Ads Top

RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 13

PART 13 - MEREKA HADIR

Kaki saya terasa membatu. Rasanya begitu sulit untuk melangkah. Perjalanan dari pagar rumah menuju pintu masuk terasa begitu lama. Saya terus berjalan, terdiam, sembari memperhatikan angka yang tertulis di depan rumah. Tidak mungkin. Kenapa bisa anak perempuan itu menyebutkan alamat rumah saya sebagai tempat dia tinggal. Apakah saya sedang ingin mengerjai saya? Jika iya, candaannya sangatlah tidak lucu. Jika ia tidak mengerjai saya, maka saya tidak siap menerimanya. Tangan saya bergetar hebat. Saya tidak berani membuka pintu rumah saya sendiri. Saya merasa seperti tamu yang tidak berani memasuki rumah orang lain. Padahal itu rumah kami.

Cukup lama saya berdiri seperti tamu, di teras rumah saya sendiri. Saat itu sudah lewat jam 10 malam. Abang saya masih belum pulang. Orang tua saya juga mungkin sudah tertidur lelap. Saya memasuki rumah, sambil mengendap-endap dan melihat-lihat ke sekeliling. Ya, seperti orang tak diundang yang memasuki rumah orang lain tanpa izin. Saya sempat merasa apakah saya sudah gila. Akhirnya, saya duduk di sofa ruang tamu, berusaha untuk membuang rasa takut itu jauh-jauh, dan memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan perasaan itu. Biasanya, jika sudah lewat jam 10, saya tidak mau lagi bermain piano karena takut mengganggu tidur tetangga-tetangga lain. Tapi kali itu, saya terpaksa melanggar aturan itu, saya ingin memainkan satu atau dua buah recital lagu, untuk menenangkan pikiran saya sejenak. Saya memainkan lagu “Moonlight Sonata” dari Beethoven. Posisi piano di rumah kami, letaknya di bawah tangga utama dan void, yang menembuskan pandangan dari lantai atas ke lantai bawah. Saat saya bermain piano, rasa-rasanya ada yang memperhatikan saya dari lantai atas. Saya tetap bermain dengan nada-nada selembut pianissimo agar tidak terlalu mengganggu tetangga. Perasaan saya semakin kuat, ada yang memperhatikan saya dari atas sana. Dengan spontan saya menoleh keatas. Saya langsung merinding. Saya mencoba melawannya. Saya naik ke atas. Melewati tangga yang dilapisi kayu. Tangga itu, di anak tangga ke delapan dari bawah, selalu berbunyi “kreet” setiap kali ada orang yang melangkah diatasnya. Saya tiba di lantai atas. Tidak ada apa-apa. Saya tidak mau berlama-lama di lantai atas yang sudah gelap karena lampu sudah dimatikan. Saya kembali turun. Saya sudah melangkah ke anak tangga paling bawah. Saat itu pula, anak tangga ke delapan tadi, berbunyi. Astaga. Ada yang sedang berjalan melewati anak tangga itu, pikir saya. Rasanya saya sangat tidak berani untuk menoleh ke belakang. Saya tetap melanjutkan langkah dan duduk di ruang makan, sambil menuangkan air putih ke dalam gelas. Rasanya sungguh tidak tenang. 

Kali itu, kehadirannya terasa lebih dan lebih nyata dari yang pernah-pernah sebelumnya. Saya membawa air putih itu, dan meletakkannya diatas piano. Ya, saya kembali mencoba menenangkan diri. Ya Tuhan, gangguan apalagi ini. Saya melihat ke buku piano yang bersender. Halamanya sudah berganti. Saya tidak lagi melihat judul lagu “Moonlight Sonata”. Yang saya lihat adalah, “The Swan”. Ya, lagu favorit saya di biola. Lagu yang pernah disenandungkan oleh makhluk itu dulu. Tapi, kali ini, versi piano. Setelah mengumpulkan keberanian yang begitu mendalam, saya memutuskan untuk memainkan lagu itu. Lagu itu temponya lambat dan menenangkan, meskipun saya lebih suka memainkannya di biola. Saat pertengahan lagu pula, suara itu kembali terdengar. Ya, suara senandung itu. Saya tidak berani berhenti bermain karena saya takut jika akhirnya hanya suara itulah yang bisa saya dengar, di tengah-tengah kesunyian malam. Saya tetap memainkannya, seakan kami sedang berduet. Rasanya saat itu saya ingin menangis, entah kenapa. Saya sungguh-sungguh merasa tidak tahan lagi. Di saat itu pula, saya tersadar. Suara itu. Suara yang sangat halus dan lembut. Suara yang sama dengan yang saya dengar dulu. Suara itu, adalah suara anak perempuan itu. Anak perempuan yang mengaku tinggal di rumah saya.

Saya tidak tahan dengan rasa takut yang berubah menjadi tekanan itu. Saya berhenti memainkannya dan benar, saya menangis. Terduduk, tertunduk dan terisak. Suara senandung itu masih terdengar. Sangat lembut, seakan terdengar dari kejauhan. Di saat itu pula, saya kembali, lagi dan lagi, mencium bau belerang. Saya sudah tahu, jika ada bau ini, pasti ada sesuatu. Suara senandung itu berhenti, dilanjutkan oleh suara langkah kaki dari lantai atas. Langkah yang cepat. 

Tidak lama setelah itu, perasaan takut saya hilang, digantikan oleh perasaan marah yang sejadi-jadinya. Saya berjalan meninggalkan piano. Menuju lantai atas. Menuju kamar itu. Kamar kosong itu. Saya ingin mendobrak pintu itu. Kebetulan sekali, sebelum berjumpa dengan kamar kosong, terdapat cermin besar di dinding. Ya, di rumah kami banyak sekali cermin. Hampir di setiap ruangan ada cermin yang ukurannya beragam. Saya berjalan melewati cermin. Sambil tersadar. Ada yang aneh. Saya kembali berjalan mundur. Wajah saya tidak menoleh ke arah cermin. Saya mencoba memutarkan bola mata saya sekuat tenaga, ke arah paling kiri, agar dapat melihat cermin itu. Demi apapun yang ada di dunia ini, akhirnya, saat itu, saya melihatnya. Ada sosok yang begitu gelap sedang berdiri di belakang saya. Tangannya disenderkan ke bahu sebelah kiri saya. Saat itu saya tersadar, mungkin inilah yang selama ini membuat bahu kiri saya terasa pegal dan berat. Jadi, apakah ‘dia’ yang selama ini membuat orang ketakutan? Apakah ‘dia’ juga yang membuat anjing-anjing selalu menyalak? Apakah ‘dia’ yang selama ini menemani saya? Rasanya iya, kecuali pertanyaan yang terakhir. Ada perasaan yang begitu kuat di dalam diri saya, bahwa bukan sosok itu yang dulu pernah menemani keseharian saya. Saya memang tetap berbicara-bicara dengan sosok ‘khayalan’ itu, bahkan sampai detik itu. Tapi, saya yakin. Sosok yang saya lihat kali itu, bukan ‘dia’, bukan ‘teman’ itu.

Rasanya saya ingin pingsan saja. Saya ingin meminjam mesin waktu dan mengulang kembali semuanya. Saya tidak ingin menjadi seperti itu.

Saya tidak bisa lagi menenangkan diri. Saya langsung lari ke kamar dan lompat ke tempat tidur. Saya meringkuk ketakutan di balik selimut.

Semenjak saat itu, saya selalu paranoid setiap kali melihat cermin. Saya selalu menunduk di depan cermin.

Sampai pada suatu malam, rumah kami gelap karena mati lampu. Saat itu semua orang sedang berada di rumah. Kami sedang menikmati makan malam diantara kegelapan yang sedikit diterangi oleh cahaya lilin. Posisi ruang makan tidak jauh dari dapur. Saya baru memasak mie goreng, dan saya menyisakan sedikit diatas panci untuk jaga-jaga kalau saya lapar lagi saat tengah malam nantinya. Kami mendengar seperti ada yang mengetuk pintu depan dan saya disuruh untuk melihatnya. Saat itu saya tidak takut, biasa saja. Saya menghampiri pintu depan dan benar saja, tidak ada siapa-siapa. Saat itu saya sedikit takut, sampai akhirnya saya balik badan, dalam keadaan pintu masih terbuka, saya melihat ke arah cermin, dalam keadaan cahaya yang remang. Cermin yang letaknya persis di depan pintu masuk kami, saling berhadapan. Ada ‘seseorang’ sedang berdiri di belakang saya, tepatnya di teras. Seakan-akan dialah yang tadi mengetuk pintu. Saya tidak pernah melihatnya sebelumnya. Kali ini, sosoknya seperti orang dewasa bertubuh besar, namun saya tidak dapat melihat wajahnya. Saya berjalan terpatah-patah kembali menuju ruang makan. Saat itu, ayah melihat saya berjalan dengan aneh. Sepertinya dia tahu saya ketakutan.
“Sudah ditutup dek pintunya??” ayah bertanya.
“Be..belum, pa.”
“Tutup pintunya!!”
Sesungguhnya saya enggan sekali untuk kembali ke pintu depan, tapi apa daya. Saya kembali untuk menutup pintu. Saya tidak berani melihat ke cermin, dan kami pun kembali menikmati makan malam.

Saat kami selesai makan, ayah beranjak ke ruang tamu depan untuk merokok, sedangkan abang saya sudah dijemput oleh temannya. Saya dan ibu asyik bercerita-cerita. 

Pembicaraan kami terhenti. Kami mendengar sesuatu yang aneh. Kami sama-sama terdiam dan mencoba menajamkan pendengaran. Hmm, suaranya, seperti ada yang menjilat-jilat dan mengunyah. Saat itu ibu saya berpikir itu adalah suara kucing. Saya pun mengangguk. 

Setelah kami bercakap-cakap. Saya mengambil semua piring kotor dan meletakkannya di dapur kotor untuk dicuci nanti. Saya melewati panci, dan, panci itu sudah kosong. Ya, mie yang saya tinggalkan sudah tidak ada lagi. Saya mengambil lilin, mencoba menerangi panci itu. Ternyata bukan hanya mie itu yang hilang dari panci. Bahkan kerak-keraknya pun sudah menghilang di beberapa bagian, dan terdapat bekas-bekas seperti bekas dijilat. Saya hanya bisa diam. Saya tidak ingin menghancurkan suasana malam itu. 

Malam itu saya hanya diam. Tidak banyak yang bisa saya lakukan. Karena saya tidak selera melakukan apa-apa. Sesungguhnya saya merasa sedih. Saya tidak ingin terus-terusan dihantui seperti itu. Saya memutuskan untuk membasuh wajah saya, dengan harapan akan merasa lebih segar dan lebih baik. Setelah mencuci muka, saya melihat diri saya sendiri di cermin. Tidak ada yang aneh. Saya terus-terusan menatap mata saya sendiri. Sambil berpikir. Kenapa, kenapa, dan kenapa harus saya. Cukup lama saya bertahan dalam posisi itu, sampai akhirnya, saya merasa marah dan takut dengan pantulan wajah saya sendiri. Saya tidak suka melihatnya. Saya menghenduskan nafas. Saya memasang wajah marah. Sorot mata saya telrihat begitu tajam. Saya sadar sedang melakukannya. Tidak ada bayangan sosok lain di pantulan itu. Tapi, saya merasa takut sendiri. Badan saya terasa lemas. Saya berjalan menuju tempat tidur tanpa menghiraukan suasana yang gelap. Saat itu saya hanya butuh untuk istirahat dan tidur. Saya tidak ingin memikirkannya. Saya sedang libur, saya tidak ingin menghabiskan waktu libur yang panjang ini untuk melakukan sesuatu yang melelahkan batin saya sendiri.

Akhirnya, saya berhasil, melewati masa-masa libur itu dengan ‘normal’. Saya bermain dengan teman-teman, bahkan orangtua saya meluangkan waktu untuk pergi berlibur. Tentu saja, saat-saat itu saya berusaha sekeras mungkin untuk mengabaikan apapun yang terjadi, gangguan apapun yang muncul, agar saya tidak perlu jadi pikiran orang lain, dan tidak perlu membebani diri saya sendiri.

Rasanya senang sekali. Saat itu kepercayaan diri saya kembali meningkat. Kepercayaan diri untuk bisa merasa ‘normal’ dan mengabaikan gangguan apapun yang terjadi. Meskipun, di satu sisi, ada yang tidak bisa saya berhentikan. Ya, berbicara sendiri saat saya sedang menyendiri.

Semenjak saya merasa lebih baik dari sebelumnya. Saya berjanji dengan sangat kepada diri saya sendiri. Saya tidak ingin menghancurkan masa SMA saya nanti. Di masa SMA nanti, saya berjanji dan bertekad untuk tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun. Saya tidak akan melibatkan satu-pun dari teman-teman baru saya nanti ke dalam kisah ini. Saya tidak mau lagi dianggap orang aneh.

Ya, awal-awal SMA memang indah. Mengenakan seragam putih abu-abu dan mendapatkan teman-teman baru. Tentu saja, teman-teman saya semasa SMP ada beberapa yang masuk SMA yang sama dengan saya. Tapi untunglah, mereka mengerti, untuk tidak mengungkit kembali masa lalu di masa SMP.

Awalnya, semuanya berjalan mulus. Sampai, saya semakin dekat dengan seorang teman. Sebut saja namanya Maya (nama samaran). Dan tentu saja dia teman yang nyata, bukan teman khayalan yang hanya bisa dirasa oleh saya sendiri. Sejak awal masuk SMA, saya sudah berteman dengan Maya karena duduk kami berdekatan. Seiring berjalannya waktu, kami pun semakin dekat. Saya masih bisa memegang janji saya sendiri, untuk tidak melibatkan siapapun lagi ke dalam pengalaman saya yang gelap. Tapi, ternyata, tidak untuk Maya. Ya, kami semakin dekat dan komunikasi kami semakin nyaman. Saya tidak pernah memulainya, sampai Maya yang membuat saya merasa bisa untuk percaya kepadanya.

(to be continued…)

No comments:

Powered by Blogger.