satu teman baru saya sejak awal sekali masuk SMA. Sejauh itu pula, saya masih bisa untuk menyimpan kisah misteri yang saya alami bertahun-tahun. Tapi, saya mengetahui satu hal. Ada yang berbeda dengan Maya. Terutama dari sorot matanya. 

Saat itu menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia. Setiap kelas diwajibkan untuk mendekor ruangannya karena akan dikompetisikan. Saya termasuk dalam panitia untuk mendekor kelas, bersama Maya, dan lain-lain. Saat itu kami mendekor kelas hanya dalam satu hari. Kami tidak punya waktu banyak hingga akhirnya kami harus tetap di sekolah sampai sore hari. Sore itu, hanya tinggal empat orang yang tersisa, karena beberapa yang lain sudah harus pergi karena masih ada les dan lain sebagainya.

Sekolah kami, adalah bangunan tua yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda dulu. Sudah dari dulu, sekolah kami terkenal dengan hal-hal berbau mistis karena memang, secara fisik pun, sekolah kami cukup menyeramkan. Ada beberapa titik-titik lokasi yang selalu dianggap ‘sarang’ makhluk halus di sekolah itu. Salah satunya adalah di lantai 4. Ya, lokasi kelas kami saat itu.

Kami menyempatkan diri untuk beristirahat dari kegiatan mendekor kelas yang melelahkan. Kami berjalan-jalan mengelilingi sekolah yang sudah mulai gelap. Suasananya begitu hening. Kami berjalan menyusuri gedung SD. Saya sempat melihat ada sosok hitam di depan pintu kamar mandi. Tapi saya mencoba mengalihkan pandangan. Saya mengalihkan pandangan ke kanan, tak sengaja saya melihat Maya. Saat itu, Maya juga sedang melihat kearah sosok itu, dengan sorot mata yang tajam. Tapi, teman kami yang lain terlihat biasa saja. Awalnya saya ingin bertanya dengan Maya, tapi saya tahan. Sampai di bagian gedung SMP, suasananya sudah lebih gelap. Kami berhenti di ujung lorong. Kami merasa enggan untuk memasuki lorong yang gelap dan panjang itu. Ujung lorong di sisi lain masih terlihat karena ada cahaya yang masuk kesana. Saya benar-benar melihat ada sosok hitam yang sedang mengintip dari ujung sana. Saya kembali melihat Maya, dan benar saja, dia juga sedang melihat kearah sosok itu, sedangkan yang lain tidak. Akhirnya kami mengurungkan niat untuk memasuki lorong itu dan kami berjalan kembali ke arah lantai 4, menuju kelas kami. Saat itu Maya yang memerintahkan kami untuk segera kembali ke kelas dan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan, agar kami bisa pulang sebelum terlalu larut.

Setibanya di kelas, teman kami yang lain menawarkan untuk membeli jajanan. Tapi, akhirnya hanya mereka berdua yang pergi dan tinggal lah saya dan Maya. Awalnya kami bercerita dan bercanda ria di kelas, suasananya memang sepi, tapi tidak terasa ada yang aneh. Sampai akhirnya, gorden kelas kami bergoyang-goyang. Padahal jendela tidak dibuka dan tidak ada angin. Saat itu pula, saya melihat, sosok itu lagi sedang berdiri di samping lemari, di sudut ruangan. Saya tidak bisa melihat wajah sosok itu, tapi ia bahkan lebih tinggi dari lemari, dan sepertinya saya masih bisa melihat matanya. Matanya seperti bersinar redup. Saat itu pandangan saya terpaku ke sudut itu. Saya terdiam.
“Udah, yuk keluar kelas. Cari angin.” Kata Maya.
“Eh?” saya tersadar.
“Iya, ayoo buruan.”

Kebetulan sekali, ruang kelas di lantai 4, ruang kelasnya tidak saling berhadapan, jadi, ketika keluar kelas, lorong itu menjadi seperti balkon yang panjang. Dimana udara dan cahaya bisa bergerak bebas di lorong itu.

Kami duduk di lantai depan kelas, menunggu teman kami yang lain kembali. Saya mencoba sekuat tenaga untuk menutupi rasa takut tadi. Saya tidak ingin membahasnya dengan Maya. Saya tidak mau melanggar janji saya sendiri.

“Kamu tadi lihat apa?” Maya bertanya.
“Ha? Lihat apa? Nggak ada kok.” 
“Hahaha, udahlaah, ngaku aja. Aku juga liat kok.”
“Apa sih, nggak ada kok.”
“Di lorong tadi, di kelas tadi, dibalik lemari. Masa iya nggak lihat?”

Saya terdiam seribu bahasa. 

“Aku.. bisa liat juga. Udah dari kecil.” Maya menambahi.
“Ah..masa sih?”
“Iya. Bener kok.”

Astaga. Saya kaget bukan main. Saya takut. Saya memang sering menerima gangguan, tapi saya tidak bisa melihat makhluk halus kapanpun saya mau. Saya hanya bisa melihat di saat-saat tertentu.

Disitu saya hanya diam sambil menatap layar di HP. Saya tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Suasana kembali hening, hingga akhirnya, Maya mengatakan sesuatu yang menurut saya, mengerikan.

“Aku tau kok. Sekarang ini kita nggak cuma berdua.”
“Ha? Maksudnya? Yang tadi itu lagi disini??”
“Bukan. Nggak cuma sekarang.”
“Apa sih, aku nggak ngerti.”
“Iya, ada tuh yang selalu ngikutin kamu di belakang. Biasanya sih dia hilang timbul. Tapi, kayaknya seharian ini dia nempel terus.”
“Eng… kamu bisa lihat..dia?”
“Iya. Hahaha.”

Ternyata Maya bisa melihatnya. Sedangkan saya tidak. 

“Kamu emangnya ga liat dia?”
“Em.. nggak mau bahas itu ah.”
“Kenapa? Karena kamu tau dia juga lagi disini?”
“…..” Saya kembali terdiam. Tentu saja saya tidak ingin membahas mengenai ‘dia’ di saat itu.
“Udah nggak apa-apa kok. Tapi kayaknya sih dia nggak suka ya sama aku. Haha.”

Maya sempat ingin mendeksripsikan bagaimana rupa nya, tapi saya cepat-cepat menghentikan omongannya karena saya tidak mau tahu.

Akhirnya, sembari menunggu kedatangan teman yang lain, kami saling berbagi cerita. Saya menceritakan hampir keseluruhan kisah yang saya alami, begitu pula dengannya. Cerita kami memiliki kemiripan. Dia mengatakan, dia bisa melihat makhluk halus, karena memang sudah keturunan dari keluarganya. Tapi saya tidak bisa menceritakannya disini karena saya sudah berjanji untuk tidak membeberkannya.

Semenjak saat itu pula, saya dan Maya seakan memiliki kode tersendiri. Kami sama-sama peka terhadap hal-hal ghaib, dan sebagainya. Sampai pada akhirnya, Maya sangat ingin berkunjung ke rumah saya. Saya sempat melarangnya karena saya sudah berencana, untuk tidak terlalu sibuk dengan hal-hal semacam itu lagi. Tapi, akhirnya, dia tetap bersikukuh.

Suatu hari, menjelang sore, dia tiba di rumah saya. Hari itu hari Sabtu. Saat ia hendak memasuki rumah, dia terdiam sebentar, sambil melihat ke cermin yang langsung berhadapan dengan pintu masuk. Tapi dia hanya diam. Saat ia berbelok ke arah ruang tamu, dia tersandung oleh sesuatu. Dia hampir jatuh. Selama kami duduk di ruang tamu sambil bercerita, dia terus tampak gelisah. Ada perasaan dalam benak saya, sepertinya kehadiran Maya tidak disukai oleh ‘sesuatu’ yang ada di rumah saya. Cukup lama kami duduk dan berbincang-bincang di ruang tamu.

Ternyata Maya harus singgah lebih lama di rumah, karena supirnya masih ada keperluan lain dan tidak bisa menjemput lebih cepat. Orang tua saya juga harus pergi ke undangan acara pernikahan anak temannya. Abang saya juga tidak di rumah, dia sudah pergi dengan teman-temannya. Karena bosan, akhirnya kami memutuskan untuk bermain game di komputer, di ruang atas, tepat di depan kamar tidur saya, di sebelah kamar kosong itu. Dia sudah tahu mengenai kamar itu, dan ia mengerti, untuk tidak membuka pintu kamar itu hanya karena penasaran. Selama dia di rumah saya, saya sering melihat dia sedang memperhatikan sudut-sudut ruangan, terkadang sorot matanya terlihat tajam dan terpaku pada satu titik. Terkadang, setelah melihat ke satu titik, dia menundukkan kepalanya. Saya menyaksikan itu semua namun saya tidak ingin bertanya ada apa. 

Kami sedang asyik bermain game di komputer. Beberapa kali HP Maya berdering, ditelpon oleh nomor tak dikenal. Pertama kali HP nya berdering, Maya mengangkatnya, namun tidak ada suara, hanya ada suara nafas, begitu katanya. Akhirnya, Maya merasa kesal karena HP nya terus-terusan berdering.
“Aduh siapa sih ini daritadi nelfon??”
“Nomor gak dikenal ya?”
“Iya, kesel.”
“Yaudah, ntar kalo ditelpon lagi angkat aja.”
“Iya, tadi kan diangkat, tapi ga ada suara, cuma suara nafas.”
“Hahaha ngerjain tuh paling.”
“Iya, tapi kesel juga lama-lama.”

Beberapa detik kemudian, HP nya kembali berdering.

“Nah, telfon lagi dia.”
“Mana coba liat, berapa sih nomornya biar aku telfon balik.”

Maya menunjukkan layar HP nya. Saya, panik bukan main.

“Astaga!! Ya ampun!!” Saya berteriak.
“Kenapa???”
“Ini… ini nomer telpon rumah aku!!”

Kami terdiam saling memandang. Sedangkan saat itu tidak ada orang lain di rumah. Bahkan saat itu telpon rumah bertengger di sebelah komputer, tepat di depan hadapan kami.
Kami ketakutan. Rasanya kok bisa mereka mengganggu Maya melalui telepon. Saat itu suasana sangat mencekam. Posisi kami sangat tidak enak. Kami terlalu dekat dengan kamar itu. Perasaan saya semakin tidak enak sampai akhirnya, ada yang menggedor pintu kamar kosong itu. Kami sontak berlari menuju lantai bawah. Kami lari terbirit-birit. Sepertinya, ‘mereka’ sangat tidak menyukai kehadiran Maya. Sejak awal sekali dia memijakkan kakinya di rumah kami.

Saya langsung menelepon ayah saya saat itu. Di dalam suasana keributan acara pesta pernikahan, beliau mencoba menyimak cerita saya dan dia memutuskan untuk langsung pulang agar saya tidak sendiri di rumah, karena Maya sudah akan dijemput.

Saat-saat menunggu Maya dijemput, suasana terasa begitu mencekam. Kami duduk di teras rumah, tidak berani masuk. Ternyata supir Maya tiba lebih awal dari ayah dan ibu saya. Tapi, Maya memutuskan untuk menunggu ayah dan ibu saya tiba, baru dia akan pulang. Untunglah.

Semenjak itu, kami menjadi semakin dekat dan dia menjadi sahabat terbaik saya saat itu. Dia bisa memahami saya dengan baik. Dan tentu saja, banyak hal yang hanya diketahui oleh kami berdua saja, tidak diketahui teman-teman yang lain.

Semenjak itu pula, ayah saya menyarankan, jika ada les privat dengan teman-teman, sebaiknya les di rumah kami saja, agar rumah saya selalu ramai dan saya tidak sering sendiri-sendiri di rumah.

Tentu saja, hampir semua teman-teman saya, bahkan guru, semua orang yang baru pertama kali ke rumah kami, pasti mendapat ‘gangguan’. Ada yang terjatuh, ada yang kepalanya terbentur, ada yang kehilangan salah satu sepatunya, ada yang terkunci di kamar mandi, ada yang mendengar sesuatu, dan lain-lain. Semua itu terjadi bertahun-tahun dan saya tidak bisa menceritakan semuanya. Cerita gangguan yang dialami Maya merupakan salah satu yang paling mengerikan yang pernah terjadi dengan tamu di rumah kami.

Akhirnya, selama masa SMA, selama kurang lebih tiga tahun, saya cukup menjalani hidup dengan gangguan-gangguan. Tapi tidak pernah sekalipun mengusiknya, apalagi mencari-cari tahu. Saya berhasil menjalani itu semua, meskipun ada rasa penasaran yang begitu kuat, tapi saya juga sekuat tenaga untuk mengabaikannya. Karena, saya benar-benar bertekad, agar tidak bertambah lagi, orang-orang yang menganggap saya aneh.

Tapi, saya akui, masa SMA juga cukup sulit. Banyak sekali bisikan-bisikan jahat di dalam benak saya selama itu. Bisikan-bisikan jahat, untuk melakukan sesuatu yang pernah saya lakukan di masa SMP. Ya, menyakiti orang lain. 

Di masa SMA, tentu saja ada teman, maupun guru yang tidak saya sukai. Setiap kali saya merasa benci dengan seseorang, ada bisikan yang begitu kuat dalam diri saya untuk membalas dendam dengan cara-cara yang mengerikan.

Pernah satu kali, di kelas 3 SMA, saya begitu membenci seseorang teman. Saya tidak suka dengan gaya bicaranya yang besar mulut, besar kepala dan merendahkan saya. Saya tidak punya salah dengannya. Rasa benci saya sudah sangat memuncak padanya.

Suatu pagi, saya sedang duduk di kelas dan teman saya yang saya benci ini kembali menghardik saya. Saat itu pula, saya langsung berpikir untuk membuat dia tersiksa. Ya, akhirnya, saya kembali melakukannya; balas dendam. 

Saya pura-pura sakit dan memohon izin kepada guru untuk pergi ke UKS. Untunglah guru saya mengizinkannya. Setibanya di UKS, saya justru tidak berpura-pura sakit. 

“Pagi, bu.” Saya menyapa guru yang sedang nangkring di UKS.
“Ya, ada perlu apa nak? Kamu sakit?”
“Oh, enggak, bu. Saya perlu sesuatu yang lain.”
“Apa itu?”
“Obat-obatan ditaruh dimana ya bu?”
“Oh, ada di atas meja itu, di dalam kotak. Tapi kamu perhatikan ya biasanya masih banyak yang sudah kadaluarsa.”
“Oh, iya baik bu.”
“Emangnya buat apa? Tapi kamu enggak sakit?”
“Iya, bu, buat praktikum Kimia di laboratorium. Kebetulan sekali saya perlu yang sudah kadaluarsa.”
“Oooh, ya sudah ambil saja.”

Rasanya saat itu senang sekali, masih ada obat yang kadaluarsa. Saya mengambil beberapa macam obat-obatan yang sudah kadaluarsa. Saya pergi ke kamar mandi. Saya menghancurkan obat obat itu, satu persatu, dibantu oleh perasaan benci dan dendam. Saya mencampur semua serbuk-serbuk itu menjadi satu, dan menggulungnya dalam kertas. Saya berencana, suatu saat, saya akan mencampurkan serbuk ini ke dalam makanan atau minumannya.

Tapi, hari itu tidak ada kesempatan untuk saya melakukan itu. Dia terus-terusan menghardik saya, seakan dialah makhluk paling hebat. Saya terus memperhatikan wajahnya saat ia sedang asyik membangga-banggakan dirinya. Saya berpikir, suatu saat, senyum sombongnya akan sirna, berganti dengan rintihan kesakitan.

Keesokan harinya, saya tiba di sekolah dalam keadaan terlambat. Saya memarkirkan mobil saya, kemudian berjalan terburu-buru mengunyah permen karet dan memegang botol minuman. Tiba-tiba langkah saya terhenti. Ya, saya melihat sepeda motor teman saya itu. Sepeda motor tua dan reyot yang selalu dia banggakan. Saya menghampiri penjaga parkir sepeda motor. Saya menyodorkan semua uang saku saya yang ada di kantung seragam kepadanya. Ya, saya menyogoknya, karena saya akan melakukan sesuatu.

Saya menyemprotkan air ke dalam knalpot motornya, kemudian menyumbatnya dengan permen karet yang tadi saya kunyah. Kemudian saya meninggalkan area parkir sambil tersenyum pada penjaga parkir, memberikan kode bahwa saya sudah selesai beraksi.

Saat jam istirahat, kebetulan sekali, saat itu kami sedang melaksanakan try out, jadi jam istirahat kami tidak mengikuti kelas-kelas lain. Jadi, saat itu, siapa yang duluan selesai mengerjakan soal-soal, bisa istirahat duluan. Kami istirahat di saat kelas-kelas lain masih belajar. Saya melihat teman saya itu selesai duluan, dan dia keluar kelas. Melihat itu, saya langsung mengisi semua jawaban dengan asal-asal, agar saya juga bisa keluar ruangan duluan, dan saya bisa beraksi. Akhirnya, saya keluar ruangan dan menuju kantin. Suasana kantin sepi. Pas sekali, saya melihat teman saya itu sedang duduk di kantin, sendiri, menunggu makanannya. Saya memperhatikannya dari kejauhan, sambil memastikan tidak ada yang melihat saya. Saya mempersiapkan gulungan “racun” yang saya racik sendiri. Saat itu, bisikan jahat sangat kuat dalam benak saya. Saya sudah sepenuhnya dikuasai rasa benci dan dendam. Tidak lama kemudian, seseorang mengantarkan makanan ke mejanya, ternyata dia memesan bakso. Tapi, saat bakso itu tiba di mejanya, teman saya itu beranjak ke arah penjual minuman, yang berada di belakangnya. Wah, sempurna sekali, pikir saya. Saya langsung bergegas menuju mejanya, sambil celingak celinguk ke sekitar, memastikan tidak ada yang melihat saya. Saya buru-buru menuangkan hampir semua “racun” itu ke dalam mangkuk baksonya, kemudian saya langsung berpura-pura jalan santai menuju penjual makanan ringan. 

Dari kejauhan, saya melihat dia menuangkan saus cabai dan kecap ke dalam mangkuk baksonya, kemudian dengan santainya, dia menyuapkan kuah bakso ke dalam mulutnya. Ya, mulutnya yang banyak omong itu. Rasanya senang sekali, melihat dia makan begitu lahap.

Jam istirahat telah usai, kami semua kembali ke kelas untuk melanjutkan try out untuk mata pelajaran lain. Saat ujian, saya melihat teman saya itu. Wajahnya terlihat pucat dan dia berkeringat hebat. Saya tersenyum licik. Tak lama kemudian, dia memanggil guru pengawas. Dia mengatakan bahwa kepalanya pusing, badannya lemas dan dia ingin muntah. Wajahnya terlihat begitu tersiksa. Akhirnya, dia digotong ke UKS, karena dia merasa lemas sekali.

Saat dia sudah di UKS, saya berpura-pura izin ke toilet, padahal saya pergi ke UKS. Saya berdiri di depan pintu ruangan tempat dia tiduran, dalam rasa sakit. Dia melihat ke arah saya. Dia diam saja. Tidak terlihat lagi wajah sombongnya. Mungkin karena ia sedang sakit. Saat itu pula, saya tersenyum licik ke wajahnya. Sambil mengatakan “mampus” dengan suara yang sangat pelan dan halus. Saat itu pula, guru di UKS mengatakan, bahwa sebenarnya ia ingin langsung pulang tadi, tapi ternyata sepeda motornya tidak bisa dihidupkan. Mungkin karena perbuatan saya tadi.

Saya kembali berjalan menuju kelas sambil tertawa-tawa sendiri. Tapi, tiba-tiba rasa senang dan puas itu hilang. Saya merasa pusing. Saya pergi ke kamar mandi. Saya duduk di dalam bilik kamar mandi. Persis seperti yang saya lakukan dulu di masa SMP. Perasaaan saya sangat campur aduk. Saya merasa menyesal telah melakukan itu. Dan, karena rasa pusing semakin hebat, saya muntah. Akhirnya, saya kembali ke kelas dalam perasaan menyesal. Tapi, apa daya, semuanya sudah terjadi. Keesokan harinya pun, teman saya itu absen, dia diistirahatkan di rumahnya, dan terus absen hingga berhari-hari lamanya. Rumor yang beredar, dia keracunan karena makan bakso. Tapi untunglah, penjual bakso di kantin kami tidak dituntut. 

Ya begitulah masa SMA yang saya jalani. Saya tidak banyak melibatkan orang-orang ke dalam kisah pencarian misteri yang ada dalam hidup saya. Saya punya teman bernama Maya yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah saya. Saya juga berhasil untuk tidak mencari-cari tahu apa yang terjadi. Tapi, tentu saja, aksi balas dendam saya itu tetap melekat di dalam benak saya, dalam bentuk penyesalan yang begitu luar biasa.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari masa SMA. Karena, saya tidak banyak mencari informasi. Semua yang saya alami hanyalah gangguan-gangguan yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Saya rasa, jika saya menceritakan semua yang pernah terjadi, ceritanya akan terlalu panjang.

Masa SMA telah usai. Di saat itu pula, orang tua saya sudah tidak terlalu sibuk bekerja sana sini. Saya sempat senang, tapi, mereka justru lebih aktif di organisasi. Baik itu organisasi politik, maupun organisasi keagamaan.

Suatu malam, kami kehadiran tamu. Seorang bapak-bapak berusia tanggung. Dia adalah seseorang cendekiawan yang religius. Selama ini saya juga sudah sering bertemu dengannya, karena dia sering datang ke rumah. Dia adalah salah satu pengurus organisasi itu. Dia juga dikenal, sebagai orang yang bisa membantu orang-orang yang diganggu makhluk halus.

(to be continued…)

No comments:

Powered by Blogger.