RUMAH HOROR KESALAHAN MASA LALU part 12
PART 12 - JAWABAN (?)
Semenjak teman saya memberanikan diri untuk ‘melawan’ gangguan itu, informasinya langsung tersebar diantara teman-teman yang lain. Ternyata dia melanggar janjinya untuk tidak menceritakan ke siapapun. Ia juga mengaku jatuh sakit setelah kejadian itu.Tidak sedikit teman-teman saya yang akhirnya merasa enggan untuk berkunjung ke rumah. Bahkan, sepertinya semakin banyak yang ‘takut’ untuk dekat-dekat dengan saya. Semakin banyak, orang-orang yang mungkin juga peka terhadap hal-hal ghaib, memasang sorot mata yang begitu tajam ke arah saya, seakan menerawang. Tapi, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, tetap ada sahabat-sahabat saya yang selalu ada untuk saya.
Masa-masa libur setelah UN SMP, merupakan kekosongan yang teramat sangat panjang. Saya banyak menghabiskan waktu sendiri, dan terkadang, bersama teman, dan tentunya ‘teman’ itu.
Waktu kosong yang begitu panjang, mengembalikan indera kecurigaan saya terhadap apa yang terjadi di rumah ini dulu. Saya berjanji dengan diri saya, bahwa saya tidak akan membahasnya dengan orang lain, dan, jika terjadi sesuatu, saya siap untuk mengatasinya sendiri. Ya, sendiri.
Saya teringat, wanita yang dulu datang ke rumah kami, wanita dari tim developer, mengatakan bahwa dulu buruh-buruh pekerja merupakan penduduk setempat, dan isteri-isteri mereka ada yang dipekerjakan sebagai tukang sapu. Rasanya ada lampu yang menyala begitu terang di benak saya. Ya, jika saya tidak bisa lagi menemui si buruh pekerja, saya yakin salah satu dari kerumunan tukang sapu di taman kompleks, merupakan istri dari si buruh.
Sejak saat itu, saya sering bersepeda mengililingi kompleks sendiri. Terutama di jam-jam tukang sapu beroperasi. Pagi, siang dan sore. Berhari-hari, setiap ada kesempatan, saya mengelilingi kompleks. Saya memperhatikan tukang sapu, satu-per satu. Saya mencoba mencari yang terlihat paling tua diantara mereka semua. Karena saya rasa, jika dia lebih tua, dan dia memang dulunya penduduk setempat, pasti ada harapan kalau dia tahu lebih banyak.
Akhirnya, saya melihat seorang ibu-ibu yang terlihat paling tua. Tidak terlalu tua, tapi dia pasti yang paling senior diantara yang lainnya. Sebenarnya saya agak ragu untuk menghampirinya. Wajahnya terlihat kurang bersahabat. Saya tidak tahu apakah ini hanya perasaaan saya saja atau memang benar.
Saya menyusun rencana. Saya yakin saya tidak bisa langsung menghampirinya dan mewawancarainya. Akhirnya, saya memulainya dengan bersepeda setiap hari, mencarinya, dan selalu menyapanya setiap ada kesempatan. Meskipun hanya senyuman. Tentu saja, di awal-awal, beliau seakan tak acuh. Mungkin, baru kali ini ada anak pemilik rumah yang mau menyapa tukang sapu di kompleks kami. Tapi, lama kelamaan, dia sudah mau membalas senyuman saya. Bahkan, di satu kesempatan, ia yang duluan menyapa saya.
Berkali-kali sudah saya saling menyapa dengan beliau. Hingga tiba saatnya, ia sedang istirahat di taman komplek, di bawah pohon, dengan tumpukan daun-daun kering di sebelahnya.
Saat itu cuaca sedang terik-teriknya, padahal sudah sore. Cuaca terasa begitu panas. Saya menghampirinya.
“Sore,ibu.. cuaca panas nih. Saya beliin minuman ya? Ibu sukanya apa?”
“Ah, nggak usah.. Saya bawa minuman sendiri kok.” Jawabnya, sambil menunjukkan air putih di dalam botol bekas minuman kemasan. Warnanya agak keruh. Saya merasa kasihan.
“Ya ampun bu, nggak apa-apa, kedai di depan kan ada jualan minuman, saya beliin teh dingin ya! Ibu tunggu disini aja dulu, bentar saya balik lagi ya.”
Saya langsung bergegas menuju area ruko di depan kompleks. Kebetulan sekali, saat itu sedang jam pulangnya anak-anak les. Banyak pedagang-pedagang sedang menjajakan jualannya disana. Saya melihat ada yang jualan air tebu. Hmm, saya rasa air tebu bakal terasa lebih menyegarkan daripada teh dalam kemasan. Akhirnya, saya membeli dua gelas air tebu. Dikemas dalam plastik yang ujungnya diikat, bersamaan dengan sedotannya. Tapi, saya juga membelikannya dua bungkus roti dalam kemasan untuknya, siapa tahu dia sedang lapar.
Tidak lama, saya segera kembali ke tempat ibu tadi. Untunglah, beliau masih berada disana. Saya kembali menghampirinya. Dia menyeka bulir-bulir keringat di dahinya. Saya sempat tertegun sejenak, memperhatikan kondisinya. Kasihan sekali rasanya, setua itu, dia masih harus bekerja kasar, menyapu halaman. Satu demi satu rumah ia lewati, sendiri, dan menyaksikan betapa bahagianya keluarga lain di dalam rumah masing-masing, sedangkan ia harus seharian berada jauh dari keluarganya sendiri dalam kondisi nyaris renta.
“Ini bu, saya udah beliin es tebu sama roti.”
“Wah, makasih banyak ya nak.” Tangannya bergetar ketika menerima minuman dari saya.
“Saya boleh duduk di situ, bu?”
“Kau.. betulan mau duduk disampingku?” dia bertanya keheranan, dengan logat Bataknya.
“I..iya, bu, boleh kan?”
“Oh boleh-boleh kok. Justru aku senang.”
“Oh iya, bu ini saya juga belikan roti. Dimakan ya bu.”
Dia menerima roti itu, tapi dia langsung menyimpannya ke dalam tasnya yang sudah sobek-sobek.
“Loh kok disimpan bu?” saya bertanya.
“Iya, ini untuk cucuku di rumah. Pasti dia senang kalau aku pulang bawa oleh-oleh.”
“Oh.. emangnya ibu tinggal dimana?”
“Di dekat sini, di belakang kompleks, dibalik sungai-sungai itu.”
“Oooh deket juga ya bu.”
“Kalau dulu ya, kami tinggalnya disini.”
“Maksud ibu?” Saya berpura-pura tidak tahu. Rasanya saya tidak salah sasaran. Dialah orangnya.
“Iya, dulu kami tinggal di kawasan rumah kalian sekarang ini.”
“Oooh kok saya baru tahu ya.”
“Teringatnya kau kok mau ya duduk samaku. Aku pikir semua orang disini sombong-sombong.”
“Ah, ibu, nggak lah. Saya memang orangnya suka temenan sama orang baru. Haha.”
“Ooh begitu, baguslah kalau kau masih mau bergaul sama orang kayak kami.”
“Ah ibu nggak usah rendah diri, toh ibu kan kerjanya halal.”
“Iya, alhamdulillah.”
“Bu, ibu kan dulu tinggal disini, kebetulan sekali, saya mau nanya.”
“Apa itu?”
“Em.. gini, di rumah saya itu, dulunya ada rumahnya siapa ya?”
“Rumahmu yang mana rupanya?”
“Itu lho bu, yang di blok **, deket sama rumahnya Pak ***. Kan beberapa kali ibu sering juga nangkring di bawah pohon di seberang rumah saya.”
“Oh, iya. Yang itu ya.”
Sejenak, ia terdiam dan melihat saya dengan sangat dalam. Keringat dingin mengalir dibalik baju saya. Rasanya saya tidak siap jika jawabannya diluar ekpektasi saya.
“Disitu.. dulu, hmm aku sudah lupa. Tapi, disini dulu ada kantor perkebunan, udah dari dulu-dulu.”
“Oh, kantor ya bu? Jadi dulu di rumah saya itu ada kantor?”
Aduh, akupun nggak tau persis. Karena dulu pun banyak bangunan lain-lain, nggak cuma itu.”
“Oooh, saya kirain rumah.”
“Iya, ada juga yang jadi rumahnya orang kantor itu dulu. Memangnya ada apa, kok kau tanya-tanya sampai kesitu?”
“Iya, bu. Di rumah saya itu, ada tangga. Katanya si tukang dulu sih tangga itu udah ada dari dulu. Terus sampai sekarang masih ada tuh, di rumah, nggak dihancurin.”
“Tangga??”
Dia kembali terdiam sejenak. Dia menutup matanya. Keringat dingin pun kembali menyucur di badan saya.
“Jadi, tangga itu sekarang di rumahmu ya.”
“I..iya, bu.”
“Saya lupa, itu dulu pekarangan rumah atau kantor. Tangga itu bukan bagian dari bangunan lama. Dulu ada sumur disitu. Sumurnya pun pas zaman kami dulu udah bertahun-tahun nggak dipakai lagi. Akhirnya ditimbun terus developer bangun rumah disitu. Masih setengah jadi, udah dihancurin lagi. Katanya tanahnya masih belum keras. Dinding-dinding semua udah runtuh, tapi..”
“Tapi apa bu?”
“Pas tangga itu mau dihancurkan, selalu gagal. Dinding-dinding lain semuanya udah runtuh, tapi pas tangga itu. Nggak, nggak bisa.”
“Kenapa begitu bu?”
“Kami semua juga nggak ada yang tahu. Kerabatku, yang dulu diperintahkan untuk kembali menghancurkan tangga itu. Tapi dia terluka karena perkakasnya sendiri. Jadi, ya sudah, keputusan mereka, tangga itu dibiarkan saja, menghindari ada orang lain terluka.”
“Wah, kok bisa begitu ya bu. Memangnya dulu ada apa ya kira-kira di bangunan lama itu? Di sumur itu?”
“Aduh, nak, aku nggak tahu menahu. Memangnya kenapa rupanya sekarang ini di rumahmu?”
“Eng.. ya, takut aja sih bu. Kayaknya ada penunggunya. Apa mungkin dulu ada yang meninggal disitu ya?”
Dia langsung berdiri dan menyudahi pembicaraan itu. Dia sepertinya tidak suka dengan percakapan itu. Padahal, saya masih ingin tahu. Sangat sangat penasaran.
“Udah, ya, nak. Ibu mau pulang, udah sore. Udah, nggak usah kau cari-cari. Kalau kau rasa ada hantu disitu, ya, setiap rumah memang pasti ada. Gak usah kau pikir aneh-aneh. Aku pun gak tahu kalau kau tanya ada apa dulu disitu. Kami semua pun nggak ada yang tahu. Kalau masalah ada yang meninggal, dimana pun kau berpijak di tanah negeri ini, pasti ada yang meninggal dulu disitu. Sudahlah. Makasih banyak ya, es tebu sama rotinya.”
Dia pun pergi meninggalkan saya. Dia mengambil topinya, dan pergi mengayuh sepedanya yang sudah reyot. Bunyi decitan dari rantai sepedanya sungguh nyaring. Di satu sisi, saya merasa mendapat sedikit jawaban. Jawaban yang tanggung. Saya sebenarnya masih belum puas, meskipun, memang benar yang dikatakannya. Dia seakan menyembunyikan sesuatu. Tapi ya sudahlah, saya tidak bisa memaksakan kehendaknya.
Sejak saat itu, pencarian saya tentang tangga, terhenti sepenuhnya. Saya tidak akan mencari tahu tentang itu lebih dalam. Yang jelas, tangga itu dulunya bukanlah bagian dari rumah atau bangunan siapapun, melainkan ada sumur. Tidak tahu, apakah dulu sumur itu ada di dekat tangga atau persis dibawah tangga itu sekarang berdiri. Yang jelas, berdasarkan yang saya baca. Jin juga menjadikan lubang-lubang yang gelap sebagai tempat tinggal mereka.
Tapi, tentu saja, misteri itu belum terpecahkan. Karena, berdasarkan yang saya alami, gangguan-gangguan itu bukan hanya dari rumah saja. Bagaimana dengan guci? Keris? Benda-benda itu pernah mengganggu kami dan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan tangga itu. Masih ada misteri di sisi lain yang sebenarnya tidak berhubungan dengan tangga itu. Saya pun kembali memikirkan semuanya, mengulang kembali apa-apa yang telah terjadi. Tapi, mungkin tidak secepat itu. Saya akhirnya kembali ke pedoman utama; biarlah waktu yang menjawab. Tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk hal-hal yang tidak perlu, meskipun mengganggu.
Ya, waktu libur masih panjang. Yang awalnya saya hanya bersepeda kesana kemari, saat itu saya mulai sering berjalan kaki sendiri, mengelilingi kompleks. Tapi, bukan pagi, siang maupun sore, melainkan saat malam. Saya rasa malam adalah waktu yang tepat karena suasana sudah lebih tenang dan tidak panas. Sedangkan saat pagi, hmm rasanya sulit sekali di saat-saat libur harus bangun pagi-pagi. Kegiatan ‘jurit malam’ itu saya lakukan atas dasar rasa bosan.
Seringkali, saat saya berjalan melewati rumah-rumah warga yang memelihara anjing di depan rumah mereka, anjing mereka selalu menggonggong dengan sangat hebat. Mereka melolong, mengaum dan menyalak. Mereka bersembunyi dari saya, anjing-anjing itu mengintip dengan sorot mata yang mengerikan. Saya sebenarnya selalu takut setiap kali hal itu terjadi. Tapi, rasanya selalu ada yang menenangkan saya.
Saya sering duduk sendiri di pinggiran danau kompleks. Menikmati hembusan angin. Terkadang ada beberapa teman saya sekompleks yang sedang kebetulan lewat dan ikut bergabung dengan saya untuk ngobrol sejenak.
Sudah berhari-hari saya melakukan ‘jurit malam’ itu. Hampir setiap malam, saya juga melihat ada anak perempuan yang juga duduk-duduk di danau. Terkadang ia duduk bersama orang lain. Tidak tahu apakah mereka temannya atau keluarganya. Tidak ada yang aneh dengan mereka, begitulah prasangka saya. Akhirnya, pada satu kesempatan, saya memberanikan diri menghampirinya. Karena selama ini sudah cukup sering kami berpapasan mata, tanpa saling menegur. Saya mendekatinya. Dia melihat ke arah saya. Wajahnya manis, sepertinya dia lebih muda dari saya saat itu. Rambutnya digerai. Pakaiannya bersih, tapi cara berpakaiannya agak aneh. Dia mengenakan rok panjang dan kemeja dibalut cardigan berbahan tipis. Dia tersenyum, tanpa mengucapkan apa-apa. Sejenak, dia memperhatikan ke arah belakang saya, dan wajahnya langsung berubah. Sejujurnya saya merasa marah, marah dengan ‘sesuatu’ yang mungkin benar-benar selalu mengikuti saya dan membuat orang-orang takut. Saya bertanya ada apa, tapi ia diam saja. Senyumnya sudah hilang. Saya mencoba bertanya dimana rumahnya. Dia diam, dan kembali senyum. Percakapan itu terasa begitu aneh. Di senyumannya yang kedua, ada perasaan yang begitu aneh dalam benak saya. Yang awalnya saya ingin berkenalan dengannya, saat itu rasanya saya membencinya dengan amat sangat. Tapi semua itu saya tahan. Saya tidak ingin terus-terusan dikendalikan oleh bisikan-bisikan aneh di dalam benak saya sendiri. Anak perempuan itu belum menjawab pertanyaan saya, dia justru membalikkan badan. Tapi akhirnya ada kata-kata yang terlontar dari mulutnya.
“Blok **, nomor **.”
Ia kembali menolehkan wajahnya ke belakang, ke arah wajah saya, sambil tersenyum sedikit.
Saya merasa ada yang berbeda dengan ekspresi wajahnya, juga suaranya. Suaranya tidak terasa asing. Suaranya lembut.
Tanpa berlama-lama, saya bergegas berjalan kembali ke rumah karena angin berhembus kencang. Sepertinya akan turun hujan. Setibanya di rumah, saya membuka pagar. Dan, saya melihat angka yang tertempel di tembok rumah saya. Blok **, no **. Astaga. Saya baru menyadari. Saya masih ingat dengan jelas. Alamat rumah yang anak tadi sampaikan, adalah alamat rumah saya sendiri!
(to be continued…)
Semenjak teman saya memberanikan diri untuk ‘melawan’ gangguan itu, informasinya langsung tersebar diantara teman-teman yang lain. Ternyata dia melanggar janjinya untuk tidak menceritakan ke siapapun. Ia juga mengaku jatuh sakit setelah kejadian itu.Tidak sedikit teman-teman saya yang akhirnya merasa enggan untuk berkunjung ke rumah. Bahkan, sepertinya semakin banyak yang ‘takut’ untuk dekat-dekat dengan saya. Semakin banyak, orang-orang yang mungkin juga peka terhadap hal-hal ghaib, memasang sorot mata yang begitu tajam ke arah saya, seakan menerawang. Tapi, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, tetap ada sahabat-sahabat saya yang selalu ada untuk saya.
Masa-masa libur setelah UN SMP, merupakan kekosongan yang teramat sangat panjang. Saya banyak menghabiskan waktu sendiri, dan terkadang, bersama teman, dan tentunya ‘teman’ itu.
Waktu kosong yang begitu panjang, mengembalikan indera kecurigaan saya terhadap apa yang terjadi di rumah ini dulu. Saya berjanji dengan diri saya, bahwa saya tidak akan membahasnya dengan orang lain, dan, jika terjadi sesuatu, saya siap untuk mengatasinya sendiri. Ya, sendiri.
Saya teringat, wanita yang dulu datang ke rumah kami, wanita dari tim developer, mengatakan bahwa dulu buruh-buruh pekerja merupakan penduduk setempat, dan isteri-isteri mereka ada yang dipekerjakan sebagai tukang sapu. Rasanya ada lampu yang menyala begitu terang di benak saya. Ya, jika saya tidak bisa lagi menemui si buruh pekerja, saya yakin salah satu dari kerumunan tukang sapu di taman kompleks, merupakan istri dari si buruh.
Sejak saat itu, saya sering bersepeda mengililingi kompleks sendiri. Terutama di jam-jam tukang sapu beroperasi. Pagi, siang dan sore. Berhari-hari, setiap ada kesempatan, saya mengelilingi kompleks. Saya memperhatikan tukang sapu, satu-per satu. Saya mencoba mencari yang terlihat paling tua diantara mereka semua. Karena saya rasa, jika dia lebih tua, dan dia memang dulunya penduduk setempat, pasti ada harapan kalau dia tahu lebih banyak.
Akhirnya, saya melihat seorang ibu-ibu yang terlihat paling tua. Tidak terlalu tua, tapi dia pasti yang paling senior diantara yang lainnya. Sebenarnya saya agak ragu untuk menghampirinya. Wajahnya terlihat kurang bersahabat. Saya tidak tahu apakah ini hanya perasaaan saya saja atau memang benar.
Saya menyusun rencana. Saya yakin saya tidak bisa langsung menghampirinya dan mewawancarainya. Akhirnya, saya memulainya dengan bersepeda setiap hari, mencarinya, dan selalu menyapanya setiap ada kesempatan. Meskipun hanya senyuman. Tentu saja, di awal-awal, beliau seakan tak acuh. Mungkin, baru kali ini ada anak pemilik rumah yang mau menyapa tukang sapu di kompleks kami. Tapi, lama kelamaan, dia sudah mau membalas senyuman saya. Bahkan, di satu kesempatan, ia yang duluan menyapa saya.
Berkali-kali sudah saya saling menyapa dengan beliau. Hingga tiba saatnya, ia sedang istirahat di taman komplek, di bawah pohon, dengan tumpukan daun-daun kering di sebelahnya.
Saat itu cuaca sedang terik-teriknya, padahal sudah sore. Cuaca terasa begitu panas. Saya menghampirinya.
“Sore,ibu.. cuaca panas nih. Saya beliin minuman ya? Ibu sukanya apa?”
“Ah, nggak usah.. Saya bawa minuman sendiri kok.” Jawabnya, sambil menunjukkan air putih di dalam botol bekas minuman kemasan. Warnanya agak keruh. Saya merasa kasihan.
“Ya ampun bu, nggak apa-apa, kedai di depan kan ada jualan minuman, saya beliin teh dingin ya! Ibu tunggu disini aja dulu, bentar saya balik lagi ya.”
Saya langsung bergegas menuju area ruko di depan kompleks. Kebetulan sekali, saat itu sedang jam pulangnya anak-anak les. Banyak pedagang-pedagang sedang menjajakan jualannya disana. Saya melihat ada yang jualan air tebu. Hmm, saya rasa air tebu bakal terasa lebih menyegarkan daripada teh dalam kemasan. Akhirnya, saya membeli dua gelas air tebu. Dikemas dalam plastik yang ujungnya diikat, bersamaan dengan sedotannya. Tapi, saya juga membelikannya dua bungkus roti dalam kemasan untuknya, siapa tahu dia sedang lapar.
Tidak lama, saya segera kembali ke tempat ibu tadi. Untunglah, beliau masih berada disana. Saya kembali menghampirinya. Dia menyeka bulir-bulir keringat di dahinya. Saya sempat tertegun sejenak, memperhatikan kondisinya. Kasihan sekali rasanya, setua itu, dia masih harus bekerja kasar, menyapu halaman. Satu demi satu rumah ia lewati, sendiri, dan menyaksikan betapa bahagianya keluarga lain di dalam rumah masing-masing, sedangkan ia harus seharian berada jauh dari keluarganya sendiri dalam kondisi nyaris renta.
“Ini bu, saya udah beliin es tebu sama roti.”
“Wah, makasih banyak ya nak.” Tangannya bergetar ketika menerima minuman dari saya.
“Saya boleh duduk di situ, bu?”
“Kau.. betulan mau duduk disampingku?” dia bertanya keheranan, dengan logat Bataknya.
“I..iya, bu, boleh kan?”
“Oh boleh-boleh kok. Justru aku senang.”
“Oh iya, bu ini saya juga belikan roti. Dimakan ya bu.”
Dia menerima roti itu, tapi dia langsung menyimpannya ke dalam tasnya yang sudah sobek-sobek.
“Loh kok disimpan bu?” saya bertanya.
“Iya, ini untuk cucuku di rumah. Pasti dia senang kalau aku pulang bawa oleh-oleh.”
“Oh.. emangnya ibu tinggal dimana?”
“Di dekat sini, di belakang kompleks, dibalik sungai-sungai itu.”
“Oooh deket juga ya bu.”
“Kalau dulu ya, kami tinggalnya disini.”
“Maksud ibu?” Saya berpura-pura tidak tahu. Rasanya saya tidak salah sasaran. Dialah orangnya.
“Iya, dulu kami tinggal di kawasan rumah kalian sekarang ini.”
“Oooh kok saya baru tahu ya.”
“Teringatnya kau kok mau ya duduk samaku. Aku pikir semua orang disini sombong-sombong.”
“Ah, ibu, nggak lah. Saya memang orangnya suka temenan sama orang baru. Haha.”
“Ooh begitu, baguslah kalau kau masih mau bergaul sama orang kayak kami.”
“Ah ibu nggak usah rendah diri, toh ibu kan kerjanya halal.”
“Iya, alhamdulillah.”
“Bu, ibu kan dulu tinggal disini, kebetulan sekali, saya mau nanya.”
“Apa itu?”
“Em.. gini, di rumah saya itu, dulunya ada rumahnya siapa ya?”
“Rumahmu yang mana rupanya?”
“Itu lho bu, yang di blok **, deket sama rumahnya Pak ***. Kan beberapa kali ibu sering juga nangkring di bawah pohon di seberang rumah saya.”
“Oh, iya. Yang itu ya.”
Sejenak, ia terdiam dan melihat saya dengan sangat dalam. Keringat dingin mengalir dibalik baju saya. Rasanya saya tidak siap jika jawabannya diluar ekpektasi saya.
“Disitu.. dulu, hmm aku sudah lupa. Tapi, disini dulu ada kantor perkebunan, udah dari dulu-dulu.”
“Oh, kantor ya bu? Jadi dulu di rumah saya itu ada kantor?”
Aduh, akupun nggak tau persis. Karena dulu pun banyak bangunan lain-lain, nggak cuma itu.”
“Oooh, saya kirain rumah.”
“Iya, ada juga yang jadi rumahnya orang kantor itu dulu. Memangnya ada apa, kok kau tanya-tanya sampai kesitu?”
“Iya, bu. Di rumah saya itu, ada tangga. Katanya si tukang dulu sih tangga itu udah ada dari dulu. Terus sampai sekarang masih ada tuh, di rumah, nggak dihancurin.”
“Tangga??”
Dia kembali terdiam sejenak. Dia menutup matanya. Keringat dingin pun kembali menyucur di badan saya.
“Jadi, tangga itu sekarang di rumahmu ya.”
“I..iya, bu.”
“Saya lupa, itu dulu pekarangan rumah atau kantor. Tangga itu bukan bagian dari bangunan lama. Dulu ada sumur disitu. Sumurnya pun pas zaman kami dulu udah bertahun-tahun nggak dipakai lagi. Akhirnya ditimbun terus developer bangun rumah disitu. Masih setengah jadi, udah dihancurin lagi. Katanya tanahnya masih belum keras. Dinding-dinding semua udah runtuh, tapi..”
“Tapi apa bu?”
“Pas tangga itu mau dihancurkan, selalu gagal. Dinding-dinding lain semuanya udah runtuh, tapi pas tangga itu. Nggak, nggak bisa.”
“Kenapa begitu bu?”
“Kami semua juga nggak ada yang tahu. Kerabatku, yang dulu diperintahkan untuk kembali menghancurkan tangga itu. Tapi dia terluka karena perkakasnya sendiri. Jadi, ya sudah, keputusan mereka, tangga itu dibiarkan saja, menghindari ada orang lain terluka.”
“Wah, kok bisa begitu ya bu. Memangnya dulu ada apa ya kira-kira di bangunan lama itu? Di sumur itu?”
“Aduh, nak, aku nggak tahu menahu. Memangnya kenapa rupanya sekarang ini di rumahmu?”
“Eng.. ya, takut aja sih bu. Kayaknya ada penunggunya. Apa mungkin dulu ada yang meninggal disitu ya?”
Dia langsung berdiri dan menyudahi pembicaraan itu. Dia sepertinya tidak suka dengan percakapan itu. Padahal, saya masih ingin tahu. Sangat sangat penasaran.
“Udah, ya, nak. Ibu mau pulang, udah sore. Udah, nggak usah kau cari-cari. Kalau kau rasa ada hantu disitu, ya, setiap rumah memang pasti ada. Gak usah kau pikir aneh-aneh. Aku pun gak tahu kalau kau tanya ada apa dulu disitu. Kami semua pun nggak ada yang tahu. Kalau masalah ada yang meninggal, dimana pun kau berpijak di tanah negeri ini, pasti ada yang meninggal dulu disitu. Sudahlah. Makasih banyak ya, es tebu sama rotinya.”
Dia pun pergi meninggalkan saya. Dia mengambil topinya, dan pergi mengayuh sepedanya yang sudah reyot. Bunyi decitan dari rantai sepedanya sungguh nyaring. Di satu sisi, saya merasa mendapat sedikit jawaban. Jawaban yang tanggung. Saya sebenarnya masih belum puas, meskipun, memang benar yang dikatakannya. Dia seakan menyembunyikan sesuatu. Tapi ya sudahlah, saya tidak bisa memaksakan kehendaknya.
Sejak saat itu, pencarian saya tentang tangga, terhenti sepenuhnya. Saya tidak akan mencari tahu tentang itu lebih dalam. Yang jelas, tangga itu dulunya bukanlah bagian dari rumah atau bangunan siapapun, melainkan ada sumur. Tidak tahu, apakah dulu sumur itu ada di dekat tangga atau persis dibawah tangga itu sekarang berdiri. Yang jelas, berdasarkan yang saya baca. Jin juga menjadikan lubang-lubang yang gelap sebagai tempat tinggal mereka.
Tapi, tentu saja, misteri itu belum terpecahkan. Karena, berdasarkan yang saya alami, gangguan-gangguan itu bukan hanya dari rumah saja. Bagaimana dengan guci? Keris? Benda-benda itu pernah mengganggu kami dan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan tangga itu. Masih ada misteri di sisi lain yang sebenarnya tidak berhubungan dengan tangga itu. Saya pun kembali memikirkan semuanya, mengulang kembali apa-apa yang telah terjadi. Tapi, mungkin tidak secepat itu. Saya akhirnya kembali ke pedoman utama; biarlah waktu yang menjawab. Tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk hal-hal yang tidak perlu, meskipun mengganggu.
Ya, waktu libur masih panjang. Yang awalnya saya hanya bersepeda kesana kemari, saat itu saya mulai sering berjalan kaki sendiri, mengelilingi kompleks. Tapi, bukan pagi, siang maupun sore, melainkan saat malam. Saya rasa malam adalah waktu yang tepat karena suasana sudah lebih tenang dan tidak panas. Sedangkan saat pagi, hmm rasanya sulit sekali di saat-saat libur harus bangun pagi-pagi. Kegiatan ‘jurit malam’ itu saya lakukan atas dasar rasa bosan.
Seringkali, saat saya berjalan melewati rumah-rumah warga yang memelihara anjing di depan rumah mereka, anjing mereka selalu menggonggong dengan sangat hebat. Mereka melolong, mengaum dan menyalak. Mereka bersembunyi dari saya, anjing-anjing itu mengintip dengan sorot mata yang mengerikan. Saya sebenarnya selalu takut setiap kali hal itu terjadi. Tapi, rasanya selalu ada yang menenangkan saya.
Saya sering duduk sendiri di pinggiran danau kompleks. Menikmati hembusan angin. Terkadang ada beberapa teman saya sekompleks yang sedang kebetulan lewat dan ikut bergabung dengan saya untuk ngobrol sejenak.
Sudah berhari-hari saya melakukan ‘jurit malam’ itu. Hampir setiap malam, saya juga melihat ada anak perempuan yang juga duduk-duduk di danau. Terkadang ia duduk bersama orang lain. Tidak tahu apakah mereka temannya atau keluarganya. Tidak ada yang aneh dengan mereka, begitulah prasangka saya. Akhirnya, pada satu kesempatan, saya memberanikan diri menghampirinya. Karena selama ini sudah cukup sering kami berpapasan mata, tanpa saling menegur. Saya mendekatinya. Dia melihat ke arah saya. Wajahnya manis, sepertinya dia lebih muda dari saya saat itu. Rambutnya digerai. Pakaiannya bersih, tapi cara berpakaiannya agak aneh. Dia mengenakan rok panjang dan kemeja dibalut cardigan berbahan tipis. Dia tersenyum, tanpa mengucapkan apa-apa. Sejenak, dia memperhatikan ke arah belakang saya, dan wajahnya langsung berubah. Sejujurnya saya merasa marah, marah dengan ‘sesuatu’ yang mungkin benar-benar selalu mengikuti saya dan membuat orang-orang takut. Saya bertanya ada apa, tapi ia diam saja. Senyumnya sudah hilang. Saya mencoba bertanya dimana rumahnya. Dia diam, dan kembali senyum. Percakapan itu terasa begitu aneh. Di senyumannya yang kedua, ada perasaan yang begitu aneh dalam benak saya. Yang awalnya saya ingin berkenalan dengannya, saat itu rasanya saya membencinya dengan amat sangat. Tapi semua itu saya tahan. Saya tidak ingin terus-terusan dikendalikan oleh bisikan-bisikan aneh di dalam benak saya sendiri. Anak perempuan itu belum menjawab pertanyaan saya, dia justru membalikkan badan. Tapi akhirnya ada kata-kata yang terlontar dari mulutnya.
“Blok **, nomor **.”
Ia kembali menolehkan wajahnya ke belakang, ke arah wajah saya, sambil tersenyum sedikit.
Saya merasa ada yang berbeda dengan ekspresi wajahnya, juga suaranya. Suaranya tidak terasa asing. Suaranya lembut.
Tanpa berlama-lama, saya bergegas berjalan kembali ke rumah karena angin berhembus kencang. Sepertinya akan turun hujan. Setibanya di rumah, saya membuka pagar. Dan, saya melihat angka yang tertempel di tembok rumah saya. Blok **, no **. Astaga. Saya baru menyadari. Saya masih ingat dengan jelas. Alamat rumah yang anak tadi sampaikan, adalah alamat rumah saya sendiri!
(to be continued…)
No comments: